SAYA senang melihat teman saya, Gde Suardana, mantan wartawan yang kini jadi Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Buleleng, meraih gelar doktor. Itu saya ketahui setelah foto-fotonya tersebar di facebook usai dinyatakan lulus dalam ujian terbuka Program Studi Doktor Kajian Budaya Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unud di Ruang Ir. Soekarno, kampus setempat, Rabu, 31 Januari 2018.
Gde Suardana berhasil mempertahankan disertasi berjudul “Analisis Komodifikasi Seni Pertunjukan Pariwisata Bali Agung – The Legend of Balinese Goddesses” setelah dikurung 8 penguji kelas kakap. Ia pun dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan.
Dr. Gde Suardana, begitulah sebutannya kini. Saya senang mendengarnya. Tapi tak habis pikir juga saya, kenapa teman saya itu mau sibuk-sibuk meraih gelar doktor? Apa untungnya bagi dia?
Jika dia jadi pegawai negeri di lembaga pemerintah, misalnya jadi dosen di perguruan tinggi, tentu tak perlu dipikir. Gelar doktornya mungkin bisa mendongkrak pangkat dan jabatan atau mengelembungkan isi kantong karena gaji plus tunjangan bisa nambah.
Seorang dosen misalnya, bisa dimaklumi kenapa sibuk pontang-panting urus ini-itu agar segera raih doktor atau professor, meski mungkin disertasi dan penelitiannya entah ke mana, entah berguna atau tidak, setelah lulus dan gelar di tangan. Karena dampak dari gelar itu sungguhlah menakjubkan, mungkin menakjubkan dalam hal “berpendapat” dan tentu juga dalam hal “pendapatan”.
Tapi ini, teman saya ini, adalah Ketua KPU. Tak ada syarat seorang Ketua KPU harus doktor. Dan kalau seorang komisioner tiba-tiba raih doktor, tak ada pengaruh apa-apa. Tunjangan material yang masuk kantong tetap akan segitu-segitu saja sebagaimana awal mulanya.
Saya pikir lagi, mungkin setelah pensiun dari kursi KPU, teman saya itu akan loncat cari kursi di gelangang politik, misalnya dengan jadi calon legislatif (caleg), sebagaimana banyak dilakukan mantan komisioner KPU di Indonesia. Tapi syarat seorang caleg tak harus doktor. Tamat SMA saja sudah cukup, meski izasahnya hanya “kejar paket”.
Dan tak ada jaminan seorang caleg yang doktor bisa mendapatkan suara lebih banyak dari caleg yang kejar paket. Dulu, saya tahu, bahkan ada seorang caleg terpilih dengan suara cukup besar, padahal sehari-hari masuk sekolah di arena tajen. Tapi ia punya “teman sekolah” yang sangat banyak. Teman-temannya itulah yang memilih dia.
Jika ia misalnya ingin loncat jadi dosen di perguruan tinggi, mungkin bisa saja. Tapi tampaknya cukup ribet karena pendidikan teman saya itu tak begitu linier. S1-nya matematika, tapi doktornya kajian budaya. Dia mau ngampu mata kuliah apa?
Bicara pendidikan, teman saya ini memang cukup kacau. Tamat S1 pendidikan matematika di Undiksha Singaraja ia justru jadi wartawan, berawal di Nusa Bali, berakhir di detik.com. Ia kemudian jadi pengusaha dengan membuka toko buah dan tempat ngejus yang kini sangat ngetrend di Singaraja. Di tengah kesibukan ngurus toko buah, ia melaju jadi Ketua KPU Buleleng, salah satu tugasnya mengurus orang-orang yang hobi jadi caleg.
Di tengah angin politik yang tak menentu, kadang adem kadang ngelinus, kadang diterpa demo massa, ia juga berkutat dengan penelitian disertasi. Eh, penelitiannya tak berkaitan dengan pekerjaannya sehari-hari. Ia meneliti sejarah, tradisi lisan, seni pertunjukan yang dikaitkan dengan pariwisata Bali. Semua itu dikaji dengan teori komodifikasi, semiotika, dan ideologi pariwisata budaya.
Tak habis pikir saya, betapa kacau hidup teman saya itu. Betapa bingung saraf dan otaknya saat sehari-hari ia bangun pagi.
Mencintai Pengetahuan
Senin malam, 5 Februari 2018, beberapa hari setelah namanya berisi Dr., saya ngobrol dengan Gde Suardana di Apple Mart, tempat ngejus miliknya. Ia ingin membukukan disertasinya dan saya (sesungguhnya tanpa diminta) bersedia jadi editornya. Biar pernah jadi editor seorang Doktor.
Dari obrolan itu saya paham, teman saya itu ternyata punya ambisi besar dalam mengembangkan dunia pendidikan, terutama pendidikan di luar lembaga-lembaga formal. Ia berminat pada tradisi lisan awalnya karena rasa cintanya pada cerita-cerita lisan, dan ia ingin menghidupkan tradisi itu sebagai bagian dari pendidikan untuk anak-anak.
Namun dalam disertasinya ia mengkaitkan tradisi lisan dengan komodifikasi pariwisata. Ini dilakukan karena ia juga ingin member sumbangan kepada pengembangan pariwisata budaya di Bali. Jadi, sungguh banyaklah keinginan dia, yang jika disimpulkan semua itu semata karena keinginan dia mengembangkan ilmu pengetahuan, tanpa penting dapat tunjangan atau tidak.
“Dengan disertasi ini, dan apa yang saya lakukan ini, saya ingin banyak orang mendapatkan inspirasi. Inspirasi untuk membangun tradisi lisan, inspirasi untuk mengelola pariwisata budaya, dan inspirasi untuk melanjutkan penelitian ini dengan lebih lengkap,” kata dia.
Gde Suardana meneliti tentang seni pertunjukan Bali Agung – The Legend of Balinese Goddesses yang dipentaskan secara reguler di Bali Safari and Marine Park, Gianyar, Bali. Itu adalah seni pertunjukan pariwisata. Lakon yang dikisahkan diambil dari mitos Raja Jayapangus dengan permaisuri putri Cina Kang Cing Wie.
Seni pertunjukan pariwisata itu mengandung banyak unsur yang selama ini dipelajari orang Bali dan akan terus dipelajari, misalnya tentang sejarah Kerajaan Bali dan Raja Jayapangus serta mitos yang berkembang dan mewarnai tradisi lisan di Bali.
Di situ juga bisa dipelajari tentang adanya akulturasi. Karena menurut Gde Suardana, seni pertunjukan yang dipentaskan di Bali Safari and Marine Park itu adalah seni pertunjukan hybrid. campuran unsur kesenian Bali dan Cina. Unsur Cina tampak dari tata busana Kang Cing Wie dan tokoh cerita lain berlatar Cina serta tata warna dominan merah yang merupakan warna-warni identitas Cina. Unsur percampuran tidak saja dari seni Bali dan Cina tetapi juga unsur teater modern Barat seperti tampak dari tata lampu, tata musik, dan tentu saja tata panggung.
Prof. I Nyoman Darma Putra mengatakan disertasi Gde Suardana memberikan kontribusi dalam kajian atas seni pertunjukan pariwisata dalam konteks pariwisata budaya yang dilakukan peneliti sebelumnya seperti Miche Picard (1980-an).
Picard menyampaikan bahwa pariwisata budaya (cultural tourism) dan budaya pariwisata (touristik culture) bukan dua hal yang berbeda karena orang Bali melihat keduanya menyatu dalam pengembangan pariwisata dan pengembangan budaya. Sejak penelitian Picard, dan sejak hadirnya Bali Agung, kajian substantif pertunjukan turistik belum pernah dilaksanakan.
Setelah mendapat penjelasan dari Gde Suardana dan Prof. Darma Putra saya kini manggut-manggut. Tapi tetap tak habis pikir, kenapa justru Gde Suardana yang melakukan itu, kenapa bukan teman-teman saya yang lain, misalnya teman yang selama ini memang digaji untuk melakukan hal-hal seperti itu? Seperti itu, apa? Ah, sudahlah… (T)