Bagi orang yang sangat mengikuti dinamika politik di Bali pasti akan mengenal akronim Desa SCTP (Sidatapa, Cempaga, Tigawasa dan Pedawa) di Kecamatan Banjar, Buleleng, Bali. Tragedi politik 1998, 1999 dan 2004 pasti masih berbekas di ingatan. Kegarangan dan kepiluan peristiwa politik di SCTP menjadikan keempat desa ini menjadi desa yang cukup “ditakuti”.
Dari setiap peristiwa politik yang terjadi di desa itu, tak jarang diwarnai kekerasan dan menimbulkan korban jiwa. Bahkan menjadikan desa ini desa yang “menyeramkan” dalam bayangan orang. Banyak yang enggan dan takut berkunjung ke SCTP. Setiap tahun hajatan politik, keempat desa ini selalu menjadi perhatian khusus bagi aparat keamanan. Hal-hal yang tak terduga bisa saja terjadi setiap saat.
15 tahun berlalu, 2019, untuk pertama, pemilu digelar secara serentak, untuk memilih DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi, DPRD RI, DPD dan Presiden. Tensi politik poun terasa sangat memanas, dari tingkat elit politik nasional, hingga daerah. Dalam penentuan calon legeslatif yang lolos untuk pertama kalinya menggunakan Metode Sainte Lague. Metode ini pun cukup membuat para caleg saling sikut di internal partainya masing-masing. Begitu pula para caleg dari SCTP. namun situasinya tak sehangat 15 tahun lalu.
Pemilu kali ini, empat warga Sidatapa lolos melenggang ke kursi legislatif, 2 tingkat DPRD Kabupaten Buleleng, dan 2 tingkat DPRD Provinsi Bali. 15 tahun berlalu, Sidatapa salah satu Desa di akronim SCTP, telah mengalami banyak perubahan. Mereka kini lebih membuka diri, untuk menerima perubahan dan orang lain desa untuk berkunjung dan bersahabat di Desa Sidatapa. Jika kita melakukan pencarian di Google dengan mengetik kata Sidatapa kita akan menemukan banyak tulisan tentang Desa Sidatapa yang menyejukkan dan menyenangkan.
Perkenalan saya dengan Desa Sidatapa, entah kapan dimulai secara formalnya, sepertinya dimulai dengan pertemanan di Facebook dan menjadi pertemanan sangat nyata. Pertemanan pertama yang saya kenal adalah seorang lelaki pemain Trading, Wayan Ariawan. Bli Wayan, seperti itu saya memanggilnya. Bli Wayan, dengan sangat gencar menginformasikan dengan kegiatan mereka, tentang bersih-bersih sampah, merabat rumput dan kegiatan lainnya.
Kegiatan yang menarik perhatian saya, adalah kegiatan melepas burung. Diawal saat melihat postingan di facebook, tentang kegiatan mepelas burung, bagi saya adalah hal yang bisa, tapi belakangan semakin sering saya lihat postingan kegiatan pelepasan burung dan semakin banyak jumlah burung yang dilepas. Berawal dari hanya segelintir orang menjadi semakin banyak organisasi dan orang yang ikut kegiatan melepas burung. termasuk dengan pejabat dan artis yang datang ke Desa Sidatapa.
Selain melepas burung, mereka pun memasang larangan memburu burung, di berbagai tempat disekitar Desa Sidatapa. Jika kita melintas di sepanjang jalan desa kita akan menemukan banyak pelang larangan berburu burung.
Kegiatan melepas burung ini, ternyata telah dimulai sejak 31 Desember 2014. Hingga tahun 2019 sebanyak 19.485 burung telah dilepas di seluruh pelosok Desa Sidatapa, kecamatan Banjar, Buleleng Bali. Burung yang dilepas seperti burung prenjak, kutilang, punglor, perkutut, dan titiran. Saya pikir pelepasliaran burung ini hanya untuk sekedar gaya-gayaan saja, ternyata yang mendasari pelepasaan ini untuk menghalau hama ulat yang terus menyerang tumbuhan buah dan cengkih yang ada disekitar Desa Sidatapa.
Tumbuhan cengkih yang sangat berada dalam ancaman hama ulat, sehingga tak lagi bisa menghasilkan bunga cengkeh yang banyak, dan mengurangi hasil panen para petani, yang mulai berharap mendapatkan hasil yang banyak dengan harga jual yang cukup tinggi.
Seringnya mereka melepasliarkan burung, membuat saya tertarik untuk ikut serta dalam pelepasan burung, saat itu saya membaca status Bli Wayan Ariawan di Facebooknya, menuliskan undangan terbuka untuk menghadiri dan ikut melepasliarkan burung, saya pun memutuskan untuk hadiri, walau cukup berat bagi saya untuk datang, karena pelapasan burungnya dilakukan pagi hari. Saya sangat bermasalah dengan dengan bangun pagi, saya memaksa mata nutuk bisa terbagun di pukul 7 pagi. Dari rumah saya yang ada di kota singaraja membutuhkan waktu hingga 30-45 menit menuju Desa Sidatapa.
Saya berhasil bangun pagi, dan bergegas menuju Desa Sidatapa. Sampai di depan Pura Bale Agung Desa Adat Sidatapa, puluhan warga nampak telah berkumpul, untuk ikut kegiatan melapasliarkan burung. hari itu 400 ekor burung akan dilepasliarkan. 400 ekor burung yang akan dilepasliarkan merupakan donasi dari donatur asal Desa Bondalem yang tinggal di Denpasar.
Saat para donatur datang membawa burung dalam box, warga langsung menyambut dan mebongkar box untuk sesegera melepasliarkan burung. Dengan rasa penuh keriangan warga yang terdiri dari ibu-ibu, bapak-bapak dan anak-anak berebut untuk melepasliarkan burung. Saya pun ikut berebut burung agar bisa ikut melepasliarkan burung.
Setelah melepas burung, saya sempat barbicara dengan Bli Wayan, dan ia bercerita tentang kegiatan melepasliarkan burung ini, “pelepasliaran burung ini, sudah bli lakukan sejak 2014, kini telah menjadi hal yang mentradisi di Sidatapa. Burung-burung yang dilepas itu, kami yakini akan memakan hama ulat. Karena selama ini ulat yang sering mengganggu tanaman cengkih, di Sidatapa dan hasil pertanian meningkat,”
Kegiatan pelepasliaran burung kini telah mentradisi bagi masyarakat Sidatapa, dan para petani mulai merasakan manfaat kdarai pelepasan burung, yang dilakukan oleh Wayan Ariawan. Para petani mulai tersenyum melihat pohon cengkih mereka mulai tumbuh dengan baik, bebas dari hama ulat dan hasilnya meningkat. Putu Darma salah satu petani cengkih yang kini selalu ikut setiap pelepasliaran burung bertutur kepada saya “Ada banyak pengaruhnya, soalnya dulu cengkeh banyak di serang hama ulat, sejak ada pelepasan burung sudah tidak ada gangguan lagi.
Setelah pelepasan burung, ulatnya sudah sedikit bahkan sudah tidak ada lagi. Dulu pohon cengkehnya tidak tumbuh dengan baik termasuk hasil bunganya, sekarang sudah tidak ada gangguan lagi” ungkapnya.
Pelepasliaran burung yang dilakukan bagi saya, seperti ritual Ci Suak yang dilakukan para warga thionghoa yang ada di Buleleng Bali saat acara Cap Gomeh, mereka selalu melepas burung untuk membuang sial bagi mereka yang sionya ciong saat tahun baru Cina. Lepasliar burung yang dilakukan olles masyarakat Sidatapa mungkin merupakan bagian dari membuang sial, pasca berbagai tragedi berdarah yang sempat terjadi di 15 tabun silam. [T]