- Judul: Gadis Suci Melukis Tanda Suci di Tempat Suci (kumpulan cerpen
- Pengarang: Made Adnyana Ole
- Penerbit: Mahima Institute Indonesia
- Terbit: Cetakan kedua 2019
- ISBN : 9-786026-106360
____
Buku yang diberi titel “Gadis Suci Melukis Tanda Suci di Tempat Suci” yang merupakan kumpulan cerita pendek, cetakan pertama tahun 2018. Sesungguhnya, buku ini merupakan refleksi kegelisahan Made Adnyana Ole akan punahnya cerita-cerita masa lalu yang pernah lekat masa kecilnya bersama orang-orang terdekat di desanya. Cerita seperti itu sepertinya sulit terhubung pada anak-anak masa kini. Upaya itu dilakukan dengan menghubungkan cerita kakeknya di masa lalu, dengan cerita di masa kini yang ia saksikan atau melalui bacaan di koran-koran.
Sejumlah cerpen dalam buku ini sudah pernah diterbitkan di media massa, seperti “Terumbu Tulang Istri”, “Darah Pembasuh Luka”, dan Lelaki Garam” di Kompas. “Gede Juta” dan “Kerapu Macan” di Majalah Horison, serta “Men Suka dan “4 Dari 100 Lelucon Politik” pernah muat di tatkala.co. Total cerpen yang terangkum pada buku kumpulan cerpen ini adalah 9 cerpen, yang semua isi dan alur ceritanya sangat menarik, misterius, penuh intrik yang membuat para pembaca akan penasaran karena sulit menebak akhir cerita sehingga harus menyelesaikan membaca karya tersebut.
Meminjam istilah Prof. Darma Putra pada acara “Forum Diskusi Bedah Sastra” di Kota Denpasar (Selasa, 21 Agustus 2018), bahwa pada buku kumpulan cerpen ini ditemukan adanya atavisme, yaitu munculnya kisah-kisah masa lalu yang absen beberapa generasi. Dari situ jelas, Made Adnyana Ole sangat bersemangat ingin menghidupkan kembali kisah-kisah masa lalu agar bersemi kembali pada generasi masa kini.
Pada cerpen “Lelaki Garam” misalnya, Ole berkisah tentang pesisir; “ladang garam”, “petani garam”, serta “keranjang garam”, lalu ditautkan dengan kehidupan di pegunungan dan di pedalaman, yang membuat cerpen ini penuh misteri tentang apa yang akan dikisahkan. Jika dihubungkan dengan kehidupan masa kini, tentu setting cerita tersebut sudah mulai sulit didapatkan. Melalui cerpen ini, setidaknya Made Adnyana Ole memberi gambaran tentang kisah masa lalu tersebut pada generasi sekarang.
Cerpen “Terumbu Tulang Istri”, Made Adnyana Ole menyuguhkan avatisme tentang kisah adanya tradisi “melarung” bagi pelaku penyimpangan seksual di Bali pada masa lalu, misalnya menyetubuhi binatang (sapi) yang menimbulkan reaksi berupa sanksi adat “menenggelamkan” hal yang dianggap “cemer” (kotor secara niskala). Jika dikaitkan dengan masa kini, rasanya akan menjadi efek jera jika diterapkan bagi para pelaku kejahatan seksual terhadap anak (fedofilia) yang marak terjadi sebagai dampak geliat pariwisata.
“Gadis Suci Melukis Tanda Suci di Tempat Suci” yang dijadikan judul dari buku kumpulan cerpen ini memiliki unsur atavisme paling tinggi. Betapa tidak, pada cerpen ini dikisahkan seorang gadis kecil bertubuh mungil dari generasi beberapa abad lalu. Selanjutnya, gadis ini dikisahkan berasal dari keturunan keluarga terusir dari seberang sebuah pulau sebagai akibat bentuk tempat suci keyakinan mereka berbeda.
Di pulau yang baru, mereka lalu memulai hal baru, menikah dan beranak pinak dengan para saudaranya. Gadis suci sendiri tidak menikah karena tidak memiliki pasangan lagi. Ia memilih hidup sendiri dan menyingkir ke tengah hutan. Suatu hari, akibat secara terus-menerus (108 kali) melafalkan mantra yang pernah diajarkan neneknya, tiba-tiba tubuhnya menjadi ringan dan bisa terbang.
Mulai saat itulah Gadis Suci memiliki kemampuan berbeda dengan manusia biasa dan tidak terlihat oleh manusia lainnya. Hal itu pula menyebabkan ia dianggap sudah hilang. Padahal, ia hidup abadi sepanjang zaman. Ketika suatu hari Gadis Suci menandai berbagai tempat suci orang-orang kota dengan adonan kapur sirih berbentuk bintang, penduduk kota yang sudah berpikir modern kebanyakan tidak lagi mempercayai kisah yang dianggap muskil ini.
Hanya beberapa tetua yang masih memiliki keyakinan akan datangnya bencana di wilayahnya. Anak-anak muda justru beranggapan bahwa itu adalah teror yang dilakukan seseorang untuk meresahkan warganya. Golongan ini memilih berpikir logis dan realistis, dengan melaporkan peristiwa itu ke aparat penegak hukum untuk mengusutnya. Mereka mulai tidak percaya dan keluar dari tradisi turun-temurun para leluhurnya, kecuali para tetua.
Jika dikaitkan dengan kehidupan pada masa sekarang, sesungguhnya fenomena peristiwa “colek pamor” (tanda tambah dari kapur sirih) pada tempat suci dan rumah masyarakat Hindu di Bali sepertinya ada relevansinya dengan cerita peristiwa di masa lalu. Namun, seperti biasa peristiwa itu pun memunculkan dua keyakinan; antara peristiwa mistis (tanda alam) peristiwa dan realistis (teror).
Pada cerpen “Siat Wengi” juga kental berkisah tentang berbagai pertentangan antara keyakinan atau tradisi masa lalu yang berbau mistis dan tradisional dengan pola pikir masyarakat kekinian yang mengedepankan berpikir logis. Pertentangan seperti itu sampai pada kehidupan sekarang pun masih terjadi. Walaupun kelompok penganut tradisional itu berada pada posisi minoritas dan mulai terpinggirkan oleh kemajuan zaman.
Dari berbagai kisah yang tersaji pada buku kumpulan cerpen ini, pembaca diajak dan diberikan sebuah pembelajaran berharga bagaimana mengenang dan menghargai kembali kisah-kisah atau tradisi masa lalu. Hal itu dikisahkan oleh Made Adnyana Ole secara gamblang, runut, menarik, sehingga pembaca diajak seolah-olah melihat dan mengalami secara nyata berbagai peristiwa dengan setting di masa lalu. Made Adnyana Ole benar-benar sanggup menjadi penghubung antara masa lalu dan masa kini, dengan harapan agar cerita-cerita para tetua di masa lalu tidaklah punah pada masa kini.
Kehadiran Sugi Lanus (ahli lontar dan pendiri Hanacaraka Sosiety) telah memberikan bobot tersendiri pada karya ini. Dalam pandangan Sugi Lanus, Made Adnyana Ole adalah salah satu sosok orang Bali yang memahami dan menguasai kultur orang Bali, yang bisa menari, memainkan gamelan, hidupnya ke sawah dan mengerti mengurus sawah dan mengenali berbagai penyakitnya. Proses kreatif Made Adnyana Ole dianggap lebih menyerupai bengong petani yang menunggui air subak untuk mengaliri petak sawah sambil bernyanyi kecil, kadang menggerutu, tanpa berniat menciptakan epos atau parade kolosal.
Ilustrasi dari pelukis dan perupa Bali, Dewa Gede Purwita Sukahet yang banyak mengolah ikonik bebatuan dari karya lukis I Ketut Gede memberikan kesan klasik yang sangat mendukung isi cerita yang penuh dengan avatisme. Kemudian, motif awon-awonan, perahu, motif bunga, dedaunan, hingga motif tutul-tutul pada badan telah membalut kekerasan dengan flashbackdan metafora garis-garis kuat dan keras.
Oleh sebab itu, kehadiran kumpulan cerita pendek Made Adnyana Ole ini patut disyukuri dan diberikan sambutan antusias oleh berbagai kalangan, seperti; pegiat literasi, pemerhati budaya, pemerintah yang sedang mengaungkan program “Ajeg Bali”, kalangan akademisi maupun dunia pendidikan. Kumpulan cerpen “Gadis Suci Melukis Tanda Suci di Tempat Suci” sangat baik dan bermutu dijadikan narahubung antara masa lalu dengan masa kini, antara generasi tua dengan generasi muda, serta antara kaum tradisional dengan golongan realistis. [T]
*Tulisan ini disajikan dalam acara Diskusi Buku “Gadis Suci Melukis Tanda Suci di Tempat Suci” di Museum Pustaka Lontar Dukuh Penaban, Karangasem, Minggu 22 September 2019.