BEBERAPA hari yang lalu, tepatnya tangga 10 Februari 2018, media sosial digegerkan dengan gambar seorang pria bersimpah darah. Tergeletak di lantai. Gambar itu membuat banyak orang ngeri. Awalnya banyak yang mengira kecelakaan lalu lintas, namun setelah meneliti beritanya, terungkap bahwa gambar itu adalah korban perkelahian, yang terjadi di sebuah tempat. Lebih jauh dikatakan bahwa perkelahian itu dilatar belakangi perseteruan yang berawal dari arena tajen atau sabung ayam.
Memebaca berita itu, tergelitik hati untuk mengetahui eksistensi tajen, yang merupakan salah satu budaya yang hidup di masyarakat Bali ini. Bagaimanakah kabarnya tajen di zaman now ini? Adakah ia masih eksis, atau sudah mulai memudar tergilas kemajuan zaman modern?
Terlebih setelah membaca berita itu, seorang kawan lama datang berkunjung. Tambah kaget lagi setelah kutanya profesinya sekarang, ia jawab bahwa ia sekarang “ manager operasional“ di sebuah arena tajen yang cukup terkenal di Bali selatan, yang notabene adalah jantung pariwisata dan pusat ekonomi di Bali.
“ Wow” kataku membatin karena surprise.
Setelah kusuguhi minum, percakapan kami pun mengalir. Ia bercerita bahwa keluarganya yang ada di Karangasem sudah ia boyong semua ke Denpasar, karena desanya terkena dampak erupsi Gunung Agung. Mereka semua ia ajak bekerja berdagang di areal tajen, menjual berbagai kebutuhan bebotoh dan penggemar tajen, seperti makan dan kopi, juga lumpia yang menjadi kesukaan banyak orang.
Katanya tajen yang ia kelola buka setiap hari pagi dan sore, kecuali hujan seperti hari-hari ini. Sengaja tak kusinggung berita yang tadi kubaca, karena aku merasa perkelahian bisa terjadi di mana saja, tak elok mengatakan bahwa tajen membuat orang saling bunuh dan melakukan tindak kriminal.
Tindak kriminal bisa dilakukan siapa saja dan dimana saja, apalagi di zaman modern yang komplek dan multi dimensi seperti saat ini. Tak elok dan tak adil selalu mengkai-kaitkan tajen dengan kejahatan. Jikapun ada korelasi antara tajen dengan tingkat kejahatan, biarlah itu menjadi urusan penegak hukum saja.
Dengan penasaran kutanya, bagaimana dia bisa menggelar tajen yang sampai hari ini amsih dianggap melanggar hukum itu dengan begitu “aman”? Ia menjawab dengan enteng.
Bahwa ia selalu menyiapkan “uang pengamanan”. Besarannya tak tanggung-tanggung: 30 juta per hari. Uang itu dibagi sesuai prosedur. Ada yang “resmi” ada yang “tak resmi”.
“Wow” kataku lagi dalam hati.
Ia sudah pernah masuk penjara tiga kali, bukan karena apa. “Hanya untuk formalitas”, katanya. Tahulah, apa arti “formalitas”.
Ingatanku kembali melayang beberapa tahun lalu ada perdebatan tentang perda tajen, saya berpikir alangkah baiknya issue ini dimunculkan lagi saja. Atau mumpung masa pilkada seperti ini, siapa tahu ada calon gubernur atau bupati yang memiliki visi tentang hal ini, lalu mengangkatnya lagi ke permukaaan, siapa tahu idenya bisa bersambut dan idenya bisa mendulang suara dari kalangan akar rumput.
Kalau dipikir, tajen sebagai bagian dari kehidupan masyarakat kita, yang keberadaanya ada tapi tidak mendapat mengakuan, seperti anak haram yang tak diakui orang tuanya. Sungguh kasihan bener nasibnya.
Ia disanjung karena mengandung kearifan lokal, sekaligus dikutuk oleh Negara karena dikatakan sumber perbuatan jahat dan melanggar undang-undang, khususnya KUHP pasal 33 tentang perjudian. Ia ada, dan dijadikan nafas kehidupan, mata pencaharian sebagaian orang, namun keberadaanya dinafikan karena dianggap tidak etis dan tidak beradab, walau diam-diam uangnya dinikmati aparat dari kelas bawah hingga kelas atas.
Jika kita peduli budaya Bali, harus ada keberanian dari para calon pemimpin. Harus ada terobosan. Tajen statusnya harus jelas, dilarang atau dilegalkan. Tidak seperti sekarang, antara ada dan tiada. Atau tutup mata dan menggunakan jurus ampuh; pura-pura tidak tahu atau main aman saja.
Dengan membiarkan status yang tidak jelas, kita seperti membuat celah kelemahan kita sendiri, yang mana celah kecil itu bisa menjadi lubang besar yang mengadung api dalam sekam.
Jika ditelisik dari segi ekonomi, uang tajen jika dikelola dengan baik, “uang pengamanan” yang nilainya dapat mencapai 30 juta per hari, berarti jika dijumlahkan dalam satu bulan, nilainya hampir 1 miliar. Uang sebesar itu bisa untuk membangun sekolah atau menyekolahkan anak hingga ke perguruan tinggi, satu orang dalam satu bulan. Namun kita juga harus berhitung sisi yang lain, yakni sosio religius. Bagaimana dampak legalisasi itu terhadap mental generasi muda, misalnya. Tentu banyak aspek harus di perhitungkan, dan itu menjadi tugas calon pemimpin untuk menimbang semua itu.
“Ah… itu kan di atas kertas”, cepat-cepat kusingkirkan pikiran itu. Mana sih ada orang yang mau bersusah payah dengan “hal Kecil“ seperti itu. Apalagi ia calon gubernur atau bupati. Paling-paling mereka akan berkata; “Urusan nasib rakyat jelata biarlah menjadi nasibnya saja”. (T)