SEBENARNYA sudah menjadi rahasia umum bahwa penyair itu adalah satu jenis manusia kere dari sekian jenis manusia yang kere. Sejarahnya pun tidak pernah berubah, baik sejak zaman penyair angkatan ‘45 yang dipelopori oleh manusia super-kere macam Chairil Anwar—yang suka mencuri buku lalu setelah buku itu selesai dibaca ia jual lagi di pedagang loak hanya agar bisa kencan dengan Ida—sampai penyair era ‘65, penyair angkatan Malioboro bahkan angkatan milenial ini.
Kalau kita sering mendengarkan ceritanya Cak Nun tentang seputar penyair-penyair Malioboro tahun 70-an, maka label kere pada penyair sungguh makin sahih belaka. Mereka menggelandang siang dan malam di seputaran Malioboro hanya untuk menyelami kehidupan puisi. Mereka tidak punya pekerjaan tetap sebagaimana manusia umumnya hanya agar ilhamnya tetap murni, tidak terkontaminasi kegiatan-kegiatan lainnya yang bersifat praktis. Mereka tak punya penghasilan. Mereka kelaparan dan kesulitan membeli rokok. Singkatnya, dinasibkan menjadi penyair adalah dinasibkan menjadi manusia kere. Kira-kira begitu.
Tapi, tentu hal ini perlu digarisbawahi. Bahwa penyair kere itu adalah penyair yang ‘murni’ dan total menjadi penyair, misalnya tidak merangkap menjadi penulis artikel atau esai mingguan di koran atau menulis cerpen untuk media, yang secara honor lebih menjanjikan. Jika si penyair masih punya bisnis sampingan macam warung kopi, penerbitan, jualan gorengan, jadi jurkam politik, jadi redaktur media, nyambi jadi kuli serabutan maupun jadi orang kantoran, atau jadi PNS macam penyair W Hariyanto dan Jamil Massa. Maka label kere tentu akan gugur dengan sendirinya.
Kalau seorang penyair yang hanya bergantung, menghidupi dan dihidupi puisi ya mau tak kere bagaimana? Apalagi di zaman dolar bisa tembus sampai lima belas ribu seperti sekarang ini. Berapa sih honornya puisi dari media? Berapa sih honornya manggung baca puisi atau mengisi workshop? Buat membeli lipsticknya Ayu Ting Ting saja tidak cukup. Itu pun kalau langsung dibayar atau honornya ditransfer oleh media yang memuat puisinya.
Karena, masalahnya tak sedikit media cetak di Indonesia itu yang raja tega kepada penyair. Ya raja tega. Yaitu ada yang berbelit-belit soal honor—bahkan penulisnya sampai seperti pengemis ketika menanyakan dan menagih honornya, yang sebenarnya itu adalah hak penulis—dan ada pula yang menunda-nunda sampai berbulan-bulan, bahkan ada yang tidak memberikan honor sama sekali.
Soal honor di media saya pernah punya pengalaman, selain tak pernah direspon saat mengontak bagian keuangan sebuah koran A ketika saya hendak menanyakan honor tulisan saya yang sudah diterbitkan, saya pun pernah mendapat email penolakan tulisan saya dari koran B dengan alasan hanya karena saya mencantumkan nomor rekening di bagian data pribadi, yang biasanya saya sisipkan di bawah tulisan dan biografi—dan itu sebenarnya hal lumrah bagi siapa pun yang mengirim tulisan dengan menyertai nomor rekeningnya. Lucu? Syaaakit! Itu seperti nembak cewek dan mendapat jawaban: “Maaf, pacaran tidak ada dalilnya dalam agama.”
Lalu, situ mau atau masih punya cita-cita menjadi penyair?
Soal royalti buku puisi saya kira tak akan jauh berbeda dengan kasus honor di koran. Memangnya siapa yang menjamin buku puisi bakal laku ribuan eksemplar macam buku Tips Membaca Pikiran Gebetan, dan lantas penyairnya menjadi kaya raya? Mimpi! Bahkan penyair sekelas Sapardi pun, yang buku puisinya selalu menyambut kedatangan kita saat masuk toko buku juga tak ada jaminan bahwa dia akan tercukupi kebutuhan hidupnya dengan royalti buku.
Ya kecuali penyair macam Dadang Ari Murtono, buku puisinya, Ludruk Kedua, hanya butuh waktu satu bulan untuk dicetak ulang oleh penerbit basabasi dan konon menurut Pak Haji Edi Mulyono selaku pemilik penerbit yang beralamat di Banguntapan Bantul itu, buku puisi tersebut dicetak sebanyak 500.000 eksemplar. Ini tidak main-main Saudara, tapi ugal-ugalan, karena penyair kelahiran Mojokerto itu memang sedang digadang-gadang untuk menandingi kepopuleran Baginda Tere Liye. Maka tak perlu kaget jika sampai sekarang Dadang masih bisa merawat rambut gondrongnya tetap berkilau bak permata dan membuat siapa pun terpesona saat melihatnya, semua itu berkat royalti buku puisinya yang tak habis-habis sampai lima keturunan.
Namun soal angka 500.000 tentu kita masih patut meragukan. Atau mungkin ini hanya hoax semata demi menaikkan citra sosial penyair dari segi ekonomi. Toh, kita tak pernah melihat secara langsung MoU-nya si penyair dari penerbit, yang di dalamnya sudah barang tentu ada kesepakatan tertulis tentang jumlah buku yang akan dicetak. Waallahu A’lam.
Kembali lagi ke laptop: Intinya penyair itu tetap jenis manusia kere, jika hidupnya hanya bergantung pada puisi semata. Terus, kalian ukhti-ukhti yang jomblo masih tetap berangan-angan ingin menjadi kekasih penyair? Ya mungkin tak salah jika kalian punya angan-angan demikian. Yang keliru, bahkan bisa fatal jika punya niat ingin menjadi istri penyair. Memang anakmu nanti mau dikasih makan kata-kata? Bisa kenyang?
Tentu jangan heran jika RM Djojosepoetro, ayah Sumirat, menolak Chairil Anwar jadi menantunya. Karena dia pasti sudah tahu kalau penyair itu jenis manusia kere. Dia tak peduli nama anaknya akan abadi atau tidak dalam puisinya, karena yang dia pedulikan anaknya jangan sampai kelaparan hanya karena punya suami tanpa keuangan yang mapan.
Jadi, soal penyair adalah manusia kere ini memang tidak mengada-ngada. Sejarahnya memang begitu dan akan terus begitu. Karena orang yang memilih menjadi penyair bukan agar dihidupi oleh puisi melainkan untuk menghidupi puisi. Mereka adalah orang-orang yang ikhlas karena sebagian besar waktunya diwakafkan untuk kata-kata, tenaga dan pikirannya untuk seni—yang konon inti dari segala seni itu: puisi. Tanpa mengharap banyak imbalan dari apa yang dia kerjakan dan korbankan.
Dan, sebenarnya hal ini cukup tabu untuk dibicarakan, karena selain mungkin menyinggung profesi kepenyairan—sebab semata-mata dipandang dari segi ekonomis—juga saya sendiri adalah penyair, yang tentu dengan menulis begini sebenarnya hanya memperkecil peluang saya untuk mendapatkan jodoh.
Namun ada hal yang lebih tabu, bahkan mungkin haram untuk dilontarkan kepada penyair daripada sekadar membicarakan kekereannya. Yaitu, kalian silakan saja bertanya soal proses kreatif kepada penyair atau bagaimana caranya mendapatkan ide atau seberapa banyak affair-nya seorang penyair, tapi jangan sekali-kali melontarkan ucapan, “Traktirannya dong!” hanya karena kau tahu puisinya dimuat di sebuah koran, sebab sudah pasti honornya tidak langsung cair dalam sehari, juga jumlah honornya pun tidak akan sebanyak jumlah hasil menjual satu ekor kambing. Atau mungkin malah honornya tidak dicairkan sama sekali oleh koran yang bersangkutan.
Juga jangan pernah bertanya seberapa banyak buku puisinya yang dicetak dan terjual, karena kalau nekad juga bertanya, bisa saja dia menjawab dengan melontarkan angka fantastis: 500.000 eksemplar! (T)