Perempuan kaki Batukaru, yang pada awal sejarahnya menjadi bagian dari basis ekonomi pertanian, datangnya hari raya terbesar, Galungan, ditandai dengan kesibukan membuat aneka jaja galungan. Semua jaja galungan berupa jajan kering, kecuali bantal dan bubuh injin, agar awet.
Jenis-jenisnya jaja, seperti jongkok (begina), talin kereta, matahari (yang biasa dan empuk), sirat, gipang, satuh, bubuh (dodol injin), dan pelpelan. Semuanya digoreng dan penuh warna dari kesumba yang “beracun” namun sangat menarik dipandang mata, serupa bunga plastik saat ditata jadi banten persembahan.
Popularitas jaja galungan tergusur oleh aneka biskuit dan camilan. Anak-anak tidak suka makan jaja paridan galungan lagi. Karena itu nasib jaja galungan bisa dibilang tragis. Habis dipersembahkan pada akhirnya dibuang atau jadi pakan celeng.
Hingga 1980-an jaja galungan adalah camilan keluarga. Teknologi sederhana pengolahan agar lebih enak ialah dengan ngepes. Maka dikenal jaja mepes. Aneka jaja galungan ditumbuk sampai halus lalu dicampur pisang, dibungkus daun, dan dipanggang. Nikmat dimakan dengan kopi pahit yang rada kental sambil ngidu ditengah pagi dingin kaki Batukaru yang menusuk.
Di luar aneka jaja galungan itu ada satu jenis jajan yang identik dengan etnis Cina di Pupuan, yaitu jaja maco, yang bentuk dan warnanya seperti macan atau harimau. Hingga kini orang Cina di Pupuan dan Pempatan tetap menutup rapat rahasia pembuatannya, terutama yang menyangkut “tulang”, seperti pasta yang empuk, tempat sengauk ketan warna-warni menempel dengan perekat gula bleko.
Jaja maco hanya muncul setiap Hari Raya Galungan. Jika hari-hari ini lewat di Pupuan, maka banyak tersedia di warung.
Namun demikian, “suku cadang” yang paling rahasia dari jaja maco, “tulang”-nya tetap sebuah rahasia rapat semenjak orang Cina menginjakkan kaki di Pupuan. Ini perkara menjaga kekayaan leluhur. Dengan rahasia ini maka orang Bali di kaki Batukaru pasti akan bergantung karena tidak tahu cara membuatnya, bahannya dari apa.
Boleh kiranya berbicara soal akulturasi Bali dan Cina pada kasus jaja maco atau jaja macan, namun akulturasi ini diliputi rahasia dengan motif persaingan ekonomi. Jadi, akulturasi setengah hati, yang lebih menguntungkan orang Cina tentunya. Jangan harap akulturasi murni budaya dan tulus tetapi akulturasi sarat intrik ekonomi untuk menguasai kelompok lainnya. Namun demikian, akulturasi terasa lebih menyejukkan karena aroma budaya dapat menawar atau menyembunyikan hegemoni ekonomi dan ketergantungan orang Bali terhadap orang Cina. [T]