— Selasa, 9 Oktober 2019, pukul 20.15 dalam Minikino Film Week (MFW) 5, program Out Of Ordinary, Rumah Film Sang Karsa, Sutradara hadir —-
Ketika film masih diabadikan dengan bahan baku celeloid, sebuah pengambilan gambar terpanjang untuk 35 mm kurang dari 4 menit. Untuk 16 mm, bisa sampai 9 menit. Ini karena dalam satu kaleng film 35 mm berisi material selama 5 menit dan 16 mm selama sepuluh menit, Di potong sana sini, jadi yang benar-benar bisa digunakan mengabadikan ya seperti angka di atas.
Jaman digital saat ini, pembuat film bisa melakukan apa saja, karena kamera bisa terus berputar semampu data dan baterai menampung. Garin Nugroho mengabadikan drama NYAI yang dua jam pertunjukkan teater itu hanya dengan satu kali tembakan (Shot) Kamera bergerak ke berbagai arah mengabadikan permainan aktor dan aktrisnya. Pembuatan sangat menegangkan karena sekali saja ada kesalahan maka seluruh rentetan adegan harus diulang kembali.
Menyaksikan film tanpa sebuah potongan (editing) mengantarkan kepada pengalaman lain. Mata mengamati banyak hal dan penonton diajak untuk bermeditasi, terbang bersama pikirannya. Di jaman yang serba cepat, orang disajikan kotoran audio visual. Cut, Cut dan Cut. Potong sana potong sini. Waktu bekerja di televisi, ada pakem kalau gambar tidak boleh terpaku lebih dari 5 detik. Maka tontonlah acara televisi. Gambar berkelebat secepat kilat dari berbagai sisi. Seakan tak mempunyai rasa percaya diri.
The Umbrella movement adalah gerakan menentang keputusan China Daratan akan Hong Kong. Gerakan ini bergitu masif dan Hong Kong yang telah tumbuh menjadi kota yang penuh energi kebebasan tidak mau tunduk dengan segala peraturan kaku. Kemudian gelombang unjuk rasa yang terjadi akibat penolakan RUU extradisi yang melumpuhkan bandara kota dan kenekatan para mahasiswa melawan itu, mengguncangkan dunia. Anak muda benteng terakhir melawan ketidakberesan. Adalah gambar yang sempat kita saksikan di media, kala payung payung puluhan ribu warga Hong Kong, itu berkembang menantang hujan dan pemegang keputusan pada gerangan demonstrasi di Hong Kong beberapa waktu silam.
Waktu demonstrasi mahasiswa melanda Indonesia,menentang RUU KUHP dan KPK, maka mahasiswa Bali tidak diam. Mereka berteriak juga. Di kota kecil nan damai Singaraja ada juga yang memompa semangat ini. Tak pernah ada demostrasi besar di kota kecil ini. Pada hari yang sama, di media sosial ada tulisan dari mahasiswa kota yang menasehati agar tidak perlu ikut-ikutan melakukan demonstrasi. Katanya, kasihan orang tua kita yang sudah membiayai kita kuliah dan harusnya kita semua belajar agar cepat lulus. Tugas Mahasiswa adalah belajar bukan berdemonstrasi.
Tugas mahasiswa lain dengan tugas anak muda generasi penerus bangsa. Tugas Mahasiswa mengembalikan uang kuliah yang dibiayai orang tua, dan mencari pekerjaan setelah itu. Tugas Generasi muda penerus bangsa melawan apa yang dirasakan menyimpang. Menjaga negeri karena suatu saat nanti akan menjadi penerus. Membela apa yang benar dan mencari hal-hal baru dalam ilmu pengetahuan. Memang tak pernah ada orang besar lahir di kota yang kecil dan damai. Orang besar lahir dari kota yang penuh penderitaan.
Segala ilustrasi di atas semua terangkum dalam film pendek luar biasa sutradara Hong Kong Tseng Hing Weng Eric. THE UMBRELLA yang malam ini akan diputar di Rumah Sang karsa di dalam program OUT OF ORDINARY pada pukul 20,15 malam nanti 8/10/2019.
Film berdurasi 21.59 menit ini hanya terdiri dari satu shot (tembakan) Tersebutlah sebuah apartemen mahasiswa dengan segala persoalannya. Hubungan cinta, belajar, kunjungan teman, keluarga. Sutradara menyuruh penontonnya memilih jendela mana yang akan dilihat. Seorang mahasiswa datang terluka dan mengambil payung. Yang lainnya menangis karena ditinggal pacar. Dalam menit-menit pertengahan kemudian kita tergiring ke sebuah suasana. Untuk apa tinggal di dalam apartemen dalam situasi seperti ini. Ratusan ribu orang di jalan meneriakkan hak mereka dan kita menarik lagi selimut nyaman tebal berbulu domba.
Lagu No Woman No Cry Bob Marley telah dengan sangat bagus disalah artikan oleh penyanyi café-café negeri ini. Mereka mendendangkan bak seorang yang patah hati. Katanya kalau tidak ada wanita, tidak ada tangisan. Ini dihubungkan menjadi lagu cinta. Lagu legendaris No Woman No Cry diciptakan oleh BOB MARLEY., tetapi pada tahun 80 an, sebelum musik raggae merajalela, yang memperkenalkan lagu ini ke Indonesia adalah grup BONEY M dari Belanda. Mereka menyanyikan lagu ini demikian manisnya. Seperti menyanyikan Halo-Halo Bandung dengan rasa lagu-lagunya Yuni Shara.
Barulah ketika nama Bob Marley mendunia, kita mengerti bahwa ini adalah lagu tentang perjuangan. No Woman No Cry, tak hanya wanita yang bisa menangis. Diceritakannlah kala mereka melalukan perlawanan akan kemunafikan parlemen dan dengan bubur hangat yang dibagi-bagi tetap berteriak melawan hal yang dilakukan semena-mena. Saya harus tetap berpijak pada kebenaran. Kata sang Maestro. Semuanya akan baik-baik saja.
Sutradara film UMBRELLA Tseng Hing Wang Eric akan melintasi jalan berliku-liku memabukkan menuju kota kecil nan damai Singaraja dan akan duduk di rumah film Sang Karsa nanti malam. Dia akan memaparkan keberaniannya membuat film hanya dengan satu tembakan (shot) juga tentu akan banyak bercerita tentang arti sebuah perlawanan. Keberanian dan pergerakan demonstrasi para mahasiswa Hong Kong mendesak pemegang keputusan lebih mendengar aspirasi. P:erjuangan melawan ketidakadilan, tugas anak muda yang terpanggil menjadi tulang punggung penerus bangsa. [T]