21 January 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Esai

Untuk Rekan Guru “Sekolah Tidak Favorit” – [Kisah Lain PPDB Zonasi]

I Gusti Bagus Weda Sanjaya by I Gusti Bagus Weda Sanjaya
July 2, 2019
in Esai
76
SHARES

“Sepertinya malam ini saja raga bisa gabung. Besok sudah sekolah lagi. PPDB sudah mulai,” kata temanku setelah beberapa lama terdiam sendiri, tanpa memperhatikan obrolan kami berempat sebelumnya. Aku pikir dia serius dalam permainan ini, tetapi ternyata dari tadi dia memikirkan hal yang jauh lebih serius; pendidikan.

Sebagai seorang guru, kami tentu tak bisa lempas dari pemikiran akan pendidikan bangsa. Dalam obrolan-obrolan di group whatsapp – meski sambil bercanda, kami acap kali membahas tentang sistem pendidikan kita. Keburukan-keburukannya tentu menjadi hal yang lebih menarik dibahas ketimbang kebaikan-kebaikan yang telah ada. Bahkan di meja ini, saat kami berlima duduk dengan cukup serius, mendengar ucapan teman kami tadi, kami langsung tahu kemana arah obrolan kami selanjutnya. 

Penerimaan Peserta Didik Baru. Ya, PPDB belakangan ini menjadi hal yang sangat sexy untuk dipergunjingkan. Terlebih adanya penerapan sistem zonasi, yang hingga di tahun ketiga ini masih belum terpolakan dengan baik. Hal tersebut tentu menjadi perbincangan yang sangat menarik. Seperti yang aku sampaikan tadi, membicarakan keburukan terasa lebih mengasikkan.

Kami duduk melingkar. Temanku, yang duduk di sebelah kananku adalah salah seorang guru di sekolah pinggiran. Berdasarkan stratifikasi sekolah di benak masyarakat, sekolahnya berada pada strata “tidak favorit”. Kami sebenarnya tak terlalu mengerti sejak kapan, dan mengapa sekolahnya ada pada strata itu. Tidak ada sertifikat khusus yang dikeluarkan pemerintah untuk label itu, tetapi mereka – temanku tadi, bersama rekan-rekan guru di sekolahnya – seakan sepakat dengan strata yang melekat pada sekolah mereka.

Sekolahnya berada di pinggiran kota. Setiap tahun, siswa yang mendaftar di sana adalah siswa-siswa yang tidak lolos di sekolah “favorit”. Itupun setelah dikurangi beberapa siswa yang memutuskan untuk sekolah di sekolah swasta yang dianggap lebih “favorit”. Jumlah siswanya kadang tak lebih dari empat kelas pertahun. Kondisi seperti ini, mewajarkan sekolah itu untuk tidak terlalu aktif dalam perlombaan dan kegiatan-kegiatan lain, karena SDM dan dana yang terbatas. Terlebih sejak sekolah negeri tidak diperkenankan untuk memungut SPP. Mereka hanya mengandalkan dana dari pemerintah pusat dan daerah yang besarannya diukur berdasarkan jumlah siswa.

“Nau ti ba ente, o? Liu maan murid jani” ujar salah seorang teman yang membayangkan perasaan temanku tadi terhadap hasil PPDB yang tentunya menguntungkan sekolahnya. Secara hitungan kasar kami memikirkan bahwa sekolahnya akan menerima siswa dengan jumlah yang cukup, sesuai daya tampung sekolah. Dengan jumlah siswa yang memadai, dana BOS yang diterima akan meningkat dan sekolahnya akan punya cukup biaya untuk memperbaiki fasilitas dan mengembangkan program pengembangan siswa dan guru.

Alih-alih tanggapan positif datang dari temanku tadi, dia malah melontarkan ucapan berbau pesimis yang menyatakan kasihan pada siswa-siswa berprestasi yang harus bersekolah di sekolahnya. Ini merupakan pembunuhan potensi siswa, menurutnya. Mereka yang potensial, akan meredup di sekolahnya, kemudian akan tumbuh menjadi siswa-siswa biasa seperti lulusan-lulusan sebelumnya. Seorang teman guru di sekolahnya masih berjibaku untuk bisa mendaftarkan anaknya di salah satu sekolah “favorit”, meski jarak rumahnya lebih dekat ke sekolah tempat tugasnya. Sebegitu pesimis guru-guru di sekolah itu dengan sekolahnya sendiri.

Aku sangat tak sepaham dengannya dalam hal itu. Hanya perlu sebuah lecutan pada temanku (dan teman-teman guru di sekolahnya) untuk membuktikan bahwa intake dan dana adalah satu-satunya penyebab sekolahnya tak mampu bersaing dengan sekolah lain. Jika saja dari dulu sekolahnya diberikan intake yang sama, maka saat ini sekolah itu sudah memiliki kualitas yang sama dengan sekolah-sekolah lainnya. Jika saja sekolah itu dari dulu diberikan mengelola dana yang sama, maka saat ini fasilitas dan budaya sekolah akan sama dengan sekolah lainnya.

Bukankah ini harapan utama pelaksanaan sistem zonasi? Agar tak ada lagi stratifikasi sekolah. Tak ada lagi istilah “favorit” dan “tak favorit” yang dilabelkan pada sebuah sekolah. Semua sekolah memiliki intake yang merata. Memiliki fasilitas dan dana yang sama. Semua siswa memiliki hak yang sama dalam mendapat layanan pendidikan.

“Semua sekolah adalah sekolah favorit” itu harapan dari menteri pendidikan kita. Dengan pemerataan kuantitas dan kualitas siswa, setiap sekolah memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang. Setiap tahun semua sekolah akan mendapat siswa baru dengan berbagai potensi yang dapat dikembangkan di sekolahnya. Pun jika prestasi digunakan sebagai sebuah tolak ukur, maka semua sekolah memiliki peluang yang sama untuk berprestasi.

Bukankah dengan intake yang merata, peluang sekolahnya untuk berkembang semakin ada? Intake yang baik – yang dulu pasti diserap habis oleh “sekolah favorit” – sekarang akan ada di sekolahnya. Permasalahannya hanyalah, siap atau tidak temanku tadi (dan teman-teman guru di sekolahnya) untuk mengembangkan siswa-siswa potensial itu?

Dengan setengah konsentrasi pada permainan, aku meneguk teh hangat yang sudah tak hangat lagi. “Coba ente tertantang untuk membuktikan diri, siswa-siswa potensial itu akan menjadi motor penggerak sistem mutu di sekolah entene.” Aku mulai sedikit menyeramahinya dengan gaya mengguruiku.

Aku memang percaya, dengan diberdayakan secara baik, tahun depan, atau tahun depannya lagi sistem mutu akan mulai terbentuk. Beberapa ‘anak biasa saja’ akan termotivasi pada anak-anak potensial itu. Prestasi akan mulai tersemaikan di sekolah dengan strata “tidak favorit” itu. Maka perlahan, sekolah itu akan merangkak pada strata yang lebih tinggi. Orang tua yang tahun ini merasa kecewa anaknya ‘hanya’ diterima di sekolah itu, perlahan akan bersyukur dan mendapati anaknya telah berkembang secara sepatutnya.

Dan jika hal ini berhasil terjadi juga di sekolah-sekolah lain, setiap sekolah akan bergerak menuju strata di atasnya, bahkan bukan hal yang tak mungkin, stratifikasi sekolah akan perlahan hilang di benak masyarakat. Kualitas pendidikan di semua sekolah akan berada pada satu titik yang terstandarkan. Orang tua tak sibuk lagi update status dan berdoa di facebook agar anaknya diterima di sekolah favorit.

Melalui beberapa perdebatan, akhirnya temanku mulai sepaham. “Doakan nah, siswa yang mendaftar di sekolah raga bagus-bagus. Raga akan menggerakkan teman-teman di sekolah untuk bangkit dan keluar dari balik bayang-bayang citra sekolah yang selama ini. Kalian yang hanya menerima siswa-siswa miskin dengan kemampuan akademik standar saja mampu, masa kami tidak?” Dia berucap dengan semangat sambil meneguk kopinya yang hampir dingin.

Sesaat kemudian aku menjatuhkan kartu, diapun tersenyum. “Ne apa soca raga! Ceki!” [T]

Tags: guruPendidikansekolahzonasizonasi PPDB
I Gusti Bagus Weda Sanjaya

I Gusti Bagus Weda Sanjaya

Pembelajar yang ditugaskan menemani pembelajar lain untuk belajar. Serupa guru. Lahir di Tabanan, lereng selatan Gunung Batukaru.

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Digital Drawing ✍️:
Rayni N. Massardi
Puisi

Noorca M. Massardi | 7 Puisi Sapta dan 5 Puisi Panca

by Noorca M. Massardi
January 16, 2021
Patung sepasang macan di Pura Dalem Desa Banjar, Buleleng
Khas

Sepasang Macan yang “Mekantenan” di Pura Dalem Banjar, Buleleng

Saya mendapat kesempatan untuk melihat ukiran paras tua yang ada di Pura Dalem Kecamatan Banjar, Buleleng, Bali, Minggu 19 Januari ...

January 20, 2020
Foto: koleksi penulis
Opini

“Padahal Sudah, Ngakunya Belum” – Fenomena Bohong Soal Tugas Kuliah

“Eh kamu udah selesai bikin tugas itu blum?” “Ya ampun… aku belum buat apa-apa, nyentuh pun belum sempet!” Kata-kata seperti ...

February 2, 2018
Foto situasi hari ini sebuah warung di Munduk yang sudah menjalankan protap, pembeli tidak masuk, hanya menyebut kebutuhan yang hendak dibeli untuk diambilkan penjaga warung, pembeli membuat antrean dan diluar disiapkan hand sanitizer.
Esai

Protokol Penanganan Covid-19 Desa Munduk, Buleleng – [Bisa Ditiru]

Ketika saya menulis tentang pembuatan draft protokol penanganan Covid-19 di desa saya, banyak sekali teman yang men-japri untuk meminta copy-nya ...

April 1, 2020
Esai

Kopi & Social Distancing

“Buatlah hidup ini seperti secangkir kopi, agar pahit dan manis boleh bertemu dalam kehangatan” (Anonim) Kopi yang selama ini telah ...

April 15, 2020
ILustari tatkala.co | Nana Partha
Esai

Laksana Dharma

Laksanakan dharma! Nasihat itu diulang berulang kali oleh Bhagawan Wararuci. Meskipun Bhagawan yakin dengan Subha Karma sebagai cara untuk melewati ...

June 9, 2020

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Foto : Dok. Pasemetonan Jegeg Bagus Tabanan
Acara

Lomba Tari Bali dan Lomba Busana | Festival Budaya XI Pasemetonan Jegeg Bagus Tabanan

by tatkala
January 20, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
ILustrasi tatkala.co / Nana Partha
Esai

KEMUNCULAN SERIRIT DALAM PETA BALI UTARA | Kilas Balik Kemunculan Desa-Desa Bulelang Barat

by Sugi Lanus
January 21, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (66) Cerpen (149) Dongeng (10) Esai (1354) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (4) Khas (309) Kiat (19) Kilas (192) Opini (471) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (6) Poetry (5) Puisi (96) Ulasan (328)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In