JANGAN bosan-bosan untuk membaca catatan PPL saya. Memang beginilah salah satu cara saya untuk mengasah otak agar tetap berpikiran jernih, dengan cara sibuk membaca buku dan menuliskan hal-hal temuan maupun respon atas suatu kejadian.
Selama saya menjadi mahasiswa praktekan, banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan. Kalau dulu selama KKN saya mendapatkan pelajaran terkait dengan pola-pola pendekatan kepada masyarakat, cara menempatkan diri, sampai merasakan bahwa begitu kompleksnya masalah dalam kehidupan bermasyarakat. Saya juga semakin paham bahwa banyak sekali rupa-rupa manusia di dunia ini. Sedangkan selama PPL, saya lebih banyak mendapatkan ilmu juga pengalaman terkait dengan hal-hal yang berhubungan dengan pengajaran, administrasi sekolah, sampai belajar menjadi seorang calon guru yang bisa memanusiakan seorang peserta didik.
Para pembaca yang budiman…
Selama ini, kalau kita mau jujur, atau paling tidak saya sendiri, rasa-rasanya memang sudah sangat lama kita merindukan sebuah sekolah yang benar-benar bisa memanusiakan anak didiknya.
Kok begitu? Tentu saja, selama ini, menurut pandangan saya yang berdasarkan buku berjudul Learning Metamorphosis: Hebat Gurunya, Dahsyat Muridnya, karya H.D. Iryanto, sekolah hadir lebih banyak sebagai lembaga pembelajaran yang hanya mengedepankan aspek kognitif. Padahal, sebagaimana dikatakan Benyamin S. Bloom, setiap anak didik memiliki bukan hanya ranah kognitif, tetapi juga ranah afektif dan psikomotorik. Penting untuk disadari bahwa dua ranah yang terakhir ini juga perlu dikembangkan. Bahkan sudah banyak buktinya bahwa dua ranah yang terakhir ini justru yang amat menentukan bagi kesuksesan seseorang di dunia kerja (Setidaknya Kurikulum K.13 sudah membahas tentang hal ini, hanya saja, implementasinya sudah apa belum, saya tidak tahu)
Bukti bahwa masih banyak sekolah yang hanya mementingkan aspek kognitif bisa kita lihat bersama. Apresiasi sekolah diberikan hanya kepada murid yang prestasi akademisnya bagus, relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan apresiasi yang diberikan kepada murid yang memiliki prestasi nonakademis. Lebih ironis lagi, masih banyak sekali pandangan dari sebagian pendidik bahwa jurusan tertentu dianggap lebih baik, lebih unggul, lebih favorit dari jurusan yang lain (yang lebih kentara tentu saja perbandingan antara jurusan IPA dan IPS, jurusan IPA dianggap lebih baik daripada jurusan IPS, saya pikir di mana-mana begitu). Akibatnya, perlakuan tidak adil sering dirasakan oleh jurusan yang dianggap favorit tadi.
Begitulah. Bagi saya, sekolah yang hanya mementingkan aspek kognitif saja, sesungguhnya telah mengingkari jati diri sebagai lembaga pengajaran itu sendiri. Seperti kata Ki Hajar Dewantara sendiri, bahwa makna pengajaran dan pendidikan itu berbeda. Pengajaran diartikan sebagai proses mentransfer ilmu pengetahuan dan keterampilan kepada anak didik. Sedangkan pendidikan dimaknai sebagai proses menuntun para murid agar mereka tumbuh menjadi manusia yang selamat dan bahagia, baik di dunia maupun akhirat.
Dalam dunia pendidikan, guru adalah komponen terpenting. Peran dan fungsi guru, untuk melaksanakan proses pembelajaran yang mampu menghasilkan pengembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik secara berimbang. Bobbi DePorter, penulis buku Quantum Learning, bersama Mike Hernacky, bahkan memberikan penggambaran tentang peran dan fungsi guru ini dengan sangat indahnya. Sedangkan dalam buku Learning Metamorphosis: Hebat Gurunya, Dahsyat Muridnya, karya H.D. Iryanto, posisi guru dalam kelas pembelajaran tidak ubahnya seperti seorang konduktor dalam sebuah orkestra. Harmoni dan irama yang indah akan lahir dari para pemain, jika sang konduktor piawai dalam memimpin orkestra.
Pendapat lain datang dari seorang mantan Rektor IKIP Bandung (sekarang Universitas Pendidikan Indonesia), Prof. Dr. Moh. Fakry Gaffar, guru memegang peranan strategis terutama dalam upaya membentuk watak bangsa—melalui pengembangan kepribadian dan nilai-nilai yang diinginkan. Sementara itu, dalam pandangan Dr. Titik Rohanah Hidayati, guru merupakan bagian integral dari sumber daya pendidikan yang sangat menentukan keberhasilan sebuah pendidikan.
Sebagai salah satu subkomponen dalam pendidikan, khususnya komponen pendidikan dan tenaga kependidikan, guru merupakan sebuah kunci dalam meningkatkan mutu pendidikan. Karena itu, posisi guru berada pada titik sentral dari setiap usaha reformasi pendidikan yang diarahkan pada perubahan-perubahan kualitatif.
Mengingat betapa pentingnya peran dan fungsi guru, maka kompetensi guru harus terus dikembangkan dari masa ke masa. Tidak cukup hanya pelajaran-pelajaran di kampus, guru juga harus aktif di dunia keorganisasian, kepemimpinan, dan manajemen tentu saja. Lebih-lebih seorang guru mampu melakukan penelitian terkait dengan permasalahan-permasalahan di dunia pendidikan.
Kemampuan mendidik dan mengajar harus terus diasah, agar bisa menyesuaikan dengan zaman. Kreatif dengan model-model dan metode pembelajaran. Bersahabat dengan anak didik, tidak membeda-bedakan. Kepribadiannya harus terus dimatangkan, agar mampu menjadi figur teladan bagi anak didiknya. Kecakapan sosial dan profesionalitasnya juga harus ditingkatkan, baik di masyarakat maupun di lingkungan sekolah.
Para pembaca yang budiman…
Selama saya menjalankan PPL ini, saya melihat hanya ada beberapa guru saja yang mampu menjadi guru yang elegan. Masih banyak sekali guru yang proses pembelajarannya cenderung monoton dan membosankan. Maih banyak sekali guru yang tidak mampu menggali bakat dan potensi murid. Masih banyak sekali guru yang lebih sering marah ketimbang sabar saat menghadapi murid yang dianggap “nakal” dan “bodoh”. Dan masih banyak sekali guru yang model pembelajarannya hanya terfokus pada pengembangan kecakapan akademis semata dan melupakan kecakapan hidup lainnya.
Dengan kondisi semacam itu, maka tak heran jika banyak sekali siswa yang kurang antusias dalam mengikuti proses pembelajaran. Berbagai hambatan proses pembelajaran pun akan sulit untuk diatasi. Kalau pun ada usaha untuk mengatasi, maka yang dilakukan adalah memberikan hukuman, teguran, dll. Seperti tulisan Prof. Jalaludin Rakhmat dalam sebuah buku berjudul Belajar Cerdas: “Jika Anda punya pesawat televisi yang sudah cukup tua, yang gambarnya kadang muncul kadang tidak, apa yang sering Anda lakukan ketika gambarnya tidak muncul?” hampir semua orang akan menjawab: Digebrak! Sayangnya murid bukan mesin tua.
Celakanya, banyak sekali oknum guru yang main gebrak saja terhadap otak muridnya. Kalau murid mengalami kesulitan belajar atau gagal memahami materi yang diajarkan, para guru dengan serta merta mengebrak muridnya—entah dengan kata-kata, tatapan mata, rauh wajah, atau sikap dan perilaku yang bisa melukai hati murid dan bahkan meruntuhkan kepercayaan diri murid—tanpa melihat, jangan-jangan model pembelajaran yang diterapkannya membosankan? Alih-alih memotivasi, yang terjadi justru sebaliknya, kadang-kadang murid akan jatuh mental belajarnya. Tentu saja tidak semua guru bertindak seperti itu.
Menurut saya pribadi, untuk menciptakan suasana kelas yang menyenangkan, tentu saja dibutuhkan seorang guru yang elegan, profesional, dan tentu saja tidak gila hormat. Saya percaya, seorang guru yang hebat, akan berhasil menjadi insitusi pendidikan yang memberdayaka sekaligus membahagiakan anak ddiknya.
Seperti pendapat Munif Chatib dalam buku Sekolahnya Manusia, ia menuliskan: “ Membangun sekolah, hakikatnya, adalah membangun keunggulan sumberdaya manusia. Sayangnya, banyak sekolah yang sadar atau tidak malah membunuh banyak potensi siswa-siswa didiknya. Sebab setelah diteliti, banyak sekali sekolah di negeri ini yang berpredikat “Sekolah Robot”; mulai dari proses pembelajaran, target keberhasilan sekolah, sampai pada sistem penilainya. Kalau sudah seperti ini, sekolah bukannya mengembangkan potensi anak didik, melainkan justru mengerdilkannya.”
Bagaimana komentar Anda? Bisakah kita menjadi seorang guru yang bisa memanusiakan anak didik kita? Selamat bekerja, Bapak/Ibu Guru. Adillah sejak dalam pikiran. Sebab tugas manusia adalah menjadi manusia, dan tentu saja mampu memanusiakan manusia. (T)