Kepada
Yth. Kawan, Sahabat, Teman
Cerita-cerita haru tentang inagurasi SMA/SMK Negeri Bali Mandara sering saya tahu dari media sosial. Tahun pelajaran 2019/2020 saya hadir dan menulis nama pada no urut 1 daftar hadir undangan VIP. Di antara karangan bunga “Selamat dan Sukses” di depan hall saya disapa oleh Pak Darta, sang “eksekutor”, yang memungkinkan ide Bapak Gubernur Mangku Pastika (kala itu) jadi nyata. Lahan gersang di bebukitan Air Sanih, lontar dan intaran, sahabat kemarau, menjadi saksi. Di lahan inilah keringat dan air mata para guru muda, barisan perintis itu menjadi oase, sejak itu dan hingga hari ini, tempat ratusan siswa miskin yang akan tiba tiap tahun, berjuang bersama meretas kemiskinan pada jalur pendidikan berkualitas tinggi.
Pagi itu (28/8/2019) kursi orang tua siswa yang diinagurasi, baru terisi beberapa. Di belakang saya seorang ibu (janda) dari Desa Pujungan, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan. “Anak Ibu di sini?” Sapa saya. Dia menjawab, “Nggih, Pak”. Kami bercerita tentang pohon lempeni yang ia bawa ke sekolah, yang wajib jadi “oleh-oleh” kepada alam Air Sanih, sahabat anak mereka dalam tiga tahun ke depan.
Saya tidak suka mengikuti upacara. Kali ini saya terhormat “diajak” dalam ikhtiar mulia.
Tiada perlu saya cerita kualitas acara yang menjadi bukti kerja (belajar) siswa dan guru yang dilandasi konsep “Pendidikan Berbasis Kesadaran”, sebagaimana diungkap lagi dengan lebih jelas pada sambutan Pak Darta, senantiasa tutur sapa yang sederhana, mendasar, hakiki, bernas, dan sama sekali amat jauh dari jemawa, yang mungkin boleh dilakukan karena sekolah Bali Mandara menapaki pencapaian-pencapaian internasional.
Di luar upacara inagurasi ini, saya termasuk orang awam yang sangat sering terlibat. Saya mengajari siswa menulis dan membaca buku. Saya pahami, Sekolah Bali Mandara (SMA/SMK) adalah jawaban nyata gugatan Paulo Freire di Brazil. Romo Mangun menyelenggarakan Sekolah Mangunan, Butet Manurung mendirikan Sekola Rimba, dan Bapak Mangku Pastika membangun Sekolah Bali Mandara. Maka yang membedakan di antara ketiganya adalah karena keberpihakan politik.
Ghalibnya orang miskin tersisih, pun dalam pendidikan. Sampai-sampai mereka merasa tidak punya hak untuk sekolah. Konsep “Sekolah Bali Mandara”, sekolah berkualitas super dan holistik untuk masyarakat miskin, sama sekali bukan “edukasi belas kasihan” tetapi disiapkan dengan penghormatan tinggi kepada masyarakat miskin di Bali.
Siapapun tidak sanggup melakukan proses panjang pembangunan SDM yang berasal dari kaum miskin dan marginal, sampai ada hasil nyata, kecuali politisi. Politik adalah kendaraan atau jalan bebas hambatan bagi segala kemuliaan dan kejahatan sosial. Sekolah Bali Mandara sejak dirintis hampir 10 tahun silam dan hingga hari ini, dan selanjutnya, adalah proyek politik yang sangat mulia.
Ketika saya makan bersama Pak Darta di kantin sekolah, beliau mengatakan, kurang lebih, program Sekolah Bali Mandara, sebagai bukti bahwa negara hadir di dalam kehidupan masyarakat miskin. Kehadiran negara yang seperti kata-kata Pak Darta, bagi saya, rakyat tidak bernama, sudah cukup melegakan karena serasa menjadi penebus perasaan bersalah karena segala ketidakberdayaan (saya).
Hadir di antara orang tua miskin yang mungkin menjadi hari pertama kali mereka duduk dalam segala suasana kehormatan, kemuliaan, ketulusan, saya merasakan segala kesahajaan, seperti terlihat pada sandal jepit, pakain, kebaya, dan kehadiran mereka secara umum. Kini mereka menyaksikan uluran tangan negara dengan “mengadopsi” anak-anak masa depan mereka, selama tiga tahun dalam sistem pendidikan dengan tiga pilar “The Caling”. “Foundation”, dan “Kesadaran”.
Saya mengira ungkapan kehidupan dua wakil siswa, hanya akan menjadi klise dan normatif, di atas panggung besar, dengan bidikan ratusan kamera di hadapannya. Ternyata saya salah.
Tidak berlebihan jika saya harus menangis dan hampir semua hadirin, ketika seorang siswi dari Tabanan mengenang masa kecilnya, dengan ASI diganti air gula (jika itu ada) dan diasuh oleh neneknya karena ibundanya entah kemana dan suatu hari harus menyaksikan ayahnya sudah jadi mayat karena gantung diri di gubuknya. Atau cerita keluarga yang disampaikan oleh wakil siswa lainnya, yang sampai saat ini harus menyimpan rasa rindu panjangnya untuk bisa melihat wajah ibunda.
Ketika saya menjadi salah seorang tim wawancara, tahap akhir PPDB tahun pelajaran ini, memang banyak cerita hidup tragis yang dialami calon siswa. Saya menyimpulkan. Mereka memang miskin secara terminologi ekonomi. Mereka juga miskin dan tertindas secara sosiologis, struktural, dan kultural. Mereka menjalani kemiskinan dimensi ganda. Maka untuk membantu mereka bebas maka generasinya tidak boleh lagi miskin dan di sini yang diperlukan adalah pembangunan karakter mereka, yang menempati dimensi rohani dan intelektual.
Maka bagi siswa dan orang tua, demikianlah sikap saya yang dinyatakan dengan tegas dalam surat ini, Hari Inagurasi adalah garis batas antara masa lalu dan masa yang akan bergerak ke depan. Maka sejatinya seluruh tangis kesedihan sudah habis di Hari Inagurasi. Tidak ada lagi air mata ketika kendaraan-kendaraan murahan dan sepeda motor tua yang dikendarai oleh orang tua bergerak meninggalkan lapangan parkir sekolah.
Lupakan kemiskinan itu, sayang.
Mari kita tanam pohon lempeni yang dibawa oleh ibu seorang janda dari Desa Pujungan, bersama ratusan pohon lain, yang akan menaungi Bukit Air Sanih. [T]
Ruang Jurusan Bahasa, Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Ganesha
29 Agustus 2019