11 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Membentengi atau Memperdaya Desa Adat?

I Ngurah SuryawanbyI Ngurah Suryawan
June 8, 2019
inOpini
Membentengi atau Memperdaya Desa Adat?

Barisan pecalangan (satuan pengamanan adat) menjaga rangkaian ritual di Desa Adat (foto: Eka Dharsika)

911
SHARES

“…Beramai-ramailah manusia mencari perlindungan di dalam maupun di luar dirinya. Mereka membangun lembaga ini dan itu. Kemudian lembaga itu diperkuatnya. Mereka lupa, semakin kuat lembaga, semakin ia tidak mampu memberikan rasa aman. Karena lembaga itu akhirnya menjadi ancaman (Dharma Palguna, 2007:43)

____

Kegembiraan (sebagian) masyarakat Bali datang saat Perda (Peraturan Daerah) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Desa Adat disahkan. Penandatanganan prasasti pemberlakuan Perda ini berlangsung meriah pada 4 Juni 2019 di Pura Samuan Tiga, Gianyar. Banyak pihak yang menyambut sumringah bahwa ini adalah momentum awal “Bali Baru” dengan penguatan “pengawal budaya” Bali. Bahkan ada yang membayangkan bahwa kejayaan peradaban Bali akan kembali tergapai. Adanya Perda dibayangkan bisa menjadi pengayom dan payung hukum bagi eksistensi desa adat—yang kembali berubah setelah sebelumnya bernama desa pakraman melalui Perda Nomor 3 Tahun 2001.

Perda baru ini sedikit tidaknya mengundang perdebatan publik. Diantaranya yang paling menyita perhatian adalah pergantian nama LPD (Lembaga Perkreditan Desa) menjadi Labda Pecingkreman Desa, tunjangan terhadap pecalang, pemilihan bendesa adat (ketua adat) secara musyawarah mufakat, hingga tentu saja kucuran dana-dana baik dari daerah maupun pemerintah pusat. Silang sengkarut Perda yang terdiri dari 19 bab dan 103 pasal ini seolah tanpa debat publik yang berarti. Semuanya berjalan mulus, suryak siyu krama Bali mendukung penuh. Tanpa kritik substansi yang reflektif.

Satu hal yang menjadi sorotan tajam adalah tiadanya naskah akademik. Seolah tanpa kritik dan pembobotan. Naskah akademik yang mendasari sebuah Perda “antara ada dan tiada”, senyap tanpa kritik dan masukan. Kehadiran naskah akademik berperan sangat vital dalam rancangan sebuah peraturan. Melalui naskah akademik pulalah kompleksitas subyek yang akan dibuatkan peraturan akan dielaborasi sekaligus terpetakan. Meski sebuah peraturan akan mensimplifikasi (baca: mensederhanakan) kompleksitas subjek yang dibuatkan peraturan, paling tidak pendalaman sekaligus pemetaan permasalahan sudah dikaji secara mendalam. Sayangnya, Perda Desa Adat menafikkan naskah akademik ini. Ironis.

Belum lekang dalam ingatan, mobilisasi euphoria penguatan eksistensi desa adat berlangsung pada 12 Desember 2018 yang juga bertempat di Pura Samuan Tiga, Gianyar. Saya heran, tidakkah ada elaborasi mendalam terhadap lembaga yang begitu berperan vital bagi masyarakat Bali ini? Kala itu, tajuk acaranya adalah Paruman Agung Krama Bali. Ujung acara ini adalah deklarasi Samuan Tiga dalam rangka penguatan eksistensi Desa Adat di Bali.  Suara representasi krama Bali (dibuat) seolah homogeny oleh perwalian para elit adat, birokrat, dan politik ini. Mereka membayangkan telah mencatatkan sejarah dalam pemberdayaan desa adat.  

Candu Pemberdayaan

Desa adat, kemudian berubah menjadi desa pakraman, dan kini kembali lagi menjadi desa adat, memiliki catatan penting dalam wacana politik kebudayaan Bali. Masih teringat jelas bagaimana desa adat, banjar, menjadi situs bersejarah berkumpulnya manusia-manusia Bali tanpa dosa yang kene garis mati pada tahun yang tak pernah berakhir 1965-1966.

Geoffry Robinson dalam bukunya terbaru, Musim Menjagal, Sejarah Pembunuhan Massal di Indonesia 1965-1966 (2018) menggugah sekaligus menantang kita untuk mempelajari konteks historis peristiwa tersebut berikut dengan situs-situs bersejarahnya. Saya sependapat bahwa persitiwa ini menjadi titik balik bagi perubahan Bali, juga negeri ini. Banjar-banjar di dalam desa adat dengan setra-nya berserta situs-situs ingatan lainnya adalah pengetahuan yang hidup dalam keseharian kita. Semuanya adalah sejarah yang hidup. Selanjutnya pada masa peng-Golkaran 1970-1980an, desa adat menjadi basis mobilisasi massa. Banjar-banjar dan warganya berubah menjadi Kuningisisasi yang menggebuk PNI yang sebelumnya bersitegang dengan PKI.



Barisan pecalangan (satuan pengamanan adat) menjaga rangkaian ritual di Desa Adat (foto: Eka Dharsika)

Saat rezim oritarian Orde Baru berkuasa, desa adat tidak luput dari jamahan kekuasaan. Isu pemberdayaan dan serangkaian lomba-lomba desa adat berlangsung hiruk pikuk. Saat itu, desa adat dengan basis massanya di banjar-banjar adalah sumber daya besar yang memenangkan Golkar. Acara-acara “kebulatan tekad” menjadikan banjar-banjar berkubang dalam kekuasaan politik. Sebagai gantinya, desa adat mendapatkan remah-remah dana pemberdayaan agar selalu bersetia dengan pelaksanaan adat dan budaya. Soal politik, para elit berkuasa dengan kebulatan tekadnya sudah mengatur semuanya.

Rezim berganti, namun kata-kata pemberdayaan tidaklah lekang. Kata ini masih menjadi kata sakti untuk menyatakan keinginan untuk memperbaiki keadaan masyarakat (desa adat) yang dianggapnya tidak berdaya. Lomba-lomba desa adat tidak berhenti, malah kini bertambah dengan lomba sembahyang Tri Sandya, lomba setra (kuburan), dan jegeg bagus sekaa teruna (organisasi pemuda). Kini, setali tiga uang. Mesima krama untuk dukungan politik dan guyuran dana hibah serta Bansos hadir silih berganti. Hal ini menjadikan desa adat tidak steril dari kekuasaan.

Dalam konteks ini, saya teringat Tania Li (2012) yang meminjam konsep Michel Foucault bahwa keinginan untuk memperbaiki (memberdayakan) berada dalam pusaran kekuasaan yang disebutnya dengan kepengaturan.

Kepengaturan adalah “pengarahan perilaku” yakni upaya mengarahkan perilaku manusia dengan serangkaian cara yang telah dikalkulasi sedemikian rupa. Berbeda dengan pendisiplinan yang bertujuan memperbaiki perilaku melalui pengawasan ketat dalam kurungan (penjara, rumah sakit jiwa, sekolah), kepengaturan berkepentingan dengan peningkatan kesejahteraan orang banyak. Tujuannya adalah untuk menjamin “kesejahteraan masyarakat, perbaikan keadaan hidup mereka, peningkatan kemakmuran, usia harapan hidup, kesehatan dst. Untuk mencapai tujuan ini dibutuhkan sarana khusus. Pada tingkat masyarakat, tidak mungkin perilaku individu diatur hingga hal-hal kecil. Karena itu, kepengaturan bekerja dengan mengarahkan minat dan membentuk kebiasaan, cita-cita, dan kepercayaan.



“Kasus Adat” adalah satu hal yang masih terus terjadi hingga kini. Larangan penguburan mayat dan kasepekang (dimusuhi) adalah beberapa diantaranya (foto: I Ngurah Suryawan)

Ancaman

Kepengaturan yang dipraktikkan dalam pemberdayaan mengandaikan bahwa telah terjadi ancaman yang (sialnya) selalu kita persepsikan berasal dari luar. Saya masih ingat betul bagaimana gundahnya kita saat Pretima hilang silih berganti di beberapa pura di Bali. Kita kemudian menimpakan kesalahan tersebut kepada para imigran, yang latah kita sebut Nak Jawa,Jelme Dauh Tukad. Secepat kilat kita membuat benteng, “Pemulung dilarang Masuk”, razia penduduk pendatang, dan tingkah arogan menghadapi para migran yang kita anggap sebagai ancaman. Pikiran kita menjadi picik sekaligus rasis.

Niat baik pemberdayaan dan logika ancaman ini berjalan beriringan. Perda Desa Adat lahir patut diduga berdasarkan asumsi ini. Niat baik perlindungan institusi bekerja bukan pada ruang yang steril dari kekuasaan. Kita telah belajar bahwa desa adat, meski dengan canggihnya peraturannya, berpotensi untuk mengeksklusi (menyingkirikan) warganya sendiri. Di internal desa adat pastinya telah tercipta struktur politik dan ekonomi yang menciptakan wali-wali masyarakat di desa adat yang berpotensi mengakmulasi kekuasaan politik dan ekonomi. Hal tersebut terlihat gamblang.



Desa adat dianggap bisa menjadi benteng Bali dari keinginan untuk mencoba “Menggenggam Bali”
(foto: I Ngurah Suryawan)

Desa adat diberikan beban besar untuk benteng kebudayaan Bali. Beramai-ramai kita bersuara nyaring untuk membuatkan benteng penguatan bagi desa adat. Suara nyaring itu kemudian dilembagakan menjadi peraturan daerah. Sepatutnya kita kembali memerika isi pikiran kita bersama tentang desa adat ini. Banyak dari kita masih berpikiran bahwa desa adat adalah medium pelestarian jati diri kita sebagai orang Bali.

Pada saat di desa adat, kita baru benar-benar meghayati akar menjadi orang Bali. Jika kita mau jujur, pelestarian adalah salah satu cara pandang romantisme yang beranggapan (seolah-olah) masa lalu lebih baik daripada masa sekarang. Kita ingin menghadirkan (bayangan) masa lalu pada masa kontemporer. Romantis bukan? Jangan-jangan seperti itu cara pandang kita dalam melihat desa adat? Oleh sebab itu kita bergairah melakukan pemberdayaan dan penguatan.

Utopia untuk pemberdayaan desa adat jangan sampai membuai kita meniadakan perbedaan. Jamak terjadi, saat gerakan memperkuat desa adat, kasus “kekerasan adat” menyisakan bara bagi manusia Bali yang tersisih dari lembaganya sendiri. Dharma Palguna (2007) kembali dengan satir sekaligus tajam pernah menulis:

Rasa aman dalam ruang terjadi di mana ada tawar-menawar yang jujur antara pribadi dengan lembaga yang mengatasnamakan kolektivitas. Jika tidak disisakan sedikit ruang bagi perbedaan-perbedaan, manusia akan hancur oleh lembaga ciptaanya. Dan lama-kelamaan lembaga itu sendiri akan ambruk setelah banyak pendukungnya ia makan.  

IBM Dharma Palguna (2007) melanjutkan, (desa) adat, demikian juga tradisi itu sendiri, adalah ciptaan manusia. Ia memberikan rasa aman. Bila ia terlalu kuat, ia menjadi ancaman. Saya menaruh curiga, apakah benteng Perda desa adat yang coba kita buat dan berdayakan, ujung-ujungnya justru malah untuk memberdaya desa adat untuk kembali menjadi komoditas politik dan pelestarian? Yang menjadi otaknya sudah tentu para elit yang seolah-olah memberdayakan desa adat, namun mendapatkan akses ekonomi politik untuk merebut serta mempertahankan kuasa. Kita lihat saja, waktu akan memberi jawaban. [T]

Peguyangan, Juni 2019 

Tags: balidesadesa adatdesa pakramanekonomipecalangPolitikritual
Previous Post

Catatan Dhamma Camp 2019: Sebuah Perjalanan Mencari Jati Diri

Next Post

Caption

I Ngurah Suryawan

I Ngurah Suryawan

Antropolog yang menulis Mencari Bali yang Berubah (2018). Dosen di Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat.

Next Post
Caption

Caption

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

“Pseudotourism”: Pepesan Kosong dalam Pariwisata

by Chusmeru
May 10, 2025
0
Efek “Frugal Living” dalam Pariwisata

KEBIJAKAN libur panjang (long weekend) yang diterapkan pemerintah selalu diprediksi dapat menggairahkan industri pariwisata Tanah Air. Hari-hari besar keagamaan dan...

Read more

Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

by Arix Wahyudhi Jana Putra
May 9, 2025
0
Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

GERIMIS pagi itu menyambut kami. Dari Kampus Undiksha Singaraja sebagai titik kumpul, saya dan sahabat saya, Prayoga, berangkat dengan semangat...

Read more

Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

by Pitrus Puspito
May 9, 2025
0
Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

DALAM sebuah seminar yang diadakan Komunitas Salihara (2013) yang bertema “Seni Sebagai Peristiwa” memberi saya pemahaman mengenai dunia seni secara...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery
Pameran

Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery

INI yang beda dari pameran-pemaran sebelumnya. Santrian Art Gallery memamerkan 34 karya seni rupa dan 2 karya tiga dimensi pada...

by Nyoman Budarsana
May 10, 2025
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman
Khas

Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman

TAK salah jika Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan kepada Almarhum I Gusti Made Peredi, salah satu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

May 10, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [14]: Ayam Kampus Bersimbah Darah

May 8, 2025
Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

May 4, 2025
Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

May 4, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co