Hidup sebagai rakyat biasa di negara Telaga, maka saya harus mengatakan, pemimpin dan pandita adalah tulang punggung negara. Keduanya memiliki andil besar dalam keberlangsungan ketatanegaraan. Jika keduanya tidak harmonis, maka hancurlah negara Telaga.
Negara bisa maju dalam berbagai bidang semisal ekonomi, teknologi, sains, tapi kemudian hancur karena tidak ada kecerdasan buddhi di dalamnya. Jika pun kemudian orang-orang yang konon suci hanya mengajarkan tentang baiknya memuja Yang Kudus tanpa peduli sekitar, negara sudah di ambang batas kehancuran. Lalu bagaimana?
Maka janganlah salah memilih pemimpin juga pandita. Sebab akan mempengaruhi kehidupan anak semua wangsa. Itulah yang musti dilakukan oleh rakyat sebagai tenaga penggerak (bayu) dalam tubuh negara. Sudah tidak ada waktu lagi! Pemimpin harus segera dipilih dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, jika tidak maka negara akan kacau dan serigala-serigala yang sudah lama mengintai akan datang dan menerkam diam-diam. Jangan juga golput, karena satu suara rakyat sangat berharga!
Pilihlah yang menguasai ketatanegaraan dan ketata-agama-an. Itu saran saya sebagai Cangak yang belajar banyak. Bukankah keduanya adalah pokok ajaran yang mestinya dipahami oleh pemimpin yang baik untuk memimpin negeri yang dipenuhi rakyat spiritualis ini?
Sungguh tidak mudah mempelajari keduanya sekaligus. Terus terang dahulu ketika masih sangat muda, saya pernah belajar keduanya. Saat belajar itulah, saya meyakini ada beberapa ciri-ciri pemimpin dan pandita yang baik. Apakah sodara-sodara sewangsa, selangit, setanah air ingin mengetahuinya? Anggaplah sodara ingin, jika tidak ingin pun, saya harus tetap menjelaskannya, sebab inilah gunanya saya belajar sejak lama. Begini isinya.
Pemimpin ikan-ikan di negeri Telaga idealnya memiliki delapan sifat kepemimpinan sebagaimana diajarkan pada tingkat sekolah dasar. Untuk kepentingan penjelasan ini agar runut, saya harus kembali mengingatkan pada sodara-sodara para bijaksanawan-bijaksanawati Asta Brata; menurunkan anugerah hujan (dana) seperti Indra, adil seperti Yama, menyinari seperti Surya, menyejukkan seperti Bulan, mengetahui semua tempat seperti Bayu, memperhatikan kesejahteraan seperti Kuwera, menakutkan bagi yang jahat seperti Baruna, dan penuh semangat seperti Agni.
Ada lagi sembilan sifat pemimpin yang jarang dipelajari, Nawa Natya namanya. Berburu seperti Mrega (macan), berenang seperti ikan (Matsya), penuh cinta (Srengga), mahir dalam perang (Samara), mahir dalam keindahan (Kalangwan), bertangan dingin (Pana), hati-hati dalam berjudi (Dyuta), memiliki rasa humor (Asya), dan pekerja keras (Shrama).
Belum lagi jika membaca geguritan Niti Raja Sasana, ada enam belas brata pemimpin di dalamnya. Teguh seperti gunung (Giri), hati-hati memerintah dan tidak mudah percaya pada kata-kata sembarangan (Indra), merata memberikan dana (Mretawarsa), melenyapkan yang jahat (Geni), menerima kesalahan dan pengampun (Lawana), tidak bingung (Mrega), berwibawa seperti singa (Singha), bergerak cepat dalam perang (Anila), penuh kasih (Sata), hati-hati berkata dan memilih makanan (Mayura), mengasihi rakyat (Cataka), dapat meramalkan kematian (Kaganila), tidak bertindak jika ragu (Wyaghra), memilih tempat yang baik untuk makan (Cundaga), menjadikan yang pandai sebagai utusan (Cundaga), dan bersikap adil (Yama). Sebegitulah banyaknya menurut shastra yang harus dipelajari, dipahami dan diingat oleh pemimpin. Tapi masa kini, jarang pemimpin yang ingat tentang yang begitu-begitu. Jangankan dasar shastra, pada janji sendiri saja mereka sering lupa.
Jika sodara membacanya saja sudah pusing, percayalah bahwa bukan tugas sodara menjadi pemimpin. Tiap-tiap orang memiliki tugas tersendiri tentunya. Bayangkan bagaimana Cangak seperti saya harus mempelajari semua itu, dan juga harus mengingatnya dengan detail. Percayalah itu berat, biar saya saja.
Pelajaran tentang kepemimpinan, memang memusingkan. Apalagi harus juga belajar tentang kepanditaan. Tambah pusing lagi. Tapi itu pusing, sejenis pusing-pusing menyenangkan. Hanya bisa dinikmati oleh Cangak yang sudah sejak lama belajar. Jangan kira guru ikan-ikan suci tidak memiliki kriteria untuk disebut baik. Absolutely NO!
Harus kuwakuwimemampang foto kalem di media sosial saja tidak cukup. Musti dibarengi dengan kata-kata meneduhkan bagi orang-orang kepanasan oleh ini dan itu. Sesekali pamer pekerjaan sebagai rohaniawan juga bisa mendongkrak popularitas. Hati-hati jangan sampai terkenal karena tiba-tiba terjangkit kasus hukum.
Apa sodara tahu apa saja kriteria menjadi pandita? Jika tidak, maka perkenankanlah saya menjelaskan kepada sodara-sodara sekalian para pembaca yang baik dan budiman tentang bagian kecil dari hasil belajar saya.
Asta Brata juga namanya delapan brata untuk Pandita; tidak suka marah-marah apalagi ngambekan(Akroda), suka berkata yang benar (Satyam), jujur pada diri (Sambwibhaga), teguh pendirian (Acarwan), berpengetahuan luas (Bhuwanarya), memahami perkembangan psikologi msyarakat (Desa Pakraman), berpengetahuan penyucian (Panyupatan Mahayuning Rat), dan menguasai jnana(Tattwajnana).
Ada lagi tiga kriteria lainnya: mengetahui segala kenyataan (Jnana Bhyudreka), kesucian yang tidak terkena kekotoran (Indriya Yoga Marga), dan pembersihan pikiran (Tresna Dosasaya). Itu saja sudah cukup banyak untuk dipahami oleh orang-orang yang mengikat dirinya dengan janji sebagai pejalan di jalan suci bernama Pandita.
Pandita berarti ia yang telah bijaksana! Tidak ada orang bijaksana marah-marah, cepat tersinggung, penyebar hoax, tidak tetap pendirian, pengetahuannya sempit, tidak peka, pedofil, dan tidak tahu kapan saatnya mati.Oleh sebab itu, maka ketidakjelasan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikepemimpinan dan prikepanditaan.
Siapa yang berhak jadi pemimpin dan pandita? Sodara-sodara sekalian, percayalah bahwa saya tidak betul-benar tahu siapa yang berhak. Tetapi untuk mengentaskan kebingungan, saya bersedia menjadi satu-satunya calon.
Saya tidaklah bermaksud menakut-nakuti, apalagi menyeram-nyeramkan. Tapi memang benar air di negara Telaga ini akan segera mengering, barangkali beberapa tahun lagi. Buatlah upacara sebesar-besarnya agar para dewa mengasihani dan segera menurunkan hujan. Jika hujan sudah turun, itulah pertanda para dewa sangat amat senang sekali dengan upacara itu.
Jika hujannya deras lalu jadi banjir, itu berarti kutukan, para dewa tidak senang dan harus segera dibuatkan upacara yang lebih besar lagi. Jika sodara-sodara tidak mengerti bagaimana membuat upacara besar, tenanglah, ada saya. Saya yang akan menanggung semuanya, sodara cukup hanya duduk diam, dan menonton.
Saya hanya butuh bantuan beberapa orang kepercayaan saya untuk menyiapkan piranti-pirantinya. Dan sebagai balas jasa kepada mereka, sebaiknya sodara memberikan sekadarnya penghargaan. Jangan hitung saya, karena saya sudah tidak lagi butuh penghargaan. Semuanya saya miliki tanpa memiliki. Hilang tapi tidak merasa kehilangan. Aku ada bukan milikku.
Begitulah sodara-sodara para ikan sekalian, pemimpin-pandita harus segera ditemukan. Jika tidak, siap-siaplah ikut mengering di Telaga ini. Jika panas matahari sudah mulai membakar ekor, maka sesegera mungkin semua ikan akan kehilangan kewarasan. Kakeknya ikan akan menelan cucunya, ayah menyakiti ibu, ibu merongrong bapak, anak-anak hilang hormatnya pada orang tua, orang tua menyakiti anak.
Guru-guru yang konon suci mulai tidak terkendali, suka berantem berebut harta, berebut pemuja, berebut murid, berebut batu paras, berebut ngomong. Tentu tidak tepat jika kemudian, guru-guru itu disebut seperti gerombolan semut pencari makan. Tidak ada lagi perlindungan. Semua kejahatan menjadi kasat mata. Sebab ditutupi tameng super halus, salah satunya bernama agama dan spiritual.Tentu agama dan spiritual bukan tameng, tapi begitulah caranya para guru-guru suci ikan memperlakukan keduanya. Tempat berlindung tidak terlindungi. Penjahat memegang tahta dan duduk di singgasana. Siapkah sodara-sodara?
Saya Cangak yang bisa meramalkan masa depan sodara-sodara. Di dalam pengelihatan saya tentang masa depan, terlihat jelas masa depan yang buram. Maka mari menyeberang, jangan ditunggu lagi. Saya yang akan membimbing sodara-sodara menuju tempat yang baru. Di suatu tempat nun jauh disana, ada telaga yang lebih segar dengan air yang tak habis-habis, tidak kering-kering. Teratai tumbuh dimana-mana. Jadi jangan ragu lagi. Come on beibeh! (T)
Baca Juga: Swastyastu, Nama Saya Cangak