ORANG mengenal kehidupan preman itu identik dengan kekerasan, persaingan antarkelompok, narkoba, badan penuh tatoan, kriminalitas dan hal-hal negatif lain. Tapi itu sebenarnya bisa hanya sebuah stereotype, karena di luar itu banyak preman tak hanya bergulat pada hal-hal yang dinilai negatif oleh masyarakat, seperti kekerasan dan kriminalitas. Ada juga yang mati-matian menghindar dari hal-hal seperti itu.
Mereka punya banyak alasan untuk menjadi seorang preman, diantaranya faktor sosial ekonomi, lingkungan, identitas diri dan mungkin masih banyak lagi alasan lain yang tak bisa kita mengerti. Tapi bagaimanapun juga manusia punya sisi humanis, meskipun mereka terbalut dalam wajah seorang preman.
Aku sendiri, sebagai perempuan, punya pergaulan dengan sejumlah preman. Ada juga yang bilang kehidupanku dikelilingi preman. Buatku mereka tetap sosok teman, sahabat bahkan saudara, bahkan seperti anak. Karena aku merasa nyaman berada diantara mereka, bahkan aku merasa dianggap sebagai ibu oleh mereka.
Di balik kesangaran wajah dan badan yang terbalut tatto, tetap ada sisi kemanusiaan yang terselip dalam diri mereka. Dan itu bisa dilihat secara jelas.
Aku sempat tak percaya ketika aku mulai mengajak mereka untuk peduli sesama dengan gelar aksi pengumpulan dana untuk korban gempa di Buleleng wilayah timur dan di Lombok.
Dengan sangat antusias mereka membawa kardus bertuliskan “Peduli Gempa Lombok”.
Dan mereka bisa bertutur kata yg halus dalam penggalangan itu, walaupun kadang sedikit bercanda dan kelihatan urakan. Tapi sungguh semua aku catat dalam hati saat itu. Aku masih belum percaya dan melihat mereka hanyalah menjalankan tugas dari perintah seorang ketua mereka yang ingin menunjukkan keberadaan.
Aku berfikir bagaimana bisa membuktikan sisi baik mereka.
Pada 15 Oktober 2018 kembali aku mengajak mereka untuk berkunjung ke panti jompo dalam rangka ulang tahun organisasi kami. Dana untuk memberi bantuan ke panti jompo adalah hasil urunan di organisasi dan di-support pembina kami yang notabene seorang Anggota Dewan yang di mata kami sangat bijaksana. Walaupun sedikit tua tapi tetap berusaha memberi support bahwa kami bisa melakukan hal positif untuk masyarakat.
Dan aku tak pernah membayangkan ketika melihat mereka terhanyut dengan keadaan di panti jompo. Aku tak pernah membayangkan mereka, para preman itu, akan meneteskan air mata ketika melihat penghuni panti jompo yang renta tak didampingi anak atau keluarga mereka.
Aku sempat berbisik sambil bergurau pada ketua organisasi, “Bisa nangis juga, Ndan!?”
Dan dia menjawab dengan lirih, “Kasian, Bunda, semoga kita nanti tidak seperti mereka. Terimakasih, Bunda, sudah mengajarkan kami hal-hal seperti ini,” katanya.
Tak sengaja air hangat ikut menetes di pipiku. Oh. terimakasih Tuhan. (T)