Yang
Hujan turun lagi
Di bawah payung hitam kuberlindung
–
Benci…benci… tapi rindu jua…
memandang wajah dan senyummu saying
Rindu…rindu… tapi benci jua…bila ingat kau sakiti hatiku
Antara benci dan rindu disini
Membuat mataku menangis
Sejak lagu “Antara Benci dan Rindu” yang dilantunkan Ratih Purwasih naik daun, hujan sepertinya memiliki ikatan yang suci bersama hal yang disebut kenangan. Kedua hal tersebut seolah-olah menjadi satu kesatuan yang utuh. Saat hujan turun, akan selalu ada kemunculan ingatan akan kenangan. Ada ribuan puisi tentang kenangan dan hujan. Sampai-sampai ada pepatah mengatakan “Hujan itu 1% air, 99% kenangan”. Pepatah yang sangat implisit, namun ternyata percaya tidak percaya pepatah tersebut benar adanya. Kini berbicara hujan bukan melulu soal manfaatnya terhadap makhluk hidup, tapi juga tentang perasaan akan suatu kejadian tertentu saat turun hujan, seperti misalnya terjebak hujan bersama orang yang dicinta, mengobrol panjang lebar sambil menikmati mie rebus, dan lain sebagainya.
Hujan membuat seseorang semakin jatuh dalam kenangan. Begitulah adanya, hujan jugalah yang menjadi salah satu hal yang mengingatkan 400 lebih pemuda dari seluruh Indonesia tentang kenangan paling manis tahun ini, yaitu Jambore Pemuda Indonesia (JPI) 2019. Mereka semua adalah peserta JPI 2019 itu sendiri. Tulisan ini sebenarnya agak lama berjarak dari kegiatan JPI 2019, namun kenangannya yang berkaitan dengan hujan masih terasa hangat untuk diceritakan, terutama di musim hujan seperti sekarang ini. Nah, apa yang kemudian menjadi sangat spesial tentang hujan sampai-sampai mengingatkan tentang JPI 2019?
Begini lho, mari kita awali dengan kesan pertama saat pertama kali melihat lokasi perkemahan untuk kegiatan JPI 2019. Wow, tempatnya lumayan bagus dengan fasilitas yang hhmmm okelah untuk berkemah. Lokasi tenda sudah tertata dengan rapi. Tenda-tenda peserta pun terlihat sudah berdiri, mirip seperti sebuah perumahan kecil dengan bentuk dan warna yang sama. Di dalamnya, velbed untuk para peserta juga sudah tersedia. Sayangnya tidak semua peserta mendapat velbed untuk tempat tidur mereka. Sebagian lagi mau tak mau harus tidur di atas matras tebal yang langsung menyentuh tanah. Beberapa kamar mandi dan toilet juga sudah berdiri dengan cantik. Bayangan para peserta tentu sudah wow, atau mungkin big WOW. Tentu ada yang sudah berekspektasi kemah di kegiatan JPI 2019 akan sangat menyenangkan. Namun semua berubah ketika hujan menyerang.
Dari awal pelaksanaan JPI 2019 di tanggal 31 Oktober 2019 sampai penutupan kegiatan di tanggal 5 November 2019, di atas jam 13.00 WITA, sudah dapat dipastikan hujan akan turun dengan derasnya. Mencari hujan bukanlah perkara susah di Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara. Orang-orang tak perlu memanggil pawang hujan atau melakukan tarian pemanggil hujan. Tak perlu juga alat penurun hujan seperti yang dilakukan Nobita dan Doraemon. Itu geloooo. Tanpa itu semua, hujan pasti akan turun ke bumi. Akibatnya semua jadi basah, yang di bawah basah, yang di atas juga basah. Hujan membasahi semua, menyamarkan sisa-sisa air mata yang membanjiri pipi akibat ditinggal nikah sang mantan. Hhhmmm berbicara tentang hujan kok malah jadi ingat mantan, mantan situ payung? Baiklah, kalau begitu harap sedia mantan sebelum hujan
Hujan selama pelaksanaan JPI 2019 itu benar-benar merepotkan para peserta. Hujannya turun tanpa aba-aba, tanpa hitungan satu dua tiga, tanpa rintik-rintik pelan yang mengisyaratkan, hujannya langsung deras begitu saja. Akibatnya air membentuk genangan dengan sangat cepat di mana-mana, termasuk di dalam tenda. Air hujan pun mengalir sampai jauh. Lapangan tempat peserta berkemah menjadi becek sebecek-beceknya, lengkap dengan lumpur yang licin, mirip sawah-sawah para petani yang baru saja digenangi air. Kondisi tanah yang becek, berlumpur, dan licin tentu menjadi sulit untuk dilewati. Pernah sekali kaki salah seorang peserta tenggelam ke dalam lumpur akibat becek yang mengelilingi areal tenda. Syukurnya, yang tenggelam hanyalah kakinya saja, dan masih lebih syukur lagi karena ia hanya tenggelam di dalam lumpur, bukan tenggelam dalam lautan luka dalam, apalagi tersesat dan tak tahu arah jalan pulang, aku tanpamu butiran debu. Lha, kok malah nyanyi?
Nah, tak cukup hanya di lapangan dan areal perkemahan, hujan yang turun mengakibatkan banjir di tempat pameran, meski tempat pameran berada di dalam gedung olahraga. Mau tak mau, sebagian besar para peserta harus menyelamatkan barang-barang mereka, dilanjutkan dengan mengepel air yang menggenang di lantai dengan kondisi basah kuyup kehujanan, kemudian mengeluarkan air hujan yang membanjiri tempat pameran. Tak hanya itu, sebagian besar peserta juga pengunjung pameran terjebak di sana, tapi kalau dipikir-pikir tak apalah terjebak hujan, ketimbang terjebak nostalgia dan masa lalu. Waduh jangan sampai mas mbak, sebab di luar sana ada masa depan yang sedang menanti. Nah, bukan hanya di tempat pameran mereka terjebak, sebagian peserta juga ada yang terjebak di tempat lainnya, seperti di warung-warung, di panggung utama, di teras-teras rumah, dan tempat-tempat teduh lainnya, bahkan ada pula yang terjebak di kamar mandi. Hiks kasihan sekali. Kamar mandinya sempit, sesempit hati si doi.
Hujan yang turun juga sempat menunda pawai budaya nusantara yang akan diadakan saat itu. Hujannya awet gais, karena turun lumayan deras dengan durasi yang juga lumayan lama. Eits tunggu dulu, hujan saja bisa awet, kenapa hubungan kita enggak? Hhhhmmmm pakai formalin makanya. Pawai budaya yang rencananya akan dimulai sekitar pukul 13.30 WITA (ini kalau tidak salah) harus tertunda sampai pukul 16.30 WITA. Syukurnya, para peserta bisa bernafas dengan lega karena mereka tak perlu dikejar waktu dalam mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pawai budaya. Mereka bisa berhias dengan santai, pun memakai semua kelengkapaan, seperti pakaian dan properti pendukung tanpa tergesa-gesa. Syukurnya lagi, hujannya reda bukan di malam hari, sehingga dari pukul 17.00 WITA sampai sekitar pukul 19.00 WITA ke atas (ini juga kalau tidak salah ya), para peserta dapat mengikuti kegiatan Pawai Budaya Nusantara. Mereka menunjukan berbagai kekhasan daerah masing-masing, menyanyikan lagu daerahnya sendiri sambil berjalan mengelilingi beberapa sudut kota Tondano, Minahasa. Masyarakat menyambut dengan sangat antusias. Tak sedikit pula dari mereka memberi semangat kepada para peserta sambil sesekali meminta foto bersama. Tentu saja para peserta menjadi semakin bersemangat.
Hal merepotkan lainnya karena hujan yang turun bisa dirasakan oleh sebagian besar peserta wanita, yaitu lunturnya make up yang sudah menempel dan mempercantik wajah mereka. Tentu ini akan menjadi hal yang sangat tak diinginkan. Saat make up luntur, wajah mereka tidak lagi flawless, tidak lagi on point. Bedak atau foundation mereka akan luntur terkena air hujan, akibatnya warna pada wajah mereka tidak lagi merata, terkesan belang atau sejenisnya. Sebagian alis mereka (yang menggunakan pensil alis) mulai terkikis dan lagi-lagi tidak balance. Satu dua bulu mata palsu pun terlepas dari tempatnya akibat hujan yang turun keroyokan. Jujur, ini terlalu mendramatisir, tapi begitulah bayangannya jika make up luntur saat turun hujan. Ingin make up tidak luntur? Pakai waterproof make up. Dijamin aman, tak perlu khawatir luntur.
Di samping hal-hal yang merepotkan, hujan juga membawa kenangan yang manis bagi sebagian peserta. Sebagian dari mereka terlihat sangat menikmati kehujaan di atas truk saat perjalanan kembali ke tempat pameran sepulang dari mengangkat eceng gondok. Mereka tertawa lepas. Keseruan mereka bahkan diabadikan dalam sebuah video singkat yang kemudian (setelah beberapa hari) baru dikirim ke grup nasional saat ada obrolan tentang hujan yang turun di kegiatan JPI 2019. Dalam video itu mereka nampak sangat bahagia, tak peduli dengan cinta omong kosong, bodo amat dengan status jomblo, ketimbang susah, mereka menganggap hujan sebagai berkah. Air yang turun dari langit menjadi hal yang sangat menyenangkan bagi mereka. Seeakan-akan mereka kembali pada keseruan masa kecil menikmati derasnya hujan, seperti main hujan-hujanan, berlari-lari tak tentu arah, mendongak ke atas, menendang-nendang kubangan air sambil tertawa lepas mencipratkannya ke teman-teman yang lain, atau bermain bola di tanah lapang tanpa peduli baju kotor, bermain perahu-perahuan dari kertas dari ujung selokan sampai ujung lainnya, dan masih banyak lagi. Ahh, senangnya melihat mereka bahagia di tengah-tengah hujan deras.
Ada pula peserta yang karena kehujanan di atas truk, justru malah bertemu dengan orang yang sangat berkesan, hhmmm barangkali bisa disebut cinlok, atau sama-sama menyanyangi tapi tak bisa memiliki. Aduhhh apaya namanya. Statusnya tak bisa didefinisikan dengan pasti, namun sebagian besar anak muda pernah mengalami hal yang mirip. Ceritanya begini, tersebutlah Cinta (bukan nama sesungguhnya), seorang peserta JPI 2019 dari sebuah provinsi di Indonesia, saat mengikuti kegiatan giat bakti mengangkat eceng gondok, hujan tiba-tiba turun, ia berteduh di sebuah rumah dekat tempat kegiatan. Di sana ia mengambil foto bersama peserta lain dari provinsi yang berbeda sambil berkenalan. Di sanalah ia berkenalan dengan Rangga (juga bukan nama sesungguhnya), juga seorang peserta JPI 2019 dari provinsi yang terpisah jauh dari Cinta. Awalanya biasa saja, namun semua berubah saat hujan mulai reda, saat mereka berdua mulai naik ke atas truk yang sama, dan tiba-tiba bertemu lagi dengan hujan di tengah jalan.
Di sanalah, Rangga memperlakukan Cinta dengan penuh perhatian. Pada saat itu, Rangga melindungi Cinta dari derasnya hujan. Ia juga memegang handphone dan tas milik Cinta agar tidak basah. Truk yang melaju dengan sangat bar-bar membuat para peserta sesekali terguncang. Rangga juga memegang tangan Cinta agar ia tak terjatuh. Mereka saling berpegangan sampai depan tempat pameran. Menurut Cinta, Rangga adalah seorang pahlawan. Aaaa so sweet. Dari sana mereka saling bertukar nomor whastappdan memulai kisah selanjutnya. Mau tau kisahnya? Nantikan episode selanjutnya.
Tentu masih banyak kenangan tersendiri tentang hujan yang turun di JPI 2019, sebagaian besar memang merpotkan, namun tak sedikit juga kenangan manis yang tercipta karena hujan, seperti kisah Cinta dan Rangga tadi. Hujan bisa saja menjadi salah satu pengingat kegiatan JPI 2019, sebuah memori yang tak akan lekang dimakan waktu. Meski merepotkan, hujan juga mneyenangkan. Meski susah, juga berkah. Jadi jangan disesali ketika turun hujan. Hujan akan selalu menjadi harapan bagi semuanya, terutama mereka-mereka para jomblo yang berdoa mohon hujan di malam minggu. Selamat memaknai hujan, selamat memaknai kenangan. [T]