Peraturan Gubernur No. 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik penggunaan kantong plastik, polysterina, dan sedotan plastik, adalah pergub instan yang tidak mendidik karena mengajarkan masyarakat mendapatkan kebersihan secara instan.
Pergub yang dikumandangkan oleh gubernur mulai berlaku sejak 1 Januari 2019 melarang masyarakat menggunakan bahan yang terbuat dari/atau mengandung bahan dasar plastik.
Dalam sekejap pergub ini mendapat reaksi positif dari masyarakat. Akun-akun di media sosial riuh mengumandangkan dirinya anti sampah plastik. Aksi bersih-bersih dilakukan berbagai komunitas. Pergub ini berhasil membangkitkan kesadaran masyarakat peduli lingkungan.
Sayangnya, kesadaran ini hanya akan bersifat instan dan sementara karena kebijakan yang diterbitkan gubernur adalah kebijakan instan.
Gubernur diberikan kekuasaan, kewenangan, mandat untuk mencerdaskan dan mensejahterakan masyarakatnya. Gubernur diberikan kewenangan untuk membuat kebijakan yang mampu mengubah hidup masyarakat, misalnya dari miskin menjadi sejahtera, dari bodoh menjadi cerdas, dari hidup kotor menjadi hidup bersih.
Untuk itu, gubernur baiknya berhati-hati agar kebijakannya tidak justru membuat masyarakat menjadi bodoh dengan menjadi ingin hidup instan. Jangan sampai membuat kebijakan yang mendidik rakyatnya hidup dan menikmati hasil secara instan.
Pergub yang melarang penggunaan barang dari berbahan plastik adalah pergub yang bersifat instan. Peraturan yang ingin mendapatkan hasil secara instan. Masyarakat dipaksa tidak menggunakan barang berbahan plastik untuk mengurangi sampah plastik, sementara di sisi lain produsen masih memproduksi makanan dan menggunakan bahan atau makanan dalam kemasan plastik, misalnya kemasan makanan mie instan, kemasan air mineral, kemasan minuman, serta pabrik masih memproduksi kantong plastik.
Pergub yang instan biasanya akan diingat masyarakat secara instan, dilaksanakan masyarakat secara instan. Sebagai contoh, saya yang kini berusia 39 tahun ingat ketika masa sekolah dasar yang diminta mengumpulkan sampah plastik di Pasar Seririt, Buleleng oleh sekolah.
Apakah program saat itu berhasil, setelah puluhan tahun, bisa dilihat sampah-sampah plastik masih bertumpuk-tumpuk dan berserakan. Sampah plastik dan sampah organik bahkan di ruang privat (rumah) masih banyak yang tidak dikelola dengan baik.
Saat ini pun suasananya hampir sama. Begitu gubernur mengumumkan pelaksaan pergub ini, masyarakat hiruk pikuk menyingkirkan sampah plastik dari rumahnya, membersihkan tumpukan sampah plastik di pura dan areal sekitarnya, atau membersihkan sampah plastik di hutan mangrove. Hasilnya pura akan bersih dalam sekejap dan masa waktu bersihnya hanya sementara. Tak lama lagi, sampah plastik dan lainnya akan kembali mengurung Bali.
Pergub ini hanya akan berhasil membuat Bali tampak bersih sesaat. Namun pergub ini gagal membuat masyarakatnya berbudaya hidup bersih karena pergub ini tidak mendidik masyarakatnya hidup bersih.
Coba simak kehidupan anak muda saat ini ketika mereka di rumah atau ruang publik. Apakah anak-anak generasi milenial sekarang suka menyapu di rumah, mungkin memegang sapu saja masih gagap. Apakah anak-anak kecil dan generasi milenial suka bersih-bersih dan menjaga kebersihan sekolah? Apakah generasi milenial bersih-bersih saat makan di kafe atau warung makan? Yang ada sampah makanan berserakan di meja makan dan lantai.
Kondisi ini menunjukkan bahwa kebersihan belum menjadi budaya masyarakat Bali.
Mirisnya, saat ini gubernur memberikan cara instan untuk membersihkan Bali dari sampah. Hasilnya tentu cara ini hanya melahirkan generasi instan yang hanya anti sampah plastik dalam sekejap tapi belum menjadikan kebersihan sebagai budaya hidupnya.
Untuk itu, diusulkan agar gubernur membuat pergub tentang kebersihan yang bisa dijadikan sebagai pedoman hidup selamanya, yaitu pergub budaya hidup bersih. Pergub yang menjadi tujuan jangka panjang. Pergub yang dibuat untuk mengkonstruksi budaya hidup masyarakat Bali agar menjadi berbudaya hidup bersih. Pergub yang akan membentuk bayi dan balita sebagai generasi milenial Bali dalam 10 tahun ke depan telah berbudaya hidup bersih.
Jadikan pergub berbudaya hidup bersih ini sebagai payung besar atau tujuan utama. Barulah kemudian dibuatkan aturan teknis dengan mengimplementasikan pergub itu ke dalam berbagai segi kehidupan.
Misalnya, di dalam dunia pendidikan dimasukkan kurikulum tentang hidup bersih di mana salah satu mata ajarnya dalah cara mengelola sampah, atau hal sederhana yaitu kurikulum menyapu dan mengepel lantai sekolah, membiasakan dan mendidik anak-anak di ruang lingkup kelurga hidup bersih.
Atau di ruang lingkung masyarakat yang lebih luas, yaitu desa adat atau dinas mengatur tentang pengelolaan sampah, menjaga kebersihan ruang publik, mengatur tentang pengelolaan sampah oleh pemerintah, hingga pelarangan penggunaan kantong plastik.
Mendidik dan membiasakan anak-anak hidup bersih sejak dini maka sesuai data BPS Bali, sebanyak 350 ribu bayi dan balita saat ini, niscaya dalam 10 tahun mendatang, akan menjadi 3,5 juta anak-anak kita akan menjadi generasi pertama di Bali yang memiliki budaya hidup bersih.
Banyak contoh negara sahabat yang memiliki budaya bersih, Jepang misalnya. Negara ini telah berhasil menjadikan kehidupan bersih sebagai budaya masyarakatnya.
Harapannya adalah gubernur yang diberikan kewenangan agar membuat pergub yang hidup abadi. Sebuah kebijakan yang mampu menjiwai kehidupan rakyat, mengubah budaya masyarakat dan mengkonstruksi budaya masyarakat menjadi lebih baik.
Maka itu maka pergub yang bersifat instan ini diubah menjadi pergub budaya hidup bersih sehingga menjiwai kehidupan generasi milenial di masa mendatang. jika momentum ini terlewatkan, maka sampah akan kembali menumpuk dan kita kembali gagal mencetak generasi milenial yang memiliki budaya hidup bersih. (T)