Cerita pendek Le Tolstoy berjudul Master and Man bergerak seputar dua tokoh yang menarik. Membuat kisah antara dua orang memerlukan kedalaman tersendiri untuk bisa dikatakan sebagai sebuah cerita yang melekat lama diingat. Pemilik tanah Vasily Andreyevich Brekunov berjuang keras untuk tetap hidup dalam lebatnya hujan salju. Inilah yang teringat, kala menyaksikan film pendek sutradara Kanada Jereme Comte berjudul FAUVE.
Sang sutradara mempunyai dua pemain kartu AS ( Félix Grenier and Alexandre Perreault) yang tidak saja mampu memainkan perannya, tetapi berhasil menghantui penontonnya selama beberapa saat. Awalnya cerita biasa saja, permainan antara dua anak kecil. Di gerbong kereta hingga ke tempat-tempat sekitar. Hanya dua orang ini yang terpotret, Latar belakang kosong dan sepi layaknya jaman zombie meraja lela. Sang sutradara dibantu permainan dua anak ini membuat penontonnya nyaman duduk di kursi yang empuk.
Begitu memasuki daerah eksklusif anak Krakatao, pikiran tiba-tiba berdebar. Kru film National Geographic yang saya antar, menyuruh menghubungi tim BKSDA Lampung di kapal lain yang menjaga kami. Sutradara bertanya apakah aman mendekati anak Krakatoa lebih dekat dari 200 meter seperti yang dianjurkan tim pemantau vulkanologi di Anyer Carita. Ini karena drone tak bisa memotret dengan bagus di daerah 200 meter
“Aman”, katanya tegas. Bahkan kalau mau, saya bisa memasuki ekslusif zone yang paling aman untuk bisa membuat gambar dramatis. Saya menjelaskan dan sutradara National Geographic yang orang Inggeris itu, berfikir sejenak, lalu menginginkan lebih detail penjelasan di titik kordinat mana operator drone rekan saya bersama pemandu alam BKSDA Lampung akan berada.
Saya menggambar posisi sesuai penjelasan yang saya terima dari percakapan radio. “Okay, kalau ini aman, kita lakukan, tetapi tunggu dulu, saya akan menghubungi London. Melalui telepon satelit terjadi percakapan singkat dengan kantornya dan dengan dingin, sutradara menggelengkan kepalanya. ‘No, Kita tidak boleh masuk ekskludif zone. Terlalu berbahaya dan tak diijinkan asuransi” Maka cukuplah kami hanya berada di titik 100 meter di depan anak Krakatoa yang begitu penuh misteri.
Pasir-pasir yang menyelimuti Anak Krakatoa mengingatkan akan sebuah tempat yang dilalui dua anak itu. Mereka berlari saling bergurau. Di sinilah kemudian, cerita tiba-tiba berubah. Sesuatu terjadi dan penonton mulai menarik nafas panjang. Tak lagi nyaman duduk di kursinya. Dari film yang sepertinya kecil, tiba-tiba membesar bagaikan gunung purba TOBA. Tak terbayangkan kalau danau terbesar Nusantara dengan panjang 90 Km itu adalah kaldera dari gunung besar TOBA. Tanah letusan TOBA hingga sampai ke India.
Banyak penulis cerita yang sengaja tidak menceritakan, sebuah kisah yang ternyata hadir tersembunyi dalam lapisan lain. Ini disengaja, seakan-akan apa yang ditulis untuk menceritakan apa yang tidak ditulis. Kisah yang tersembunyi itu berjalan bergandengan dengan yang terlihat. Bagaikan konsep SEKALA-NISKALA dimana kedua hal ini tak terpisahkan. Dalam film pendek FAUVE menegaskan bahwa Sinema mempunyai kemampuan yang besar menceritakan hal yang tak bisa dijelaskan dengan medium lain. Sinema bukan semata tentang apa yang ditujukkan tetapi juga tentang apa yang tidak ditunjukkan.
Dua anak itu lalu melewati batas apa yang seharusnya tidak mereka lakukan. Memasuki daerah ekslusif zone yang menawarkan berbagai macam bahaya. Mereka tetap bermain layaknya anak kecil tak terjadi apa-apa. Kejaran mobil truk pengangkut pasir hanyalah membuatnya berlari senang.
Sehari setelah mengunjungi anak Krakatoa bersama kru film National Geographic yang tengah meneliti longsoran mengakibatkan tsunami tak terduga beberapa hari lalu, hati menjadi lega karena selama syuting tak terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
Beberapa minggu dipersiapkan melakukan perjalanan ini. Orang tak pernah menduga akan bahaya gunung meletus. Ini bisa terjadi kapan saja. Anak Krakatoa dipantau setiap hari dengan laporan-laporan tremor dari dua tempat, Pulau Sibesi yang berjarak 13 Km dari ekslusif zone dan di Anyer. Mereka membuat laporan setiap hari dan memasang CCTV.
Kru film dari Inggeris mempersiapkan segala detail dari prosedur keselamatan. Telepon satelit harus tetap hidup, memberikan titik kordinat setiap jam nya. Pelampung di boat harus sesuai dengan penumpang. Apa yang dilakukan jika terjadi letusan, dan segala hal detail seakan letusan itu benar-benar aka terjadi. . Speed boat dipersiapkan, tak boleh jauh dari kapal induk. Inilah prosedur keselamatan yang membuat orang Indonesia geleng-geleng kepala. Menggunakan sabuk keselamatan di mobil saja, kita tidak mau. Kata NASIB selalu menjadi andalan. Yah, sudah nasib mau apa lagi? Sering kita dengar.
Seluruh kru Inggeris pada saat sarapan pagi di pantai Carita, keesokan harinya, dikejutkan dengan gambar CCTV grup WA Anak Krakatoa. Tiga orang berpakaian bak pendaki gunung kawakan melambaikan tangannya di atas kawah gunung super aktif itu. Mereka bangga masuk ke dalam kawasan yang dilarang masuk. Kemarahan terjadi di dalam grup WA Anak Krakatoa. Gunung ini bukan daerah tujuan wisata. Inilah sesuatu membuat kita begitu lain dalam pergaulan Internasional. Prosedur keselamatan dan segala larangan adalah hal yang harus dilanggar. Kita menganggap remeh misteri alam.
Menjelang anak Krakatoa meletus, mengakibatkan tsunami vulkanik selat Sunda beberapa waktu silam, seorang saksi mata menuturkan bahwa dari pantai Carita, Gunung kelihatan sangat indah. Warna keemasan menggoda. Ini pemandangan yang jarang disaksikan selama hidup. Malam harinya, sesuatu terjadi. Yang tak disangka, peringatan tsunami tak ada. Tiba-tiba saja ada hantaman yang memporak-porandakan tatanan. Alam tak bisa diajak berkompromi. Alam menjadi musuh yang tak bisa dipermainkan. Longsoran Anak Krakatoa, dari ketinggian 300 an meter menjadi 120 meter. Selisih itulah yang menyebabkan guncangan trsunami vulkanik yang tak terduga.
Akhirnya Vasily Andreyevich Brekunov, sang tuan tanah berjuang untuk melawan badai salju, bergerak untuk tetap hidup. Begitu badai reda, sesuatu terjadi dan Leo Tolstoy memberikan renungan. Perlukah kita melawan garis kehidupan? Dimanakah prosedur keselamatan berada? Dalam bencana, waktu satu detik begitu krusial, itulah kenapa tidak boleh meletakkan bagasi dekat pintu keselamatan. Lalu teringat cerita kecelakaan Romo gereja paroki Paulus Singaraja di Baturiti beberapa waktu lalu. Romo berhasil lolos dari hal yang tak diinginkan karena dua hal. Pertama karena lindunganTuhan, yang kedua karena mengenakan sabuk pengaman.
FAUVISME adalah aliran seni lukis yang mempunyai umur pendek, berasal dari kata FAUVE (Binatang Liar) Gaya ekspresi begitu kuat dan melawan segala hal yang telah dihidangkan alam. Warna kuning bisa untuk daun dan tak ada aturan yang menjembatani. Terjun bebas dengan segala yang dikehendaki. Memberi warna apa saja terhadap alam sesungguhnya justru memberikan pengalaman personal antara pelukis dengan alam tersebut. [T]
Film FAUVE dari Jeremi Comte mendapatkan penghargaan di berbagai festival film dunia. Nominasi pada kategori piala Oscar 2018 lalu. Diputar dalam program IN BETWEEN- Minikino Film week 5 (Minggu, 6 Oktober 2019, pukul 17.00, di RUMAH FILM SANGKARSA)