Koes Plus tak pernah pudar, apalagi mati. Lalu-lagunya selalu berkumandang menembus zaman demi zaman, dan setiap lagunya bergema semua orang seperti tersedot untuk turut bersenandung, bahkan turut berteriak lebih lantang dari penyanyi di atas panggung. Lagu-lagu Koes Plus memang merambat dari generasi ke generasi.
Itu tampak pula dalam Festival Tepi Sawah, Sabtu, 6 Juli 2019 malam, di Omah Apik, Pejeng Gianyar. Malam itu, semua rangkaian festival di hari pertama ditutup dengan kegembiraan mengenang Koes Plus. Kegairahan meraih Koes Plus hingga ke masa lalu. Tribute to Koes Plus. Semua penonton, termasuk tamu asing, beranjak dari tempat duduk, larut dalam irama lagu-lagu Koes Plus, yang sahaja, ngalir, dan menyedot perasaan.
Di atas panggung, Endah Laras, Bonita, dan sejumlah penyanyi mengalirkan lagu-lagu Koes Plus dengan berbagai kegembiraan. Sesi Tribut to Koes Plus itu seakan menyambung berbagai kegembiraan untuk mada-nada Nusantara dalam Festival Tepi Sawah di hari pertama itu, sejak dibuka hingga malam mulai larut.
BACA JUGA:
Malam di hari pertama itu memang meriah dengan jamming dari berbagai artis lokal. Di senja hari, acara dibuka dengan sambutan oleh Nita Aartsen, satu dari 3 founder Festival Tepi Sawah 2019. Dalam sambutannya, dia menjelaskan dengan bahasa inggris konsep peformance di alam terbuka dengan melibatkan artis lokal.
“This is a big thing, kita menggerakkan banyak komunitas lokal dengan nilai-nilai edukasi, lingkungan dan kebudayaan,” katanya dengan senyum merekah. Pembukaan ini diadakan di stage Uma jam 18.30.
Pembukaan pun dilanjutkan dengan kolaborasi antara Nita, Endah Laras, Woro, dan Gamelan Yuganada. Woro, sinden cilik kelahiran Semarang ini membuka dengan bernarasi dengan bahasa jawa mengenai Indonesia dengan keberagamannya yang dipunya.
“Dengan keberagaman itulah, di era modern ini kita bisa menjadi lebih kuat, tentram dan saling menyayangi satu sama lain,” jelasnya.
Penampilan pun dilanjutkan dengan nyanyian merdu dari Endah Laras yang membawakan lagu Di Bawah Sinar Purnama. Nyanyian tersebut diiringi oleh dentingan piano Nita Aartsen dan suara violin dari Celticroom Bali. Sebagai penutup sesi tersebut, Gamelan Yuganada menampilkan gamelan dan tari kecak khas Bali.
Saat ditanya tentang persiapan, Woro mengaku sudah datang ke Bali sejak dua hari yang lalu (4-07) dan menjalani latihan.
“Dapat latihan dua kali, check stage and sound, lalu perform hari ini,” katanya.
Pemilihan lagu baik untuk opening maupun sesi jamming disesuaikan dengan tema acara.
“Kalau opening memang kesepakatan Tante Nita dan Mama Endah, kalau jamming kan disesuaikan dengan temanya yaitu Dolanan Jawa,” jelasnya.
Selama sesi jamming di stage Kubu, beberapa lagi yang dibawakan adalah Ilir-Ilir dan tembang dolanan dari Banyuwangi.
Tak hanya opening dan sesi Dolanan Jawa, malam di Festival Tepi Sawah juga dimeriahkan oleh penampilan Jegog Suar Agung. Jegog yang memberi suasana berbeda, namun tak tersisih dari perhatian pengunjung. Jegog mendapat perhatian penuh, seperti hentakan di tengah aliran berbagai nada yang dimainkan oleh berbagai artis Nusantara. [T] [*]