Bertani adalah pekerjaan mulia. Begitulah kata bijak yang sering saya dengar. Petani mencetak sawah, memproduksi beras, makanan pokok umat manusia. Pernah ada analisa, bahwa di masa datang profesi petani akan tergerus kehilangan peminat, karena anak-anak muda lebih suka bekerja di sektor lain.
Barangkali analisa itu sedikit meleset. Di kampung saya, di wilayah Desa Marga Dauh Puri, Kecamatan Marga, Tabanan, Bali, sekarang ini bertani tidak selalu didominasi kaum tua. Banyak laki-laki produktif, usia sekitar 30 tahun ke atas, yang turun mencangkul sawah masing-masing. Ada Nyoman Sudibia, Wayan Partana, Pak Leo, Pak Santi, Pak Wisnu, Pak Very, Made Suparta dan masih banyak lagi.
Itu sosok-sosok petani masa depan. Pewaris teknologi pertanian 4.0. Walaupun bertani masih sebagai pekerjaan sampingan. Sepulang dari kerja, mereka memanfaatkan beberapa jam mengolah sawah. Ada yang menanam padi, sayur hijau, bayam, kacang panjang, bunga gumitir, ketimun dan sebagainya.
Virus bertani itu juga menulari saya. Ketika mereka beramai-ramai terjun ke sawah, saya jadi gelisah. Semua orang bertani, kenapa saya tak ikut, begitu pikir saya. Kebetulan ayah saya menanam kelapa hibrida dan jambu biji kristal di areal persawahan kami yang sekitar 20 are, setelah selesai bercocok-tanam pepaya.
Karena masih banyak lahan kosong, saya ikut menanam bibit jeruk lemon lokal. Memelihara pohon lemon, rasanya tidak perlu menyita waktu banyak. Rasanya lebih mudah daripada merawat tanaman sayur-sayuran dan padi. Jadilah kami bercocok-tanam secara tumpang sari. Pohon kelapa hibrida, jambu biji kristal, lemon. Mereka berbaris rapi seperti pasukan yang sedang berlatih.
Awalnya saya masih merasa canggung ketika pertama kali memakai sepatu boot. Saat ke sawah, saya harus jalan memutar agar terhindar dilihat orang banyak. Bukannya gengsi, tapi saya agak malu karena tiba-tiba terjun bertani. Ada rasa canggung. Tapi lama-lama saya jadi terbiasa.
Saban sore, sepulang dari kantor, kalau tidak hujan, kalau pas tidak ada jadwal bersepeda, saya menyempatkan diri melihat kebun. Melakukan pemupukan, nyemprot hama dengan insektisida nabati, menyiangi agar bibit-bibit lemon itu bersih dari gulma dan rumput-rumput bandel yang merebut makanan.
Ada rasa damai di sawah. Bertani sungguh menenangkan hati. Ketika melihat pohon-pohon lemon itu mulai kekar. Batang-batang mereka semakin gemuk dan cabang-cabang tumbuh di sana-sini. Daun-daun hijau menyala. Beberapa pohon sudah mulai belajar berbunga dan berbuah. Saya tambah semangat. Lima hari sekali saya semprot dengan insektisida nabati, dari tembakau yang direndam dalam air selama 3 hari, untuk mengusir hama. Saya berusaha memakai bahan-bahan organik ramah lingkungan.
Semua ilmu saya dapatkan dari internet dan juga sharing dengan teman seperti Nyoman Sudibia, yang banyak pengalaman dan pengetahuan. Nyoman Sudibia adalah sosok petani muda yang teredukasi. Wawasannya banyak. Di samping itu Nyoman juga petani yang ulet. Dia menggarap sawah dengan tenaga sendiri, tanpa bantuan buruh. Tanahnya yang luas dicangkul sendiri. Menanam kangkung, sayur hijau, bunga gumitir dan padi. Pulang kerja dari Bali TV, bapak satu anak ini pasti ada di sawah.
Awalnya tanaman-tanaman lemon yang masih muda itu saya beri pupuk kandang dari kotoran kambing. Saya bubuhi kotoran kambing dengan cara melingkari pohon-pohon itu. Terus 10 hari sekali saya siram dengan pupuk organik Bio Boost. Pupuk cair dari K-Link yang terbukti manjur memberi nutrisi pada segala jenis tanaman, tanpa bahan kimia. Pohon-pohon lemon itu tumbuh dengan cepat. Daun-daun hijau serta mulus. Tak terasa mereka cepat tinggi, seperti tumbuh-kembang para remaja yang disiplin minum susu formula.
Kenapa saya memilih lemon untuk belajar budi-daya. Bukan hanya karena harganya yang cukup mahal. Tapi karena lemon bagus untuk kesehatan. Minum irisan lemon dalam segelas air hangat, tanpa diisi apa-apa lagi, katanya bagus untuk menjaga kesehatan jangka panjang. Atau irisan lemon itu bisa dicampur dalam segelas teh hangat, rasanya segar dan nikmat. Dalam sebuah lemon terkandung vitamin C dan flavonoid.
Mengenai pembuatan pupuk organik, banyak saya dapatkan tutorialnya dari YouTube dan Google. Internet positif yang membantu kehidupan manusia. Seperti pupuk organik dari cangkang telor. Daripada dibuang dan memenuhi bak sampah, limbah cangkang telor saya kumpulkan dari dapur.
Cangkang-cangkang telor itu saya bersihkan, kemudian dijemur beberapa jam. Setelah bersih saya goreng tanpa minyak, menyanyah istilah Balinya. Lalu diblender hingga jadi serbuk. Pupuk organik cangkang telor siap digunakan. Satu sendok serbuk ditambahkan ke dalam satu liter air. Dan siap memberi makanan pohon-pohon lemon dan jambu kristal. Pupuk dari cangkang telor mengandung kalsium tinggi untuk pertumbuhan tanaman.
Cara stek tanaman lemon, info juga saya dapatkan dari internet. Segala jenis informasi, tutorial berseliweran di dunia maya. Batang lemon dengan panjang 15 cm, bawahnya saya runcingi, lalu digosok dengan bawang merah. Ditanam di polibag seukuran 20. Kemudian batangnya saya tutup dengan plastik bening.
Beberapa minggu kemudian tumbuh tunas baru. Saya bersorak, seperti seseorang yang gembira karena istrinya baru positif hamil. Ada aura kehidupan pada batang yang mungil itu. Tumbuh daun-daun baru, dan tunas-tunas baru. Barangkali akar di bawah sudah mulai tumbuh. Akar serabut yang siap menyuapi daun-daun itu dengan berbagai nutrisi dari susu ibu pertiwi.
Bibit lemon yang mungil itu menggambarkan kemahabesaran Tuhan. Lihatlah, tiba-tiba tumbuh daun muda pada batang yang masih kurus itu. Seperti embrio bayi dalam kandungan, yang awalnya tidak berbentuk, pelan-pelan berkembang berbentuk manusia. Secara otomatis itu terjadi. Tuhan menciptakan keajaiban itu, dan manusia cerdas hanya bisa meneliti prosesnya, kemudian mencatat dalam jurnal.
Tidak hanya ditanam di sawah, bibit-bibit lemon itu juga saya besarkan dalam pot. Halaman rumah penuh dengan tabulampot lemon dan jambu biji kristal. Saya sempat terbius ketika menonton di YouTube, sebuah tanaman lemon setinggi satu meter dalam pot berbuah begitu lebat. Lemon-lemon segar berwarna kuning. Rasanya seperti tipuan kamera. Saya seolah tidak percaya, seperti melihat video hoax. Tapi itu memang ada. Saya takjub bercampur iri. Tontonan itu betul-betul memotivasi saya.
Keasyikan saya berkebun sekarang merambah ke produk pertanian lain. Saya mengembangkan bunga gumitir hibrida yang ditanam dalam plastik polibag. Kemudian saya jadi begitu sibuk mengumpulkan tanah. Mengambil tanah dari sawah, mencampurnya dengan tanah subur yang sudah diisi sekam bakar. Akhirnya di halaman rumah saya kini terkumpul 50 pohon gumitir dalam polibag ukuran 30, bagaikan sebuah stan tanaman yang sedang menyiapkan bibit.
Setiap pagi, sebelum berangkat kerja, saya memberi pupuk organik dari limbah cucian beras untuk bibit-bibit gumitir yang mungil itu, seperti seorang perawat dari sebuah yayasan penitipan anak yang menyuapi bayi-bayi kecil dengan perasaan gembira. Mereka tumbuh dalam hitungan hari. Mungkin dalam semalam bisa tumbuh beberapa senti. Begitulah, tiba-tiba saya hobi berkebun. Ada tanaman lemon, jambu biji kristal, apel India dan puluhan bunga gumitir di halaman rumah.
Sekarang sektor pertanian banyak dibantu oleh teknologi informasi yang semakin maju. Dunia maha luas yang bisa kita genggam dalam sebuah smartphone mungil. Teknologi 4.0 yang membuat semuanya bergerak begitu cepat.
Ada ratusan aplikasi yang dikembangkan untuk dunia pertanian, tinggal diunduh dari play store. Seperti Petani, sebuah aplikasi yang menyediakan tanya jawab antara petani dengan para pakar penyuluh. Ada juga aplikasi TaniHub, untuk mendekatkan para petani langsung dengan konsumen. Petani bisa langsung menjual produk pertaniannya secara online, diantar jasa pengiriman, sehingga para petani bisa menikmati harga yang layak.
Orang-orang muda di kampungku begitu kreatif menggarap sawah. Mereka bergerak menjadi petani moderen. Cikal bakal generasi petani 4.0, dengan segala fasilitas informasi yang bisa diunduh dari dunia maya. Masa depan pertanian akan semakin cerah. Tanah-tanah di kampungku tidak ada yang mati. Semuanya menjadi lahan-lahan produktif.
Setidaknya para petani di kampungku bisa sedikit berkontribusi dalam pembangunan ini, menyumbangkan bermacam produk pertanian untuk menggeliatkan perekonomian. Seperti pesan Presiden Joko Widodo, kita harus selalu optimis. Suatu ketika kita pasti bisa swasembada pangan. [T]