Perayaan Imlek kali ini ya seperti biasa saja. Tetap bernuansa merah (bukan partai lo ya), umat Konghucu datang ke Klenteng untuk sembahyang, ada barongsai, ada angpao tentunya. Hal yang tidak biasa justru ada pada saya.
Maklum meskipun telah melewati puluhan perayaan Imlek, baru di Tahun 2019, tepatnya Selasa 5 Februari, ini saya ikut merayakan Imlek secara langsung di sebuah keluarga keturunan Tionghoa yang ada di Singaraja. Saya begitu menikmati proses perayaan Imlek yang dilakukan di keluarga Bu Hermawati.
Kami akrab dengan Bu Herma dalam project teater “11 Ibu 11 Panggung 11 Kisah” di Singaraja yang digagas sutradara Kadek Sonia Piscayanti, di mana Bu Herma adalah salah satu aktornya. Dalam project itu kami adalah kru yang bertugas di bidang produksi.
Keluarga Bu Herma ini adalah kelurga keturunan Tionghoa dari Kapitan Liem Liang An, seorang bangsawan china yang ada di Buleleng pada sekitar tahun 1800an.
Saat tiba di rumah Bu Herma, kami disambut begitu hangat oleh keluarga Bu Herma. Kami memang bukan orang asing bagi mereka. Mereka memperlakukan kami bukan sebagai tamu, melainkan seperti keluarga mereka sendiri.
Awalnya saya dan teman-teman yang datang ke sana merasa tidak enak, karena ketika kami datang mereka tengah sibuk mempersiapkan sarana untuk persembahan saat persembahyangan. Ada yang melipat uang kertas (bukan uang asli, tapi kertas yang diibaratkan seperti uang), ada yang menyiapkan masakan di atas altar, ada juga yang bahagia penuh tawa menikmati durian lezat.
Kami pun duduk dipojokan. Kami mojok bukan tanpa alasan, kami mojok karena kami takut mengganggu mereka yang tengah sibuk. Akan tetapi saudara bahkan Mama dari Bu Herma tidak membiarkan kami duduk di pojokan. Mereka meminta kami untuk bergabung bersama mereka.
Maka kami pun menurut saja. Karena kami tidak bisa melipat uang kertas dan tidak tahu cara menata persembahan di atas altar maka kami lebih memilih bergabung berbahagia menikmati buah durian. Karena hanya itu keahlian yang kami punya saat berada di rumah Bu Herma. Hehehehe, maklum kami bukan orang Cina tapi kami suka produk Cina. Hahaha.
Tidak berbeda jauh dengan upacara hari raya keagamaan dalam umat Hindu, di perayaan Imlek pun sarana upacara yang digunakan terbilang mirip. Ada babi gulingnya juga lo. Akan tetapi sarana yang wajib ada dalam sesajen yang disajikan di atas altar itu adalah masakan mie dan capcay, kue lapis dan kue wajik ketan, buah jeruk, anggur, apel dan pisang.
Tak ketinggalan pohon tebu yang dipotong menjadi beberapa bagian dengan ukuran kurang lebih 30 cm. Tak hanya itu, kue keranjang pun menjadi hal utama yang harus disiapkan di atas altar.
Waktu pun berganti dari pagi menjadi siang. Persiapan telah selesai dilakukan. Tibalah saatnya para anggota keluarga melakukan persembahyangan di Nyolo (kalau dalam istilah Hindu mungkin itu Sanggah).
Satu persatu dari keluarga Bu Herma mengambil dupa beberapa batang kemudian dinyalakan dan bersembahyanglah mereka sebagaimana persembahyangan umat Konghucu. Saya sendiri masih terheran-heran menyaksikan cara mereka beribadah. Simple dan mendalam. Meskipun saya sudah sering melihat umat Konghucu beribadah secara langsung atau pun di TV (termasuk melihat calon ipar yang juga keturunan Tionghoa), namun saya masih tetap heran.
Sebab antara percaya dan tidak, saya berkesempatan melihat dari awal hingga akhir proses perayaan imlek dari umat Konghucu. Tak henti-hentinya dalam hati saya bergumam, “Oohh jadi begini, ya…” Hehehe.
Setelah selesai beribadah, sajian di atas altar tak langsung dimakan (di-lungsur). Namun harus bertanya dulu kepada Sang Leluhur, apakah sudah selesai menikmati hidangan ataukah belum.
Caranya pun cukup unik. Anggota keluarga tertualah yang harus melakukannya dengan cara melemparkan sepasang kayu ke lantai yang berbentuk seperti biji buah. Jika sepasang kayu tersebut jatuh dengan salah satunya menutup dan satunya terbuka, artinya sajian di atas altar sudah boleh dilungsur dan dinikmati. Namun jika keduanya terbuka Sang Leluhur dipercaya sedanga tertawa dan masih menikmati hidangannya. Sementara, jika keduanya menutup maka sajian di atas altar ada yang kurang. Dan kami juga diberikan kesempatan untuk melihat mereka melakukan itu.
Ketika sajian di atas altar sudah diperbolehkan untuk dimakan, semua anggota keluarga menikmati hidangan. Hanya beberapa sajian seperi buah yang masih dibiarkan di atas altas dan dibiarkan selama semiggu. Dan buah-buah itupun dihias.
Kami juga tak melewatkan kesempatan. Malu-malu tapi mau. Kami ikut menikmati hidangan yang ada. Ada mie, capcay, sup jamur, sate babi, shamsing, babi guling dan masih banyak lagi. Kami pun mengambil mangkuk yang sudah terisi nasi. Tak lupa kami penuhi mangkuk kami dengan berbagai macam lauk.
Lalu kami duduk. Selain itu, kami juga berkesempatam menikmati minuman yang disajikan dalam cangkir kramik yang mungil. Cara minumnya itu ala-ala orang Tionghoa gitu, yang kerap saya tonton di film-film. Jadi rasa-rasanya separti main film khas Tionghoa.
Tak lama kemudian Bu Herma membawakan beberapa mangkuk yang dipenuhi dengan aneka macam lauk. Disusul oleh anak lelakinya yang katanya sebentar lagi mau menikah. Lagi-lagi, karena merasa tak enak, kami pun bilang bahwa yang ada di mangkuk kami sudah cukup. Jangan ditambah lagi. Terimakasih.
Ternyata ada hal lain yang tidak kami ketahui. Ternyata cara makan kami salah (tetoottt…). Harusnya mangkuk nasi yang kami bawa itu tidak dijejali dengan hingar bingarnya lelaukan. Tetapi nasi dalam mangkuk kami tetap dibiarkan bersih. Ketika mau makan barulah kita ambil sedikit lauk, lalu makan deh. (Yang suka nonton Drakor atau drama mandarin pasti ngerti deh gimana cara makannya, hahaha).
Tapi kami mah beda. Tetap saja kami makan ala nasi campur pinggir jalan. Hahahah, ketahuan deh yang…………(isi sendiri).
Sempat saya teringat kalau saya lahir di shio Babi dan Imlek kali ini perayaannya di tahun Babi Mas. Ahhh… saya pun jadi merasa mungkin saya chiong (sial) saat itu. Tapi tak apalah, kan baru pertama kali. Biarlah cara makan saya yang chiong (sial) asalkan asmara saya dengan si dia tidak chiong (sial) – entahlah bagaimana cara menulis ciong dengan benar.
Maafkan, hehehe. Selamat Tahun Baru Imlek 2570. Gong Xi Fa Cai.