Awalnya hal itu berangkat dari sebuah ide yang dilontarkan di sebuah rapat banjar. Mebanten Tumpek Landep secara massal, begitulah ide itu terlontar dari bibir seorang warga banjar saat itu, lewat pengeras suara. Kontan saja banyak yang mendukung secara kompak. Walaupun kemudian pembahasan sedikit alot tentang bagaimana teknis pelaksanaan upacara itu, tapi mayoritas orang di rapat itu setuju.
Dan bertahun-tahun upacara tumpek landep massal ini telah kami adakan. Beruntung lingkungan kami di banjar Kelaci, Desa Marga Dauh Puri, kecamatan Marga, Tabanan ini berdekatan dengan Taman Makam Pahlawan Margarana. Jadi kami bisa meminjam tempat lapangan parkir TMP Margarana sebagai tempat untuk mengadakan upacara.
Seperti sore, tumpek landep, Sabtu 25 Mei 2019. Pukul 4 sore sudah mulai berdatangan warga banjar membawa motor dan mobil mereka ke lapangan parkir TMP Margarana yang luas. Banten sudah disiapkan oleh prajuru adat. Ratusan motor dan puluhan mobil terparkir rapi menghadap selatan. Parapemangku sudah siap dengan genta masing-masing, melantunkan mantra-mantra secara bersamaan. Mantra dan genta terdengar harmonis, seperti lagu dan musik yang saling melengkapi.
Secara ekonomis, upacara massal seperti ini lebih menghemat biaya. Dan tidak mengurangi makna upacara itu sendiri. Setiap warga yang membawa motor mengeluarkan biaya urunan Rp 10 ribu, untuk mobil Rp 20 ribu. Kalau membawa 3 motor dan 1 mobil, mengeluarkan biaya Rp 50 ribu. Coba bayangkan kalau membuat banten sendiri. Bisa habis 100 ribu. Belum lagi sesari untuk pemangku. Lebih efisien. Hemat tenaga dan juga waktu.
Saya masih ingat, sebelum adanya ide upacara massal ini, saya sekeluarga sering menunggu pemangkusampai jam 10 malam, karena pemangku harus keliling ke rumah-rumah warga untuk nganteb banten. Bahkan pernah dulu sampai jam 12 malam, jero mangku baru tiba di rumah kami. Kami sudah mengantuk, dan pemangku juga sudah kelelahan. Kadang-kadang ada juga saling sabotase pemangku agar mendapatkan giliran lebih awal.
Setelah ide brilian upacara massal ini, kami menjadi sedikit terbantu.
Awalnya, dulu, saya pernah berdebat kecil dengan ayah saya, ketika pertama kali upacara massal ini dilaksanakan. Saya ingin ikut di upacara massal ini, sehingga kita tidak perlu bikin banten sendiri. Tapi ayah saya tidak setuju. Pendapat beliau, kekuatan mantra dan banten itu bisa berkurang karena dibagi-bagi. Waktu itu saya hanya bisa tertawa dalam hati, tapi enggan berdebat lebih jauh. Bukankah ini sama maknanya dengan upacara ngaben massal? Toh kekuatan banten dari upacara ngaben massal itu tidak berkurang.
Bukankah Brahmantidak pernah berkurang ketika terpercik menjadi jutaan atman. Seperti matahari yang tidak pernah habis walaupun sinarnya diserap oleh berbagai mahluk hidup di dunia.
Setelah beberapa lama, akhirnya ayah saya mengerti juga, malah menitipkan motornya untuk dibawa ke sana.
Kabarnya tradisi mebanten tumpek landep massal ini juga diadakan di daerah lain, di sebuah banjar dekat jantung kota Tabanan. Saya lupa nama banjarnya. Sebelah selatan Taman Pancaka Tirta. Bedanya, di sana upacara dipimpin oleh seorang sulinggih. Mungkin upacara massal seperti ini perlu ditiru juga oleh daerah-daerah lain.
Tujuannya hanya satu: mengefisienkan tenaga, waktu dan biaya. Dan juga menjaga kebersamaan. Bukankah lebih enak kalau sembahyang bersama-sama. Seperti juga tradisi ngaben massal yang perlu tetap dijaga, tradisi upacara tumpek landep massal ini juga harus dilestarikan. Semoga betul-betul lestari nantinya! [T]