Ada 12 naskah drama yang ditulis Bung Karno di Ende-Flores (serta seluruhnya pernah dipentaskan di Ende-Flores) dan beberapa naskah drama yang ditulis di Bengkulu. Naskah-naskah itu seakan lenyap di tengah kemasyuran SOEKARNO sebagai orator dan pengerak revolusi, pendiri dan proklamator Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Soekarno mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia), pada 4 Juni 1927. Tujuan partai: Mendirikan Negara
Indonesia Merdeka. Akibatnya: Ia ditangkap 9 Desember 1929.
Setelah dipenjara sekitar 8 bulan, Bung Karno (BK) baru diadili, tepatnya tanggal 18 Agustus 1930. BK dikenai pasal Haatzaai Artikelen pasal 169, 161, 171 dan 153 KUHP. PNI dinyatakan sebagai partai terlarang.
Bebas dari penjara 31 Desember 1931, BK terpilih dengan suara bulat 28 Juli 1928 sebagai ketua Partindo.
Aktivitas politiknya dinilai semakin membahayakan penjajah, BK kembali ditangkap pada 1 Agustus 1933, tanpa diadili, dibuang ke Ende, Flores.
DI ENDE BERJUANG LEWAT TEATER
Masa
pengasingan di Ende (14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938), BK didampingi
istrinya, Inggit Gunarsih, mertuanya, Amsih, anak angkatnya, Ratna Juami dan
guru dari anak angkatnya, Asmara Hadi. Mereka menempati sebuah rumah sederhana
di sebuah sudut Kota Ende.
Sekarang rumah kediaman Bung Karno telah dijadikan situs sejarah. Lokasinya di Jalan Perwira Ende, berukuran 12 X 9 meter, di depannya tertulis: ‘Situs, Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende’. Masih terjejak banyak kenangan di sana: Dipan, korsi, meja dan beberapa perabotan rumah tangga semasa BK di sana masih disimpan disana.
Periode pembuangan dan pengucilan politik, seperti diakui Bung Karno dalam biografinya, sebagai periode “pergolakan intelektual” dan “pergolakan spiritual” yang sangat penting.
“Nasionalisme, Islamisme, dan Marxism”, adalah sebuah tulisan paling menarik untuk memahami gelora muda Bung Karno, ditulis tahun 1926 (dalam kumpulan dua jilid, 630 halaman, “Dibawah Bendera Revolusi”). Di Ende, kota kecil indah bersahaja itu, butir-butir tersebut direnungkan kembali dengan kedalam suasana hening-keterasingan.
Jika berkunjung ke Ende, silahkan tanyakan di mana letak Pohon Sukun, pohon tropis berdaun belah lima, tempat Soekarno merenung. Semua penduduk Ende akan memberitahu tempatnya. Dari titik itu tampak Pelabuhan Ende. Di sanalah diakui BK sebagai ground zero perumusan Pancasila. Warga kota Ende bilang ada kaitan antara lima jari daun pohon Sukun dengan jumlah sila dari Pancasila, sama-sama lima. Di sudut kota itu, pusaran pemikiran tersebut dipercaya terrumuskan menjadi butir-butir Pancasila.
Darah
seni Soekarno berdenyut di Ende. Di rumah Soekarno, hingga kini terpajang
lukisan Soekarno. Sebuah lukisan berwarna lembut, warna tanah dan warna coklat
kayu, ada sosok 3 pemuda bertelanjang dada sembahyang, layaknya pemeluk Hindu
Bali, menghadap sebuah altar sembahyang. Sebuah lukisan yang sunyi, sudut
hening di depan altar dewa.
Selama di Ende, Soekarno membuat kamar khusus untuk merenung. Sekarang di rumah itu, di salah satu bilik belakangnya, pada kusennya bagian atas tertulis: Kamar Semedi. Di ruang semadi (renungan dan meditasi) itulah diceritakan oleh penduduk sekitarnya sebagai tempat Bung Karno merenung dan bersemadi memasuki kedalaman bathin.
Dalam biografinya, Bung Karno mengakui dalam renungannya di Ende, BK melihat “Brahma, Wisnu, dan Siwa” manunggal.
Rumah yang ditempati beliau itu disewa dari penduduk setempat, selain ditambahi sebuah kamar semadi, BK juga membangun dapur dan kamar kecil di bagian belakangnya. Ada pula sumur di belakang rumah tersebut, biasanya setiap “peziarah” akan mengambil air di sumur tersebut untuk dibasuhkan, mengenang bahwa BK selama 4 tahun (1934-1938) hidup dari air sumur itu.
Di bawah tekanan dan pengawasan Belanda, Bung Karno sempat sangat tertekan dan goyang. Dalam situasi tertekan itulah, tepatnya pada tahun 1934, BK membentuk grup tonil alias teater alias group sandiwara, bernama: TONEEL KLUB KELIMUTU. Nama itu sudah tentu berasal dari nama danau 3 warna yang juga terletak di Kabupaten Ende, Danau Kelimutu. Inilah bagian terindah yang secara mendalam dikenang beberapa warga kota ini: BK menjadi sutradara dan penulis naskah teater selama pengasingan di Ende.
Bung Karno bercerita tentang proses latihan Klub Kelimutu, sebagai berikut:
“Kami hanya mempunyai satu naskah. Karena itu, aku membacakan setiap peran dan para pemainku yang bermain secara sukarela mengingatnya dengan mengulang-ulang. Kalau orang dalam keadaan kecewa, betapapun besarnya rintangan akan dapat disingkirkannya. Inilah salah satu napas kehidupanku. Aku harus menjaganya supaya ia hidup terus.
“Kalau salah seorang tidak dapat memainkan perannya dengan baik, aku melatihnya sampai jauh malam. Aku malahan berbaring berkali-kali di lantai untuk memberi contoh kepada ALI PAMBE, seorang montir mobil, bagaimana memerankan dengan baik seorang yang mati.”
Setiap naskah butuh 40 hari latihan. Teater yang dipimpin BK ini biasanya menggelar pertunjukan di Gedung Imakulata milik Paroki Katedral Ende.
Pastor HUIJTINK SVD, misionaris serta teman diskusi Bung Karno, yang memberi izin penggunaan fasilitas milik Gereja Katolik itu. Juga kursi, bangku, hingga listrik. Uskup Ende menyumbang cat. Karcis dicetak oleh PERCETAKAN ARNOLDUS milik para pastor dan bruder SVD (SOCIETAS VERBI DIVINI).
Riwu
Ga alias Riwu Sabu adalah salah satu anggota Toneel Klub Kelimutu serta pelayan
setia Bung Karno semasa pembuangan di Flores. Kepada PETER A. ROHI, wartawan
senior
asal Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur, Riwu Ga (almarhum) suatu hari bercerita sedikit tentang teater pimpinan Bung Karno ini:
“Bung Karno sebagai direktur Toneel Klub Kelimutu. Pendampingnya IBRAHIM H OEMAR SYAH dan DARHAM OTTAH. Di samping orang-orang dari berbagai suku di Nusa Tenggara Timur, ada orang Jawa seperti Atmosudirdjo dan Suminem, istrinya, school opziner Aburtidjo dan seorang guru schakel school bernama Wasirin. Bung Karno juga berhasil menggodok orang-orang Tionghoa menjadi muridnya, antara lain Go Djun Pio, Jo Ho Siu, dan Liek Sin Tek.
“Pak Atmosudirdjo dan istrinya sangat dekat dengan Bung Karno dan Ibu Inggit Garnasi (istrinya). Dengan demikian, ia juga menjadi adik angkat Ratna Djuami (Omi). Pak Atmo bekerja sebagai mantri ukur di Flores. Jalan di sini belum diaspal. Mobil sedikit, di antaranya beberapa buah milik Silalahi.
“Para pemain tonil terdiri atas berbagai profesi. Ada sopir macam Ali Pambe. Pembantu rumah tangga. Anak sekolah. Bung Karno terpaksa mengajari kami macam-macam untuk bisa menghafal peran masing-masing. Mulai cara mengeja bahasa sampai akting. Perempuan yang ada di klub tidak ikut main. Mereka cuma menyediakan perlengkapan atau tampil di bagian selingan sebagai penyanyi dan penari.
“Biasanya, setiap Ahad, terutama usai latihan atau pementasan, Bung Karno bersama rombongan Teater Kelimutu piknik di luar kota. Wolowona, sekitar lima kilometer dari Ende, adalah tempat favorit mereka. Di sepanjang jalan Bung Karno mengajak mereka menyanyi gembira. Lagunya antara lain NONA MANIS serta lagu-lagu keroncong diiringi ukulele dan cuk”.
PERSONIL TONEEL KLUB KELIMUTU
Pendiri : Ir Soekarno
Sutradara: Ir Soekarno
Penulis naskah : Ir Soekarno
Pementasan : 1934-1938
Anggota:
1. Ibrahim H Umar Sjah
2. Darham Ottah
3. Ruslan Ottah
4. Djae H Mochtar
5. Abdul H Adjhar
6. Ahmad Polindih
7. Madu Rodja
8. Pranoto
9. Atmosudirdjo
10. Umar Gani
11. Djae Bara
12. Nganda Gande
13. Djae Gande
14. Ali Pambe
15. Wahab Tandjo Palembang
16. Siku Wasim
17. Wahit Djari
18. Weru Karara
19. Mansor Saripin
20. Musa H Umar Sjah
21. Prangga Kora
22. Ja Ali Ibrahim
23. Go Djun Pio
24. Awu Rodja
25. Jo Ho Siu
26. Alias Batawi
27. Molo Take
28. Wasim Palembang
29. Djafar Penatu 45. Imam
30. Riwu Sabu alias Riwu Ga
31. Lodo Nigi
32. Ndoa Wandu
33. Djamaludin
34. Baa Bahron
35. Da’man
36. Ibu Atmo
37. Ibu Pranoto
38. Suminem
39. Tin Mugda
40. Anang
41. Hamid Anang
42. Abdurrahman Anang
43. Abdurrahman Wani
44. Abdurrahman
45. Imam
DUA BELAS (12) NASKAH DRAMA BUNG KARNO
Ada 12 naskah drama yang ditulis Bung Karno di Ende-Flores (serta keseluruhnya pernah dipentaskan di Ende-Flores) dan beberapa naskah drama yang ditulis di Bengkulu. Naskah-naskah itu seakan lenyap di tengah kemasyuran SOEKARNO sebagai orator dan pengerak revolusi, pendiri dan proklamator Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam rak Rumah Bung Karno di Ende, sampai kini, kita melihat bentuk photocopy naskah drama tersebut. Konon, pihak keluarga telah mengambil “aslinya”. Dari para anggota teater Bung Karno di Ende, diketahui naskah drama yang ditulis Bung Karno selama di Ende berjumlah 12 judul, yaitu:
KUTKUTBI
RAHASIA KELIMUTU
AERO DINAMIT
DOKTER SYAITAN
ANAK HARAM JADAH
MAHA IBLIS
AMOEK
SANGHAI RUMBA
GERA ENDE
INDONESIA
1945
RENDO
JULA GUBI
Setelah pembuangan di Ende (14 Januari 1934 sampai 18 Oktober 1938), BK dibuang kembali ke Bengkulu, juga selama empat tahun. Di sanalah ia menikahi Fatwamati (1943) yang memberinya lima orang anak; Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rahmawati, Sukmawati dan Guruh Soekarnoputri.
Selama di Bengkulu BK juga membangun kelompok teater. Naskah-naskah yang dimainkan di Bengkulu sebagian dari naskah Ende, tapi ada beberapa naskah baru yang dimainkan di Bengkulu (1938-1942).
Adapun naskah drama karya Bung Karno yang ditulis di Bengkulu, sebagai berikut:
RAINBOW (Poetri kentjana Boelan),
CHUNGKING-DJAKARTA, SI KECIL (Kleine Duimpje),
HANTOE
GOENOENG BEONGKEOK
Pada kurun masa itu, konon kabarnya, ada kelompok tonil lain yang terkenal bernama Dardanella, namun naskah mereka tidak seperti naskah-naskah BK; naskah drama Bung Karno dengan sangat sublime menyulut “gerakan pemberontakan”. Seperti diceritakan beberapa anggota tonil yang diasuh dan dipimpin BK, lewat kelompok tonil Bung Karno senantiasa membangkitkan “semangat pembangkangan” terhadap Belanda.
Ada yang menarik tentang penulisan naskah drama INDONESIA 1945. Konon kabarnya ditulis Bung Karno atas pesanan Tuan NATHAN, orang Filipina yang memimpin sandiwara keliling. Drama ini berisi ramalan akan tiba saatnya bangsa Asia bangkit dan memberontak terhadap penjajah kulit putih.
Naskah “Indonesia 1945”, telah menjadi kenyataan: Indonesia merdeka tahun 1945, dan diproklamasikan oleh penulis naskah drama sendiri.
DOKTER SYAITAN ALIAS FRANKENSTEIN
Naskah
drama yang berjudul DOKTER SYAITAN, yang ditulis Bung Karno pada 1936,
dikabarkan sebagai pementasan yang cukup terkenal kala itu.
Naskah ini berkisah tentang dr Marzuki (peran utamanya) yang mampu menghidupkan orang mati.
Kenapa ada dokter penghidup mayat?
Menurut Bung Karno, naskah ini diilhami oleh Frankenstein, peran utamanya adalah dr Marzuki, seorang Boris Karloff ala Indonesia, yang menghidupkan mayat dengan melakukan transplantasi hati dari orang yang hidup.
Seperti yang dituturkan Bung Karno pada Cindy Adams, pesan moral di balik naskah tersebut adalah: “Tubuh Indonesia yang sudah tidak bernyawa dapat bangkit dan hidup lagi”, bangsa Indonesia akan bangkit dari tidur panjang masa penjajahan.
Dalam Dokter Sjaitan, adegan transplantasi hati dari orang yang hidup menjadi metafora kunci yang sangat menarik. Kita bertanya-tanya apa yang dipikirkan penonton kala itu tentang sebuah transplantasi? Terpikirkah oleh mereka bahwa BK sedang memberi sebuah himbauan “kebangkitan bangsa”?
Sampai
kini, adegan transplantasi hati dari orang yang hidup ini masih relevan untuk
“dibaca kembali”: Kita telah masuk dalam era (yang kita sebut) kemerdekaan,
tapi benarkah kita sudah sepenuhnya siuman?
Kata Bung Karno, “Neokolonialisme menjangkiti negeri ini”.
Bung Karno berulangkali menyebut neokolonialisme dalam pidato-pidatonya. Neokolonialisme, semacam menjadi wabah dan penyakit sosial, yang membuat tubuh bangsa meredup dan meregang nyawa; perlu “dokter” pembangkit gelora dan api kebangsaan.
Jika kita hubungkan keberadaan naskah tersebut dengan kedekatan Bung Karno dengan Dr Tjipto, seorang dokter dan tokoh gerakan kebangsaan yang telah memberi teladan penting dalam perjuangan Bung Karno; bisa jadi tokoh dokter Marzuki dalam naskah itu sebuah “gambaran” teaterikal dari seorang “dokter kebangsaan” Dr Tjipto. Entah kebetulan atau tidak, nama lengkap Dr Tjipto adalah Tjipto Mangoenkoesoemo yang menandung arti “kebangkitan jiwa”. Tjipto berarti pikiran, cipta; Mangoen berarti bangun, bangkit; dan Koesoemo berarti bunga atau kemuliaan jiwa.
Tentang hubungannya dengan Dokter Tjipto, ada sebuah peristiwa penting yang terus dikenang Bung Karno. Suatu hari, sebelum berangkat (dipenjara) Dr Tjipto Mangoenkoesoemo berkirim surat kepada Soekarno, isinya meminta agar: “Bertekun untuk berkorban, berkorban, dan berkorban bagi Indonesia!”
Kata-kata itu terus bergelora di hati Bung Karno, dapat kita jumpai dan rasakan getarnya dalam pidato-pidato dan tulisan-tulisan politik beliau. Demikian juga naskah-naskah drama karya Bung Karno. Getar “amarah” dan gelora bisa kita tangkap dari judul naskah-naskah yang ditulis BK: AMOEK, MAHA IBLIS, AERO DINAMIT, DOKTER SYAITAN, dan ANAK HARAM JADAH.
Di tengah era kemerdekaan, periode pembuangan dan pergulatan BK dalam teater di Ende dan Bengkulu seakan terlupakan begitu saja. Dalam kontek sejarah kebangsaan, periode pembuangan para pendiri bangsa adalah pilar-pilar maha penting pembentukan negara yang sekarang kita kenal sebagai Republik Indonesia.
Dari perjalanan intelektual dan pergulatan dengan dunia kesenian yang dilakoni Soekarno di masa pembuangan tersebut, kita belajar bahwa kesenian, politik dan perjuangan kebangsaan tidak terpisahkan. Politik dan seni saling menggenapi. Dalam seni ada perjuangan.
Di tengah ketertindasan penjajahan Belanda, dalam suasana larangan dan kebuntuan pergerakan, Soekarno memilih jalan teater untuk berbicara pada rakyat dan menjalin akar dan ikatan kekeluargaan. Bung Karno mengakui kesenianlah yang membuat beliau keluar dari tekanan kehidupan politik. Kebuntuan politik bisa diterobos lewat jalan tembus bernama kesenian.
“Jas Merah,” amanat Bung Karno. Jangan sekali-kali melupakan sejarah; termasuk kehidupan berkesenian Bung Karno dimasa pembuangan.
Jika pidato dan tulisan-tulisan Bung Karno disadari sebagai bagian-bagian terpenting dalam sejarah pembentukan NKRI, sudah waktunya “harta karun” naskah-naskah teater BK “dibuka”.
Memang keberadaan naskah-naskah asli itu masih simpang-siur, namun masih mungkin untuk ditelusuri dan diterbitkan.
“Ada salah satu keluarga Bung Karno kesini dan mengambil naskah aslinya,” kata salah seorang penjaga Rumah Soekarno di Ende.
Sembilan tahun sebelum proklamasi, tepatnya tanggal 19 Agustus 1936, naskah DR. SJAITAN yang diilhami oleh Frankenstein itu dipentaskan: Dr Marzuki menghidupkan mayat dengan melakukan transplantasi hati dari orang yang hidup.
Lewat
pementasan itu sangat tegas terbaca pesan BK. Untuk kebangkitan dan kebangunan
jiwa, kita perlu: Transplantasi hati (nurani)!
DAFTAR BACAAN
Di Bawah Bendera Revolusi (Ir Soekarno)
Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (Cindy Adams, edisi revisi diterbitkan Yayasan Bung Karno, 2007)
Menjadi Indonesia (Parakitri T Simbolon, Penerbit Kompas, 2006).
Bung Karno dan Pancasila – Ilham dari Flores untuk Nusantara (Tim Nusa Indah, Penerbit Nusa Indah, 2006)
Bung Karno, Maestro Monte Calo – Kumpulan Naskah Drama Bung Karno Selama Masa Pengasingan di Bengkulu (Agus Setiyanto, Penerbit Ombak, 2006)
Kako Lami Angalai (Peter A Rohi)