GENDUWIRASA, begitulah nama acara ngobrol bulanan yang dicetuskan oleh salah satu rekan kuliah saya di Universitas Panji Sakti Singaraja. Acara yang mewadahi mahasiswa Universitas Panji Sakti untuk bertukar pikiran dan berdiskusi mengenai topik-topik tertentu yang diangkat secara berbeda disetiap bulannya.
Sederhana namun bermakna, kalimat itulah yang paling tepat digunakan untuk menggambarkan acara ini, sederhana-dilaksanakan di kantin dengan biaya konsumsi ditanggung sendiri oleh mahasiswa, namun bermakna dan memberikan pengetahuan lebih melalui diskusi dari berbagai sudut pandang mahasiswa, sekaligus mempererat tali persaudaraan antar mahasiswa utamanya di jaman milenial yang sebagian besar kegiatan terfokus pada media sosial, yang kemudian berdampak pada kehidupan sosial mahasiswa dengan mulai memudarnya keinginan untuk bertemu dan berbagi cerita secara lisan.
Jumat malam, 23 Nopember 2018. Saya diminta untuk menjadi pematik tutur di acara genduwirasa di bulan Nopember sebagai perwakilan dari mahasiswa Fakultas Hukum Semester 3 dengan topik Kenapa Hukum? Topik ini diangkat untuk bertukar cerita dan pengalaman dari mahasiswa yang hadir mengenai alasan-alasan memilih hukum (utamanya untuk mahasiswa fakultas hukum) dan sudut pandang mereka terhadap hukum itu sendiri.
Dan sungguh menjadi kebahagiaan tersendiri ketika salah satu dosen Fakultas Hukum, Bapak Putu Sugi Ardana,SH, MH berkenan hadir dalam acara tersebut. Dan malam itu beliau bercerita mengenai mengapa ia memilih jurusan hukum di perguruan tinggi-kesempatan yang tidak mungkin kita dapat di jam perkuliahan.
Beliau melanjutkan pendidikannya di Universitas Udayana (UNUD) Denpasar, ia bercerita bahwa ia memilih hukum karena ikut-ikutan dengan teman sebayanya, dan juga tidak menyukai hukum ketika awal mulai mempelajari hukum di perguruan tinggi. Namun meskipun tidak menyukainya, ia mengatakan bahwa ia harus bertanggungjawab dengan keputusan yang diambilnya sehingga ia selalu hadir disetiap jam perkuliahan.
Nilai yang diperolehnya pun sebagian besar dihiasi dengan huruf C, hingga ia menyelesaikan pendidikannya di jenjang Strata 1. Kecintaanya terhadap hukum mulai ia temukan ketika melanjutkan pendidikan di jenjang Strata 2, berbeda dengan sebelumnya, ia mulai menikmati dan mendalami dengan lebih serius ilmu hukum. Metode belajar yang beliau gunakan adalah dengan membaca literatur di tempat yang sepi yang kemudian materi yang ia pelajari didiskusikan dan diperdebatkan dengan teman sebayanya.
Terdapat cerita yang berbeda-beda dari setiap mahasiswa yang ikut bergabung di malam itu. Di sudut kantin yang kecil, ada yang bercerita bahwa masuk ke fakultas hukum oleh karena tersesat dan tidak ada arah tujuannya. Yang pada awalnya tidak suka membaca menjadi kecanduan untuk membaca dan terbiasa mendengarkan perdebatan hukum hingga tertidur pulas. Dan bagaimana dengan belajar hukum dapat membentuk pribadi yang pemberani dan tangguh, utamanya ketika berdebat dan mempertahankan argumentasi terhadap suatu kasus tertentu.
Sebagian besar (termasuk saya sendiri) beranggapan bahwa belajar hukum identik dengan menghafalkan pasal dan membaca buku-buku yang tebal, sekilas terlihat sangat membosankan. Akan tetapi pada kenyataanya bahwa belajar hukum sangat menantang dan menyenangkan, disetiap jam perkuliahan seringkali diisi dengan berdiskusi mengenai kasus-kasus yang sedang hangat dibicarakan di masyarakat. Diskusi menjadi menyenangkan ketika mahasiswa yang beprofesi sebagai aparat kepolisian memberikan penjelasan serta pandangannya mengenai kasus tersebut dan bagaimana kelanjutannya.
Ada yang memilih hukum oleh karena sering mendengar dan menonton berita-berita di televisi yang berkaitan dengan kasus-kasus pelanggaran hukum sehingga menjadi tertarik untuk lebih memahami tentang apa itu hukum (entah ini cinta atau obsesi, saya tidak tahu), dan juga ingin mengabdikan masa tuanya dengan berbagi ilmu hukum yang didapat untuk membantu menyelesaikan persoalan yang terjadi di masyarakat sekitar. Bahkan ada mahasiswa pertanian yang ketika sering bertemu dengan mahasiswa hukum dan ikut serta mendengarkan diskusi-diskusinya, menjadi tertarik dan ingin pindah jurusan (jika ada biaya katanya).
Malam itu juga membicarakan tentang stigma di masyarakat yang memandang bahwa penerapan hukum di Indonesia Tajam ke bawah, tumpul ke atas. Beberapa dengan terang-terangan membenarkan keduanya, beberapa dengan malu-malu mengakuinya. Ada yang berpandangan bahwa stigma di masyarakat mengenai hukum “Tajam ke bawah, tumpul ke atas” sudah ada dari masa kerajaan di Indonesia.
Sudah terjadi semenjak dahulu kala, apabila perlakuan penegak hukum ketika menindak masyarakat dari golongan bawah berbeda dengan masyarakat dari golongan atas, pemberian hukuman pada masyarakat golongan bawah (budak,petani,dsb) cenderung lebih keras dibandingkan pada masyarakat golongan atas (kaum bangsawan).
Hal tersebut kemudian menjadi hal yang biasa dilakukan dan menjadi suatu pemikiran yang meracuni masyarakat mengenai penegakkan hukum hingga saat ini. Ada yang berpandangan bahwa, hal itu terjadi oleh karena perbedaan tingkat pemahaman masyarakat terhadap hukum, mereka yang tergolong masyarakat golongan atas memiliki tingkat pemahaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat golongan bawah.
Sehingga, masyarakat golongan atas bermain cantik ketika melakukan pelanggaran, berbeda halnya dengan masyarakat golongan bawah yang tidak paham dengan hukum sehingga tidak dapat bermain cantik. Hal inilah yang menyebabkan seakan-akan penegakkan hukum di Indonesia terlihat tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Sebagai kali pertamanya saya menjadi pematik tutur dalam acara itu , banyak catatan yang saya kumpulkan untuk kemudian perlu diperbaiki ke depannya. Terlebih mengenai kemampuan berargumentasi yang perlu saya latih lebih sering lagi. Tak lupa juga saya ucapkan terimakasih pada rekan kuliah saya , yang mendukung dan memberikan kesempatan untuk mencoba mengukur kemampuan dan melatih mental untuk berbicara di depan publik.
“I have no special talents , i am only passionately curious” – Albert Einstein (T)