INI adalah kebebasan dalam berekspresi yang dituangkan dalam berbagai bentuk. Letupan pergolakan emosi dipecahkan dalam ranah seni. Mural salah satunya.
Tapi tatkala mendengar bahkan melihat seni mural, sedikit bikin mengkerut dahi, saat mengingat masa-masa kelam kebebasan berekspresi. Dulu, seni mural tak mudah diterima, bahkan kadang dilarang keras.
Musim berganti, seni melukis di ruang publik yang kosong perlahan diterima. Seni mural tidak hanya bercumbu pada tema satu sisi “perlawanan”, tapi berkembang dengan situasi yang ada, misalnya menjadi semacam suguhan keindahan yang bisa dinikmati mata dan hati.
Batumulapan, khususnya Majuh Kauh, melahirkan seniman setengah gila bernama Putu Bonuz, yang sudah melanglang buana dalam kancah senirupa, Kini muncul adiknya yang “saraf” sebagai perupa mural. Namanya I Ketut Sumadi.
Sumadi berbakat semenjak kecil. Ia lahir di daerah trasmigrasi bernama Desa Lunyuk, Sumbawa, NTB. Tema-tema yang disajikan lebih inovatif bahkan jenaka. Pada dasarnya Sumadi berkesenian tanpa mengeyam pendidikan seni rupa formal. Bakat alam mengalir terbentuk dari lingkungan dan keluarga. Sampai saat ini, dia totalitas hidup dipertaruhkan pada seni lukis.
Berawal dari melukis tradisional di atas kertas sampai pada fase melukis modern di atas kanvas, dan kini merambah ke seni rupa mural. Beberapa poject mural villa di Jimbaran dan Kuta serta di beberapa tempat lainnya. Dan Nusa Penida sekarang lagi dalam proses pembangunan dalam pengembangan pariwisata, yang juga tak luput dari muralnya Sumadi. Dalam waktu dekat ini Sumadi akan melukis mural di sebuah apartemen di Singapore dan villa di pulau Komodo.
Kantor pelayanan publik yang natobene pusat pemerintahan Nusa Penida agar terlihat familiar, Kantor Camat Nusa Penida pun di-“hidup”-kan mural garapannya. Sumadi berharap mural bisa diterima dihati masyarakat Nusa Penida, untuk mempercantik lingkungan bisa juga menjadi ajang selfie wisatawan apalagi jika dinding pasar Mentigi di mural dengan tema-tema berkaitan dengan bahari, ini akan lebih menarik, dinding pasar tidak mubasir atau menjadi dinding “mati” tanpa makna.(T)