BACA JUGA: Cara Dosen Merespons Kondisi Kekinian – Catatan Pameran Seni Rupa Dosen Undiksha
Ditanya soal seni, saya memang awam. Bahkan sangat awam. Boleh dibilang saya tidak tahu apa itu seni. Jika melihat, saya bisa mengatakan bahwa itu adalah karya seni. Tapi sekali lagi, I don’t know about art.
Saya hanya bisa merasakan tapi tak tahu cara menjelaskan. Tapi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Seni adalah keahlian membuat karya yang bermutu (dilihat dari segi kehalusannya, keindahannya dan sebagainya).
Kalau menurut saya, seni adalah suatu karya yang bisa dilihat dan dirasakan, tak perlu dijelaskan. Sebab tak semua hal butuh penjelasan dan alasan. Ya, seperti cinta misalnya. Cinta adalah sebuah seni menyukai dan menyayangi seseorang tanpa tahu kenapa bisa suka dan sayang.
Ya begitulah seni. Rumit bagi saya yang baru belajar memahami dunia seni, meskipun pernah sebagai pelaku seni. Menurut saya seni tidak saja pada sebuah karya seperti lukisan, tarian, kriya, musik, drama atau yang lainya. Bagi saya hidup juga seni. Berjalan, berbicara, menulis, bernyanyi. Itu semua seni. Seni dalam diri. Hehehe. Menurut saya lo ya.
Meskipun saya tak mengerti soal seni, saya berusaha belajar. Walau tak mendalami setidaknya saya bisa melihat dan menikmati karya seni. Tak ada karya seni yang buruk. Itu hanya soal rasa. Begitu niatnya saya ingin belajar, saya meluangkan waktu sedikit untuk sekadar ingin tahu pameran seni rupa di kampus Undiksha yang diselenggarakan Prodi Pendidikan Seni Rupa mulai 27 November hingga 11 Desember 2019.
Ini yang kedua kalinya saya datang ke Galeri FBS Undiksha untuk melihat pameran dan masih saja tak paham soal seni. Betapa bodohnya saya.
Sesampainya di ruangan itu mata saya melihat luas sekeliling. Di depan saya ada 5 kayu yang dicat warna warni yang menurut saya menyerupai koral di laut. Sekilas bagi saya itu hanya kayu biasa. Yang membuatnya tidak biasa adalah perlakuan si pemilik kayu terhadap kayu itu sendiri. Paduan warna cat pada bidang kayu membuatnya lebih hidup. Saya perhatikan lagi detailnya, seperti ada hewan yang menempel pada tumbuhan laut yang diinterpretasikan pada bidang kayu itu.
Tak puas hanya melihat kayu-kayu itu, saya pun menyusuri ruangan itu samai ke dalam-dalamnya. Di ruangan tengah dipamerkan hasil karya seni kriya dari bahan keramik. Disampingnya ada kerumunan orang yang sibuk memperhatikan seseorang yang sibuk dengan kuas dan catnya. Saya tak bisa melihat dengan jelas. Ya tahulah saya berada di barisan belakang dan…pendek. Hikss.. sedih.
Karena tak bisa melihat apa yang dilakukan, saya sedikat kesal. Saya berusaha melihat yang lainnya. Saya kembali ke ruangan utama. Pandangan saya tertuju pada lukisan I Gusti Nengah Sura Ardana dengan judul Lapuk itu Indah. Saya cukup lama memandangi lukisan kakek tua bertopi yang sudah keriput. Polesan cat di atas bidang kanvas sangat detail. Saya pandang lukisan itu lekat-lekat seolah saya sedang bertatapan degan si kakek dalam lukisan itu. Tak lama hati saya merasa sedih. Mata saya sempat berkaca-kaca sebentar. Beruntung saya dapat mengendalikan diri dan mengalihkan pandangan.
Setelah melihat lukisan itu, saya bergeser ke sisi selatan di ruang utama dengan harapan bisa menormalkan hati. Lagi-lagi pandangan saya terpaut pada sebuah lukisan karya I Gusti Nengah Sura Ardana yang diberi judul Guratan Makna (series). Dalam lukisan itu digambarkan seorang nenek tua yang tengah menggendong wakul. Lalu disekelilingnya bertaburan dengan gambar ikan dan beras.
Sekilas saya menangkap pesan dari lukisan itu bahwa hidup itu keras. Penuh perjuangan. Untuk mendapatkan nafkah harus mampu bertarung dengan waktu. Jika pepatah mengatakan belajar tak mengenal usia, maka untuk lukisan ini boleh dibilang bekerja tak mengenal usia. Bayangkan saja, seseorang dengan usia yang tak muda lagi masih harus bekerja, berjuang demi menghidupi diri. Demi mendapatkan rejeki. Kondisi ini juga sering kita jumpai kan?
Menengok ke sisi utara. Seingat saya disana dipajang lukisan abstrak dari Kang Hardiman, seorang seniman yang juga dosen Prodi Pendidikan Seni Rupa. Lukisan-lukisan abstraknya menarik bagi saya. Tapi saya tak bisa menangkap pesan dari lukisan itu. Ada satu hal yang lucu yang saya lakukan bersama teman saya saat melihat lukisan Kang Hardiman yang berjudul Seri Sepuluh Abstraksi Unggas. Tapi saya tak menemukan yang ke-10. Hanya ada sembilan.
Lalu satu teman saya dengan gaya skeptisnya mengatakan yang kesepuluh adalah gabungan dari sembilan lukisan itu. Mungkin dia bisa merasakan dan melihat seninya. Tapi saya tidak. Dari sembilan lukisan karyanya hanya enam lukisan yang bisa saya tangkap mirip dengan unggas. Tiga lainnya malah saya lihat seperti ikan. Ikan lele tepatnya.
Setelah lama menerka-nerka, lalu datanglah Kang Hardiman. Dia itu pelukis ikan itu. Dia adalah dosen, pelukis, penulis seni rupa dan kurator.
Kami bertanya kenapa lukisannya itu hanya ada sembilan. Dia bilang yang satunya sengaja tak dipasang karena kalau dipasang posisi lukisannya jadi kurang harmonis. Jadi tidak enak untuk dilihat. Saya tertawa saat itu. Betapa pintarnya kami yang memiliki imajinasi melebihi sang seniman.
Kemudian saya utarakan isi hati saat melihat lukisannya. Jujur saya katakan bahwa dari sembilan lukisan yang pajang dalam series itu kenapa hanya enam yang bisa saya tangkap mirip unggas. Dan tiga lainnya malah menyerupai ikan. Bentuknya sudah tidak mirip unggas. Beliau mengatakan pada kami bahwa memang ketiganya itu sudah tak terpaku pada bentuk utama. Namun ebih menonjol kepada permainan bentuk yang mengikuti perasaan si pelukis.
Karena saya penasaran dan tak mampu menjadi penikmat seni dalam ruangan itu, saya meminta sebuah cara dari Kang Hardiman. Cara bagaimana menikmati sebuah karya seni dan memahaminya. Dengan cepat pertanyaan saya disanggahnya. Seni itu dapat dinikmati tergantung dari orang yang menikmatinya. Tak perlu ambil pusing jika tak paham. Cukup lihat, rasakan, nikmati. Setelah merasa cukup dan puas bisa pergi. Atau bahkan bisa menjadi bahan rumpi yang menginspirasi. [T]