Cerpen: Surya Gemilang
____
Pagi ini saya tak bisa bercermin gara-gara bayangan saya menghilang. Di cermin, saya hanya melihat dinding putih serta tiruan lukisan The Scream yang menjadi latar belakang tubuh saya. Saya jadi amat kesusahan untuk berdandan, padahal saya mesti cepat-cepat berangkat ke sebuah kafe untuk berkencan.
Saat berjalan kaki menuju kafe, saya sempat berhenti di pinggir jalan untuk memeriksa selokan; di airnya, saya juga tak melihat bayangan diri saya. Saya sempat pula menatap kaca etalase sebuah toko lekat-lekat, tapi sama sekali tak saya dapati bayangan saya terpantul di sana. Begitu juga saat saya memandangi spion kendaraan-kendaraan yang diparkir di pinggir jalan pun mata orang-orang yang menyapa saya.
Apakah bayangan memang bisa pergi—dan kembali—sewaktu-waktu, sesuai kehendak sang bayangan? Apakah bayangan memiliki semacam masa kedaluwarsa atau semacam nyawa yang tak menjadi satu dengan nyawa yang menghidupi raga kita? Ah, persetan dengan bayangan. Apa yang membuat saya waswas sekarang bukanlah bayangan yang hilang, melainkan bagus atau tidaknya dandanan saya—dan untuk memastikan itu, saya harus memeriksa bayangan saya di cermin! Kalau dandanan saya jelek, bagaimana reaksi lelaki yang akan saya kencani itu?
Tidak, saya tidak sedang membicarakan soal cinta. Hanya kencan. Jadi, Anda tak bisa menghibur saya dengan kalimat, “Kalau lelaki itu memang mencintai Anda, ia tak akan mempermasalahkan dandanan Anda yang kacau.” Saya bahkan belum pernah berjumpa dengan lelaki tersebut; sejauh ini kami hanya berkomunikasi via aplikasi kencan.
Akhirnya saya tiba di depan kafe itu. Melalui kaca jendela yang amat besar, saya melihat lelaki yang akan saya kencani sudah menghuni salah satu meja. Wajah tampan itu sesuai dengan foto yang dipajangnya di aplikasi kencan.
Bagaimana jika dandanan saya jelek? Bagaimana jika, menurutnya, wanita yang ideal adalah wanita yang mempunyai bayangan?
Tahu-tahu saya mendengar ada yang tertawa. Rupanya tawa itu berasal dari seorang pria yang berdiri di samping pintu masuk kafe: si Doorman. Ia langsung membuang muka begitu saya membalas tatapannya, tanpa membuang tawanya.
“Apa yang lucu dari saya, heh?!”
Tawa si Doorman seketika lenyap. Ia menunduk dengan wajah pucat.
Saya mendekatinya. “Anda menertawakan saya, bukan?”
“Maaf, Nona. Maaf …. Saya memang tak terbiasa menahan tawa.” Suaranya bergetar.
“Apa yang lucu dari saya?”
“Hmm … anu ….”
“Apa dandanan saya lucu?!”
Si Doorman mengangguk.
“Terima kasih.”
“Lho? Anda, kok, malah berterima kasih pada saya.”
“Lupakan saja. Apa Anda bisa membantu memperbaiki dandanan saya?”
“Ah, saya tak pernah mempelajari dandanan perempuan, Nona. Apa Nona tak bisa berdandan sendiri? Eh, kok, saya malah bertanya demikian, ya? Padahal jawabannya sudah jelas sekali.” Ia lantas tertawa, dan baru melanjutkan kalimatnya setelah saya menamparnya. “Maafkan tawa saya, Nona. Kalau Nona hendak memperbaiki dandanan, sebaiknya Nona pergi ke salon yang ada di sana.” Ia menunjuk ke suatu arah.
Begitu saya hendak menyeberang ke salon, sekonyong-konyong saya melihat mantan kekasih saya melintas di depan pintu salon tersebut bersama … diri saya sendiri. Itu pastilah bayangan saya! Ah, tapi benarkah itu bayangan saya? Atau sebenarnya itu adalah wanita lain yang kebetulan berpakaian sama seperti saya?
Baiklah, saya tidak akan berteriak, “Hei! Kembalikan bayanganku!” dan berlari ke arahnya—seperti yang semula saya rencanakan. Saya akan mengikuti mereka berdua diam-diam, ke mana pun mereka pergi, hingga saya mendapatkan kepastian soal “wanita” itu.
Saya mengikuti mereka dengan amat sabar, sabar, sabar, hingga saya begitu yakin bahwa ia adalah bayangan saya karena, saat mereka melintas di depan etalase sebuah toko, di kacanya saya tak melihat bayangan wanita itu di samping bayangan mantan kekasih saya! Bukankah bayangan memang tak mempunyai bayangan? Saya pun meneriaki mantan kekasih saya, sehingga ia dan bayangan saya berlari terbirit-birit.
Akhirnya, mereka berdua masuk ke rumah mantan kekasih saya dan terdengar bunyi klak yang menandakan pintu dikunci dari dalam. Pintu yang dikunci bukanlah masalah buat saya; saya pun berlari kencang, melompat setinggi mungkin, dan menabrak kaca jendela rumahnya hingga pecah. Maka, mendaratlah saya di sebuah ruangan yang setiap sisi dinding, petak lantai, dan langit-langitnya terbuat dari cermin. Ini adalah ruangan segi sembilan yang tak pernah saya jumpai saban bertamu kemari sebelum-sebelumnya, saat saya dan mantan kekasih saya belum putus!
Anda tahu apa yang lucu? Di sini, saya melihat bayangan saya di mana-mana! Dan, keberadaan banyak bayangan itu membuat saya, entah kenapa, merasa sedemikian takut. Saya merasa mereka tampak seperti sepasukan musuh yang menyamar menjadi bayangan-bayangan saya, yang telah mengepung saya, yang bisa membunuh saya kapan saja.
Saya berpikir untuk melompat keluar dari ruangan ini melalui jendela yang saya gunakan untuk masuk. Namun, jendela itu telah lenyap. Begitu pula pecahan-pecahan kacanya yang tadi terserak di lantai dan menggores tubuh saya. Di titik di mana seharusnya jendela itu berada, kini hanya terlihat dinding-cermin yang rata!
Anda tahu apa lagi yang lebih lucu? Ternyata, dandanan saya sangat bagus! Semestinya saya langsung masuk ke kafe itu, dan pria yang akan saya kencani pasti sangat menyukai dandanan saya. Si Doorman pasti berbohong; ia pasti telah bekerja sama, sedemikian rupa, dengan mantan kekasih saya untuk menggiring saya kemari. Jelas saya telah dibodoh-bodohi!
Semestinya saya tak memedulikan bayangan saya yang hilang! [T]