BAGI yang suka kuliner malam, tentu sudah akrab dengan gorengan yang bisa dengan mudah kita temui di pinggir jalan. Apalagi jika kamu ada di kota besar, hampir setiap 100 meter bisa kamu temui dagangan satu ini.
Pertanyaannya kemudian, mana yang paling pas buatmu di antara gorengan? Buat saya pribadi, pisang goreng yang paling pas. Lah kok bisa? Ya iya, pisang goreng kadar minyaknya paling sedikit, buah pula, juga termasuk jajanan yang mengenyangkan. Terlebih kalau di sebelahmu ada kopi, pas sekali bukan?
Hanya saja jika kamu beli pisang goreng di tempat lain, kemudian kamu pergi ke Flores mencari jajanan yang sama, akan terasa bedanya. Bukan serta merta soal rasa, tapi tentang apa yang bisa kamu dapat selain beli pisang.
Selama saya di Bali, bisa dibilang membeli pisang goreng atau akrab dikenal “godoh” merupakan rutinitas. Kendati penjual pisang goreng itu banyak, bukan perkara gampang untuk mendapatkan pisang goreng yang pas di mulut. Kamu harus coba dari satu tempat ke tempat lain, ikuti saran teman yang lebih berpengalaman, sampai harus melihat caranya menggoreng agar yakin bahwa jenis pisangnya adalah yang enak dimakan.
Ketika saya harus pindah bekerja ke Flores, teknik itu tidak berlaku. Memang sih, banyak penjual jajanan ini yang berasal dari luar daerah Flores. Tapi apa serunya kalau beli di sana? Maka saya coba ke penjual yang asli penduduk di sini.
Jika di Bali saya harus mencoba dari satu tempat ke tempat lain, tidak dengan di sini. Keadaan penduduk yang lebih senang hidup di desa-desa atau perkampungan berimbas pada keterbatasan jumlah penjual. Tapi jangan salah, kamu tidak akan takut mencoba pisang goreng di sini. Dalam bahasa masyarakat lokal, mereka menyebutnya “Muku Ego”
Di Bali atau mungkin di daerah lain, terutama di perkotaan, rasanya lumrah jika kita lihat pisang goreng dimasak dengan minyak bekas yang disuling dan dipakai lagi untuk menggoreng. Kamu juga belum tentu tahu jenis pisang yang dimasak. Di Flores? Jangan harap lihat hal begitu.
Entah karena belum tahu tentang teknik menyuling atau memang enggan, namun sepanjang yang saya lihat belum pernah ada yang menggunakan minyak bekas untuk menggoreng di sini. Kotor sedikit ya ganti, minyaknya berkurang ya tambah. Makanya rasa pisang goreng di sini terasa lebih gurih. Belum lagi kamu bisa lihat dagangnya petik pisang langsung dari pekarangan rumah.
Tapi lebih dari itu semua, ini tentang apa yang bisa kamu dapat dari sang penjual. Banyak dari penjual yang berusaha mendekatkan diri dengan pelanggannya. Dalam prinsip bisnis, itu hal menguntungkan. Politiknya kurang lebih seperti ini, penjual mengajakmu berbincang singkat, mengakrabkan diri, memberimu ekstra pisang goreng dengan harapan besok kamu akan datang lagi membeli di tempat ia berdagang.
Berbeda dengan pisang goreng yang saya beli di sini. Suatu ketika saya pulang kantor lebih sore dari biasanya karena beberapa urusan. Perjalanan pulang, saya disapa oleh seorang oma yang biasa berjualan pisang goreng di pinggir jalan. Saya pernah bertemu dengannya hanya sekali ketika suatu kali saya pergi ke pasar. Namun agaknya oma mengingat saya dengan baik. Dijabatnya tangan saya penuh hangat sambil menawarkan duduk.
Dalam tenda kecil tempatnya berjualan, Beliau ngaku kangen bercengkrama dengan saya, katanya sih krena saya mampu membuat oma tertawa lepas ketika pertama bertemu. Kami pun duduk-duduk bercengkrama lagi.
Saya pesan secangkir kopi hitam lengkap dengan pisang goreng dalam piring kecil. Kendati cuaca mulai hujan, hangatnya obrolan terus terjaga. Oma Bercerita hal-hal kecil sampai yang pribadi seperti satu dari enam anaknya yang telah berpulang, Dua di antaranya harus bekerja ke Kalimantan di bidang perminyakan dan batu bara.
Oma mengaku kadang kesepian karena harus tinggal berdua. Kepada saya ia juga menyampaikan doa yang sering ia ucap dalam hatinya. Ia baru akan tenang untuk dipanggil Tuhan jika ia sudah melihat anaknya yang di rantauan kembali beserta dengan anak istri. Oma hanya ingin lihat cucu. Saya pun memotong pembicaraan.”Tidak boleh berbicara begitu Oma, nikmati hari ini sambil berharap terbaik untuk hari esok.” Oma hanya tersenyum.
Oma ajak saya berkeliling rumahnya sambil mengatakan betapa syukurnya dia mampu membuat rumah sampai dengan kondisinya saat ini. sambil keliling, eh saya lihat ada tanaman labu siam di rumah. seperti tidak tahu malu, saya bilang, “Oma boleh minta itu labu?” Tanpa babibu oma langsung terjun petikkan sendiri, cucikan buah itu untuk saya bawa pulang.
Buat saya, oma keren sekali karena berjualan bukan hanya cari untung, tapi juga cari teman bicara dari hati ke hati. Oma adalah seorang penjual yang memberikan nasehat kecil nan bermanfaat bagi pelanggannya, katakan misalnya hati-hati di jalan, rajin belajar, jangan keluar sampai malam selayaknya orang tua pada anak.
Saya bukan langganan oma, tapi oma memperlakukan saya lebih dari pelanggan terbaik. Ada rasa yang jauh lebih enak dari sekadar makan pisang goreng ditemani secangkir kopi. Rasa kedekatan emosional, rasa kesederhanaan hati yang membekas. Bagaimana dengan penjual pisang goreng langgananmu? (T)