Seorang teman tampak asik memainkan gadged miliknya. Selang beberapa lama, dia memulai pembicaraan. “Bro, tahu Hanna Annisa?”
Saya jawab, “Tidak, Bro, kenapa?”
Dia menimpali, “Itulho, mahasiswi UI, noh video mesumnya tersebar luas di medsos, lagi viral nih. Saking penasaran, beberapa kali aku searching di youtube. Yang muncul sih gambar salah satu adegan ranjangnya, tetapi setelah kubuka, eh isinya malah tayangan siksa kubur bagi manusia-manusia penyuka bokep,”.
Sontak saya terkekeh mendengar pengakuan polos kawan ini. Peristiwa tersebut saya alami sekitar Oktober 2017 lalu ketika menjadi salah satu juri dalam ajang Lomba Debat SMA se-Bali yang diadakan oleh Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Undiksha Singaraja.
Setelah kegiatan lomba usai, saya ikut penasaran dengan sosok Hanna Annisa. Mungkin karena saking viralnya, pencarian Hanna Annisa segera menjadi trending topic di youtube dan twitter. Di chanel Youtube misalnya, banyak saya temukan video yang menautkan kata pencarian “Hanna Annisa”. Durasinya tidak lebih dari 5 menit. Gambarnyasih sepertinya salah satu adegan ranjang, tetapi kontenya jauh panggang dari api. Isinya justru salawatan disertai ajakan pertobatan dari kemaksiatan.
Belum lenyap kegegeran video ranjang yang diduga Hanna Annisa dengan pacarnya, publik tanah air kembali dikejutkan dengan beredarnya rekaman intim yang mirip Marion Jola, salah seorang peserta Indonesia Idol 2018 yang masih berumur 17 tahun. Untuk meredakan rumor yang beredar, perempuan yang akrab dipanggil Lala itu sampai harus membuat postingan klarifikasi di akun instagram miliknya. Isinya menyatakan bahwa sosok perempuan yang ada di dalam rekaman itu bukan dirinya.
Kemunculan dua video di atas mengingatkan saya dengan video “panas” Ariel Noah bersama Luna Maya dan Cut Tari di tahun 2010. Seluruh pelosok negeri dibuat heboh, berita tentang ketiganya bahkan mengalahkan hingar bingar Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan.
Pada akhirnya, ketiganya duduk di kursi pesakitan, didakwa pasal-pasal pornografi dan pornoaksi yang proses pengundangannya telah disahkan sejak tahun 2008. Ariel divonis 3 tahun penjara, Cut Tari dan Luna Maya melenggang bebas. Ariel dengan grup bandnya Peterpan terpaksa vakum, sedangkan Luna Maya dan Cut Tari, meski tak ikut merasakan dinginnya jeruji besi harus ikhlas mendapatkan caci maki dan sanksi sosial yang tidak kalah hebat.
Sebenarnya masih banyak skandal seksual yang melibatkan publik figur, namun hanya beberapa saja yang saya cantumkan untuk mengantar tulisan ini. Ada semacam kecanduan psikis yang bersifat personal, khususnya generasi milenial dalam merespon modernitas.
Unsur-unsur modernitas ini beraneka macam, contohnya perkembangan handphone. Benda ini adalah barang wajib yang menemani aktivitas milenial kapan dan dimanapun berada. Handphone yang di awal kehadirannya diperuntukan untuk sms dan telfon, seiring bertambahnya kebutuhan manusia, ikut mengalami perkembangan dengan penambahan fitur-fitur aplikatif yang bisa diterapkan secara mandiri. Aplikasi foto dan video menjadi contoh bagaimana handphone telah berhasil merespon keinginan manusia yang tanpa batas.
Modulasi foto dan video yang tersemat di dalam handphone dibuat dengan harapan mampu mengabadikan pengalaman dan momen-momen indah bersama orang terdekat. Aktivitas intim di ranjang tanpa pengecualian tidak luput juga dari pendokumentasian. Meski awalnya sebagai “konsumsi” pribadi, oleh sebab-sebab tertentu, aktivitas yang telah terdokumentasikan itu tersebar sehingga menimbulkan gejolak sosial di masyarakat.
Ada beberapa hal yang membuat orang terinspirasi untuk merekam satu momen hidupnya lewat bantuan teknologi, baik berupa foto maupun video. Selembar foto adalah sekeping peristiwa yang terekam di dalamnya. Secara sederhana bisa dikatakan sebagai karya dokumentasi, sebagai kenang-kenangan. Sebuah foto lama mungkin akan membangkitkan nostalgia tentang lokasi tempat pengambilan foto, dan bagaimana perubahan wujud lokasi itu sekarang.
Teknologi yang diperbarui terus menerus juga melahirkan kesempatan dan menyediakan sarana mengawetkan peristiwa dengan lebih lama dan abadi. Bahkan, teknonologi semacam itu bisa digandakan, dimassalkan dan disimpan.
Selain berfungsi sebagai perekam, momen sebuah foto atau rekaman video juga berperan untuk menunjukkan kemesraan ruang pribadi kepada publik yang lebih luas. Kemesraan, kedekatan, atau keintiman kadang-kadang terasa begitu abstrak sehingga dengan adanya foto atau rekaman video, semuaya tampak lebih nyata.
Sebuah foto lecek yang tersimpan di dompet sekalipun bisa berperan sebagai penanda kenangan yang kita miliki dan keintiman yang terjalin antara aku, kamu, kita dan mereka. Selembar foto menunjukkan sifatnya yang paradoks karena ia sekaligus berperan untuk menyembunyikan ketidakharmonisan suatu hubungan.
Ketiga kasus asusila di atas mengingatkan kita tentang batas ruang privat dan ruang publik serta pergeseran-pergeseran yang terjadi selama ini sangat tipis dan kian buram. Terdapat batas-batas yang tidak selalu berupa aturan tertulis dan tegas. Batas-batas tersebut justru tidak tertulis, hanya bisa dirasakan dengan hati dan dari norma-norma yang berlaku pada suatu masyarakat.
Jika terjadi pelanggaran, atau jika salah satu batas-batas tersebut kita langgar, besar kemungkinan akan terjadi goncangan sosial. Rekaman video itu dengan jelas memperlihatkan aktivitas “ranjang” yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh pasangan yang belum menikah. Pada masyarakat Timur, seperti Jawa dan Bali, hubungan seks yang dilakukan oleh pasangan yang belum menikah akan menjadi persoalan besar karena norma-norma yang berlaku di masyarakat memang tidak mengijinkannya.
Pada level permukaan sebetulnya katup-katup ruang-ruang privat ini disadari atau tidak semakin lama semakin terbuka. Sebagai contoh misalnya pengalaman saya di tahun 2011 ketika berolahraga di sekitaran Renon Denpasar. Banyak muda-mudi yang menjadikan aktivitas olahraga di ruang publik hanya alibi.
Mereka memanfaatkan momen itu untuk bertemu. Tempat duduk taman yang letaknya agak tersembunyi menjadi ajang pelampiasan rindu. Bagi saya yang termasuk generasi milenial awal (dimulai sejak 1980-an), perilaku tersebut tergolong biasa, tetapi tidak bagi orang lain yang berlalu lalang dan kebetulan berasal dari generasi yang lebih tua.
Mereka memalingkan muka pertanda malu menyaksikan adegan intim di ruang publik. Bagaimana mungkin muda-mudi itu bisa melakukan perilaku terlarang dengan orang yang belum dinikahi?
Persoalan intimasi termasuk di dalamnya persoalan seksualitas di Indonesia tidak bisa dilihat sebagai persoalan yang sederhana. Kasus di atas menandakan adanya beragam pendapat dan tingkat gradasi penerimaan terhadap modernitas. Penerimaan terhadap intimasi dan seksualitas selalu lentur, tidak pernah seragam, tergantung kepada tempat dan kelas sosial tertentu yang melakukannya, juga sangat tergantung kepada kuasa-kuasa pengetahuan yang berperan pada suatu kelompok masyarakat.
Meski demikian, nampaknya ada semacam kesepakatan tak tertulis pada generasi milenial bahwa perilaku seks pra nikah dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan tidak lagi dipertanyakan atau dipertentangkan. Kumpul kebo misalnya, menjadi semacam simbol perlawanan generasi muda terhadap nilai-nilai lama mengenai seksualitas yang diwariskan oleh orang tua dan akhirya diperkuat melalui media massa dan cetak. Kumpul kebo bisa dianggap gejala umum pada masyarakat urban kosmopolit di kota-kota besar.
Secara ideal, hidup bersama akan menekan resiko penularan penyakit kelamin seperti HIV AIDS. Hal tersebut dikarenakan aktivitas seksual hanya dilakukan dengan pacar sendiri. [T]