13 September 2019, Di Desa Adat Tenganan Pegringsingan.
DAHA, mendengar kata tersebut terbesit dalam benak, bahwa sesosok wanita anggun bagaikan Dahadari (baca; bidadari) yang berasal dari tanah Bali Aga, salah satunya adalah Desa Adat Tenganan Pegringsingan yang berada di Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem.
Tenganan Pegringsingan merupakan salah satu desa representatif Bali Aga yang masih memegang teguh adat istiadat serta budayanya yang adi luhung dan tentunya tak lekang oleh perubahan zaman. Tradisi-tradisi di desa adat Tenganan Pegringsingan masih terjaga originalitasnya yang mampu mengikuti perubahan zaman, serta relevan dengan adaptasi kekinian, hal tersebut dikarenakan tetuek (makna/isi) yang terkadung didalamnya mengisyaratkan pembentukan karakter yang mencerminkan keteguhan hati yang kuat, kokoh. Salah satunya Masabatan Endut.
Masabatan Endut merupakan rangkaian dari prosesi Padewasan atau Kagedong dalam Tradisi Materuna Nyoman, yaitu salah satu tradisi terkait pembentukan karakter teruna (pemuda) di Tenganan Pegringsingan yang berproses dalam pembentukan karakter dengan sistem pendidikan informal dalam balutan Tradisi adat. Tradisi Materuna Nyoman diibaratkan layaknya proses metamorphosis kupu-kupu, pada bagian padewasan atau kagedong saat ini, calon teruna nyoman telah memasuki fase kepompong.
Masabatan Endut, secara harfiah kata dapat dikonotasikan dengan arti dalam bahasa Indonesia adalah “masabatan” yakni proses melempar, dan “endut” yakni lumpur, namun yang dimaksud dalam “endut” dalam prosesi ini adalah lumpur yang telah dicampur dengan buah nangka yang sudah busuk dan kotoran kerbau (tain kebo), olahan endut ini hanya boleh dibuat oleh Teruna Pengawin (teruna yang telah melalui proses Materuna Nyoman serta posisi kedudukannya 1 tingkat diatas dari teruna nyoman yang baru selesai/lulus dalam proses Materuna Nyoman).
Mesabatan Endut dilakukan dimasing-masing Gantih (asrama) Daha, yang pertama di Gantih Wayah, selanjutnya di Gantih Nengah, terakhir di Gantih Nyoman dengan prosesi yang sama. Masabatan endut ini terus berlangsung sampai tiga kali dimasing-masing Gantih Daha selama tiga hari sekali yakni saat penanggalan Tri Wara, Beteng (sesuai dengan sistem penanggalan kalender Desa Adat Tenganan Pegringsingan).
Mesabatan Endut, dimulai dengan Masamodana (mengucapkan mantra) oleh Teruna Bani (teruna yang telah melalui proses Materuna Nyoman serta posisi kedudukannya 2 tingkat atau lebih, diatas dari teruna nyoman yang baru selesai/lulus dalam proses Materuna Nyoman), untuk memohon izin kepada sesuhunan serta sebagai pertanda akan dimulainya prosesi Mesabatan Endut. Saat Teruna Bani mengucapkan Samodana, tepat pada saat yang bersamaan juga dilemparlah olahan endut tersebut oleh Teruna Pengawin. Saat para Teruna Pengawin melempar endut kepada Daha, Daha tersebut tidak diperbolehkan menghindar, marah ataupun berbicara kasar (mengumpat). Para Daha hanya boleh menutupi dirinya dengan kain hingga kepala tanpa menutupi wajahnya.
Namun dalam pelemparan endut juga memiliki aturan dan tidak boleh sembarangan dalam pelemparannya. Pelemparan dilakukan dengan tangan seperti meminta (posisi telapak tangan di atas) lalu hempaskan endut tersebut, tidak seperti halnya melempar batu. Melempar endut ini dilakukan terus menurus hingga Teruna Bani selesai mengucapkan Samodana (mantra).
Mesabatan endut memiliki makna mendalam dimana Daha hendaknya memilki ketetapan hati yang teguh dalam menjalani kehidupan kelak nanti, apapun bentuk cobaan dan halangan yang dihadapi, janganlah bertindak ceroboh dan emosi, selalu syukuri yang terjadi karena segala sesuatunya memiliki makna yang berarti dalam kehidupan. Dapat dibayangkan bahwasanya endut yang dilempar adalah lumpur yang dicampur dengan nangka yang busuk disertai dengan kotoran kerbau, sudah dapat dipastikan jika orang yang dilempar akan marah, namun dalam prosesi ini para Daha tidak boleh marah,.
Tetuek dari proses ini sujatinya adalah Daha diajarkan bahwa segala sesuatu cobaan yang dihadapi mestilah tidak ditanggapi dengan emosi, karena kelak Daha akan menjalani kehidupan berkeluarga, dimana dikehidupan tersebut banyak masalah yang akan muncul, dan seperti apapun masalahnya hadapilah masalah tersebut jangan pernah menghindar dan tanggapi dengan kepala dingin. Jangan sekali-kali menjadi pribadi yang manja dan tetaplah teguh dengan hati sebagai seorang wanita yang kuat, serta menumbuhkan/menguatkan karakter moral dan etika. .[T]