Dedok & Grace masing-masing menghadirkan 20 karya meliputi lukisan cat akrilik di atas kanvas dan juga karya tiga dimensi. Pameran dibuka Kamis 14 Februari 2019 di Gallery Pavilium, House Of Sampoerna, Surabaya, Jawa Timur yang dibuka Bapak Freddy H. Istanto Direktur Surabaya Heritage Society dan pecinta seni.
ROMANSA kebersamaan dalam berkesenian yang dilakukan dua perupa Made Arya Dwita Dedok & Grace Tjondronimpuno secara bersama menggelar pameran. Duet, dalam hal ini konteks berkarya khususnya seni rupa lebih lagi suami istri jarang terjadi mungkin dalam musik Anto Hoed & Melly Goeslaw lebih dikenal ranah publik bersama-sama berkarya.
Hal serupa Dedok & Grace adalah seniman, Sarjana Seni lulusan Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta. Mereka dulunya adalah teman satu angkatan pada tahun 1991 dan kini menjadi satu ruang hidup bertumbuh yakni suami istri, satu keluarga dan satu perjuangan.
“Pameran ini mereka memperbincangkan cinta (Valentine Day) yang bersumber dari pengalaman personal mereka mengatasi dan merespons persoalan hubungan manusia, alam hingga spiritulitas. Lingkar relasi tersebut secara harfiah visual kita bisa menangkap ‘relasi daya hidup cinta yang dalam dan menyentuh’. Perjalanan kehidupan cinta dan ‘berkeluarga’ mereka pun dipenuhi bahtera ‘tarikan-tegangan’, kerja keras dan cinta yang ‘berjerih payah untuk menyatu’ atas perbedaan asal usul dan juga budaya, ” ujar kurator pemeran I Gede Arya Sucitra.
Kedua perupa bertransformasi seni dalam konfigurasi dua kebudayaan; Chinese Jawa-Bali, yang sarat kaya makna. Beberapa konsep-konsep nilai lokal yang bertumbuh di kearifan lokal budaya Bali dan Chinese Jawa mereka endapkan dan tersublime secara indah, halus dan mengandung nilai keluhuran dalam karya-karyanya.
Dedok& Grace menyadari, bahwa cinta itu berkaitan dengan ‘kebenaran-kebaikan’ yang wujudnya bisa sangat luas dan kadang bisa bias dalam perspektif perbedaan pengetahuan, pengalaman, dan juga kebudayaan (tradisi). Dengan jalan kesenian dan seni rupa, mereka meyakini yang tak tampak dan yang absurd dalam konsep pengalaman cinta bisa diwujudkan dengan seni rupa (lukisan). Seni memberi bentuk pada pengalaman yang tak jelas bentuknya (amorf). Seni menampilkan yang tadinya tersembunyi, mengartikulasikan yang tak terartikulasikan.
Arya Sucitra dalam pemaparannya, mencatat melakukan pembacaan atas dasar filosofis subject matter cinta mereka dan estetika kedua perupa. Karya mereka sangat kuat kemampuan artikulasi yang ilustratif (kartunal), namun tidak meninggalkan karakter goresan kuas yang dinamis, tekstural, warna yang riuh, meriah, cerah namun harmonis, dan terutama Dedok dipengaruhi oleh ritme energi lokalitas tarian dan musik Bali yang sangat dinamis.
Kemampuan melakukan transformasi visual ini disertai dengan kemampuan mereka, untuk memberi isi lewat interpretasi nilai-nilai budaya Bali dan Jawa yang dipelajari dari lingkungan yang dijiwai filsafat Hindu-Bali. Sejumlah nilai spiritual Hindu Bali seperti konsepsi dharma (disiplin), rwabhineda (keharmonisan), karmaphala (buah perbuatan), tri hita karana (tiga penyebab kebahagiaan), lango (keinahan), desa kala patra (fleksibilitas dalam kehidupan), taksu (karisma) dan jengah (kemampuan bersaing) mewarnai karya-karya seni lukis.
“Cinta saya simbolkan dengan gambar hati, seperti pandangan pertama dari mata turun ke hati. Lika-liku cinta di kehidupan sehari hari dan sesuatu yang positif cinta kasih terhadap sesama atau dengan lingkungan sekitarnya baik alam maupun mahluk hidup lainnya. Pengalaman personal bersentuhan dengan berbagai karakter manusia dan kebudayaan serta berpijak nilai kearifan lokal Bali, salah satunya yakni seni Bebarongan. Cinta saya berharap segala sesuatu yang saya tuangkan dalam karya berupa cinta kasih damai dan semua hal yang berpikir positif dan menginspirasi orang untuk saling memberi dengan ketulusan, dan menguatkan,” beber Dedok.
Demikian pun Grace menyatakan cinta adalah bahasa universal yang merupakan sifat baik yang mewarisi semua kebaikan, perasaan belas kasih dan kasih sayang. Dalam hal ini cinta kepada sesama manusia menjadi fokus. Cinta kepada sesama manusia adalah isu yang menjadi fokus dalam banyak karya yang telah saya buat selama perjalanan berkesenian.
Hal ini dikarenakan pengalaman pribadi dan situasi lingkungan yang menggugah hati untuk selalu menyerukan cinta terhadap sesama yang semakin lama mengkhawatirkan. “Karya-karya bertema cinta kepada sesama manusia dengan visualisasi yang sederhana dan kartunal diharapkan membuat penikmat karya dapat menangkap pesan-pesan cinta yang universal tanpa ketegangan namun dengan mudah menangkap maksud dari pesan-pesannya.” tutunya.
Pameran ini diharapkan bisa membuka kesadaran dan ingatan bagi publik luas mengenai hakekat cinta dan manifestasinya. Berbicang seni cinta melalui karyanya mengajak kita untuk memasuki dunia kontemplasi imajinasi fantasi yang berpijak dari realitas pengalaman personal yang diperkuat oleh pemahaman kearifan lokal yang kian lama makin redup dilupakan oleh generasi muda.
Selain itu, pameran ini juga diharapkan mampu memberi inspirasi dan motivasi untuk menumbuhkan, menguatkan daya hidup ‘cinta’ manusia atas hubungan-hubungan yang universal, nilai-nilai kebaikan tradisi, religi, spiritualitas di denyut kehidupan yang kian global, instan dan narsistik.
Dedok & Grace masing-masing menghadirkan 20 karya meliputi lukisan cat akrilik di atas kanvas dan juga karya tiga dimensi. Pameran akan dibuka Kamis 14 Februari 2019 di Gallery Pavilium, House Of Sampoerna, Surabaya, Jawa Timur yang dibuka Bapak Freddy H. Istanto Direktur Surabaya Heritage Society dan pecinta seni. (T)