Menjunjungan merupakan tradisi unik mengantar nganten perenpuan setelah selesai acara selametan, sang nganten diantar sanak keluarga terdekat untuk ke rumah mempelai laki laki. Dengan membawa berbagai perlengkapan rumah tangga, yang dijunjung bersama sama ibu ibu mempelai perempuan. Komunitas Guyup Melayu Bugis Loloan yang tersebar di Desa Pengambengan, Cupel, Banyubiru, Tegalbadeng Timur, Tegalbadeng Barat, Loloan Timur Loloan Barat, hingga Kecamatan Melaya.
Hal itu dilakukan karena di tahun 1980 an, alat transportasi masih sangat jarang di Desa Pengambengan, sedangkan di Desa Loloan Barat dan Loloan Timur transportasi sudah menggunakan dokar, jadi saat itu yang masih melestarikan tradisi mejunjungan adalah di desa-desa yang masih jarang ada transportasi dokar, salah satunya adalah Desa Pengambengan yang terletak di pesisir selatan kota Negara.
Kalimat Mejunjungan merupakan asal kata dari kata Junjung, membawa sesuatu benda diletakan diatas kepala, sehingga meringankan beban yang dibawanya.
Lain mejunjungan, lain pula dengan pakaian yang dikenakan oleh pengantin perempuan pada saat mejunjungan, sang nganten justru masih menggunakan awik di tahun 1980 an tersebut, hal mana yang sudah sangat jarang sekali terjadi di Loloan. Di foto kedua tampak sang nganten perempuan menggunakan awik tersipu malu menutupi separuh wajahnya. Sejauh mana tentang awik akan penulis coba ulaskan beberapa hal tentang AWIK Loloanm sehingga dapat memberikan sedikit gambaran bagi para pembaca khususnya maupun generasi di masa mendatang.
Pengertian Awik adalah kain kecil penutup kepala dan badan, yang telah menjadi tradisi budaya sehari-hari komunitas guyup Melayu Bugis Loloan di Jembrana Bali yang telah ada sejak jaman kerajaan pada awal abad ke XVII. Awik merupakan kain songket (tenun dari bahan sutera) yang berkwalitas tinggi. Tata cara pemakaian awik loloan dengan memakai selembar kain yang dililitkan dari pinggang ke atas menutup ke seluruh badan dan sampai kebagian kepala perempuan.
Tradisi memakai awik ini di masa dahulu dilatar belakangi pakaian putri putri bangsawan Bugis dan Melayu di Loloan yang sangat ketat menjaga pergaulan di tengah masyarakat. Anak dare sebutan untuk gadis di Loloan, pada masa dulu tidak boleh keluar sembarangan turun dari rumah panggung. Sebagai tempat berkomunikasi hanyalah melalui tontongan (Jendela tanpa daun jendela) yang ada disamping rumah panggung. Kata-kata yang lazim didengar pada masa loloan jaman lama yaitu “ade anak dare ngintip dari tontongan”, artinya ada seorang gadis yang mengintip melalu jendela samping rumah panggung. Juga ada perkataan ataupun julukan yang umum disebut “Pingitan”. Kata “pingitan” di loloan dimaksudkan untuk anak gadis yang sudah dipinang sang pujaan hati, sehingga pihak keluarga perempuan berusaha membatasi gerakan anaknya kepada dunia luar.
Saat ini bukti pisik kain awik di loloan masih tetap dilestarikan oleh para generasi mudanya dimana para datuk datuk telah mewariskan peninggalan kain awik dimasa dahulu. Pemakaian awik di Loloan tergantikan dengan tren kain kerudung (kain penutup kepala), disebakan oleh semakin langka dan mahalnya kain songket. Hingga tahun 1900 an pemakaian awik mulai perlahan-lahan tergantikan dengan kerudung kepala yang lebih murah.
Dimasa Loloan jaman lame, merupakan hal yang tabu bagi anak dare Loloan untuk turun dari rumah panggung dan keluar bermain seperti anak dare di jaman sekarang. Karena pada masa itu tradisi dan budaya di Loloan merupakan adat istiadat yang tetap diajarkan pada saat mengaji diatas rumah panggung, oleh para datuk-datuk yang juga kebanyakan merupakan murid langsung dari para alim Ulama di Loloan. Para datuk yang mengajar mengaji tetap berpesan dan menjaga agar anak murid perempuan setiap saat haruslah menjaga atau menutup aurat.
Masyarakat guyup Melayu Bugis Loloan dimasa itu sangatlah ketat memegang adat istiadat Loloan, karena adat merupakan bersendi hukum, dan hukum bersendi dari ajaran syariat agama Islam yang tetap diajarkan kepada anak anak sebagai generasi masa mendatang. [T]