MIMPI. Lima huruf yang tak aku mengerti. Mimpi. Dunia yang tak nyata, dimensi lain dari kehidupan. Tapi perasaan tetap berguna di dalamnya. Haus. Tiba-tiba saja aku haus. Tenggorokanku kering. Kenapa? Kenapa mimpi membikin haus? Padahal berkeringat saja tidak?
Di luar. Suara itu mengambang. Seperti suara-suara pagi yang lalu. Tetanggaku, seorang ibu paruh baya sudah begitu semangat menyapu halaman dan menyirami tanaman. Daun-daun kamboja kering bertebaran di halamannya adalah pernyataan untuk minta dibersihkan. Kemudian wajah ibu melintas. Ibuku di kampung. Sedang apa ibu sekarang?
Mengingat ibu berarti mengingat semua tentantangnya—termasuk juga apa yang ia katakan: hidup adalah tentang memburu kebahagiaan. Akan tetapi, bagiku, itu akan sulit. Kau tahu kenapa? Itu sebab kebahagiaan bagiku adalah bersamamu, gadis yang bagi ibuku: sederhana dalam bicara dan tingkah laku. Malu tapi sebenarnya mau. Sok bisa melakukan apa-apa sendiri tapi sebenarnya manja. Itu bagi ibuku.
Sedangkan bagiku, kamu adalah belut, licin dan gesit. Dan aku bagaikan nelayan yang datang dengan tangan kosong untuk menangkapmu. Kuharap kau tidak berubah menjadi duyung yang dalam sekejap sudah memiliki pangeran pendamping. Namun, taukah kau mengapa aku begitu gencar mencintaimu? Ya, karena kamu adalah semangkok Indomie yang datang dikala aku lapar dan pertama kali suapan, kuahnya nyiprat ke mata. Kamu adalah kopi yang kuteguk dikala hujan—yang kata orang hujan itu 1 % cairan dan 99 % kenangan—begitu menghangatkan tubuhku. Tanpamu aku merasa kelaparan dan kedinginan.
Pernah suatu hari, kau melihatku dan aku melihatmu. Mata kita satu jalur, bertatapan. Pedar cahaya itu menerpa pipimu, lalu mataku merekam momen itu, kemudian otakku merespon. Di saat itu, aku jatuh cinta kepadamu, wanita yang sederhana, kata ibuku. Tidak berhenti di situ, bayanganmu mengikutiku. Orang-orang heran, kenapa bisa aku mempunyai dua bayangan, dan itu berbeda. Mereka tidak tahu, itulah tanda-tanda orang jatuh cinta. Sepantasnya mereka tahu, agar mereka merasakannya juga.
***
Segelas air putih kuminum sekali teguk, tandas. Itu sebab aku kehausan. Bukan sebab aku habis olahraga. Perihal aku minun, sebab aku memutuskan berhenti untuk mengejarmu—seperti sebuah lagu, ‘semakin kukejar, semakin kau jauh. Tak pernah letih…’ tidak, aku benar-benar letih—ya, aku berhenti.
Dua laki-laki baik itu rupanya juga mendekatimu. Apalah aku jika bersaing dengan mereka. Tak bisa. Aku bakal kalah saing. Maka, dengan berat hati aku memutuskan, aku berhenti untuk mengagumimu. Dan aku mulai berharap, jika memang kau tulang rusukku, maka kau akan kembali pada tubuh ini. Nah, dalam berharap pun, bisa-bisanya aku masih mengutip lirik sebuah lagu. Aku memang tak pantas untuk bersamamu.
Kau tahu, tak ada yang lebih sakit daripada mengalah berjuang untuk mendapatkan gadis pujaannya. Dan aku, mengalah sebab kedua laki-laki itu temanku sendiri. Kau harus tahu itu. Sebenarnya, kalau aku boleh sombong, aku masih sanggup untuk bersaing dengan mereka. Tapi apa gunanya aku mendapatkanmu dengan cara menyakiti hati orang lain. Biar. Biar aku saja yang sakit, mereka jangan.
***
Ada malam-malam yang aku harus jalani sendiri. Seperti kebiasaanku, melihat bintang dan memberinya nama satu-satu. Itu, bintang yang paling terlihat besar dan paling terang bercahaya, kau tahu, aku memanggilnya percis ketika aku memanggilmu. Hadirnya bintang itu, menandakan bahwa sebenarnya dunia ini hanya sebuah kegelapan. Seperti lampu neon di kamar kontrakanku yang sudah mulai redup.
Entah. Aku pikir, lampu noen itu seperti manusia, punya kehidupan: ada kalanya semangat bersinar dan ada kalanya tidak semangat bersinar. Rak buku, lemari plastik warna biru, buku-buku, jendela yang menatap iba dan tak terbuka, pintu yang sendari tadi menolak untuk menutup, baju berserakan, adalah bukti kekalahanku.
Tentang kamu dan gagalnya dua lelaki yang mendekatimu. Bodoh, sial. Rupanya dua lelaki itu kandas sebelum memilikimu. Penyesalan memang datang belakangan. Kenapa aku tidak menolak tatkala sebelum aku memutuskan untuk berhenti. Bajingan betul perasaanku waktu itu.
Perihal aku saat ini: kalah untuk kedua kalinya. Dua lelaki itu sirna. Seorang lelaki datang lagi padamu disaat aku mulai merancang, mereka-reka dan mencipta untuk kembali mengagumimu lagi. Sialan betul. Padahal, aku sudah mulai kembali meneruskan sketsa wajahmu yang sempat terbengkalai dalam otakku di kala respon pertama kali tatapan kita satu jurusan.
Di himpunan, ada kenangan yang mengambang. Tepat di samping ruangan di mana aku menyimpan nama kedua orangtuaku. Namamu. Tertulis dan tersimpan rapi di sana. Ada air mengalir di sana, airnya bagus. Bagiku sendiri, itu adalah air yang paling menyegarkan di dunia ini. Ya, itulah yang orang sebut: kebahagiaan. Dan kebahagiaan itu adalah kamu.
Perkah kau mencoba melihatku di sini waktu itu? pertanyaan yang aku tanyakan kepada diriku sendiri. Mulutku seperti terkunci ketika aku sudah berada di depanmu. Aku ingin mengumpat. Menyumpah serapahi diriku sendiri. Aku betul-betul hina. Bagaimana mungkin aku kembali mengatakan, aku berhenti untuk mengagumimu. Yang kedua kalinya. Cukup. Entahlah. Seseorang yang mendekatimu saat ini juga temanku juga. Seperti yang sudah tertulis, sebenarnya, kalau aku boleh sombong, aku masih sanggup untuk bersaing dengan mereka.
Tapi apa gunanya aku mendapatkanmu dengan cara menyakiti hati orang lain. Biar. Biar aku saja yang sakit, mereka jangan. Dan aku kembali berharap, jika memang kau tulang rusukku, maka kau akan kembali pada tubuh ini. Nah, dalam berharap pun, bisa-bisanya aku masih mengutip lirik sebuah lagu. Aku memang tak pantas untuk bersamamu.
***
Tetanggaku, ibu paruh baya itu, masih menyapu halamannya. Suara sabu lidinya masih mengambang. Bayangan ibu masih terlihat di sana. Tapat. Seperti merasuki ibu paruh baya itu. Dan di sana, bayanganmu pula terlihat jua. Kau, gadis sederhana, kata ibuku. Saat ini tak capek aku untuk mengejarmu. Sebab, kau sudah ada di pelukanku. Tinggal aku dan kamu membangun konsisten. Mau sampai mana dan mau dibawa kemana hubungan kita—maaf, Om Armada, aku kutip bentar, demi kekasihku.
Sekarang, bintang yang paling besar dan paling bersinar terang itu benar-benar kupanggil namamu. Dengan lantang. Jujur. Bangga. Sebab, kau memang memilihku dari sekian banyak yang mendekatimu. Entah karena apa. Cinta tak butuh alasan, cinta lebih butuh balasan, katamu.
Apakah kau tahu, mengapa ikan-ikan di lautan tidak merasa kedinginan bahkan tanpa sehelai benang pun yang menutupi kulitnya? Ya, mereka kuat bertahan seperti itu karena semuanya di dasari yang namanya keyakinan. Rambutmu meyakinkan, alismu, matamu, pipimu, bibirmu, semua tentangmu telah meyakinkanku, membawaku ke alam lamunan dan mengurungku di sana. Kamu adalah perpaduan wanita-wanita tercantik di dunia. Di satu sisi aku menyebutmu Cleopatra, bukan. Sebab, di sisi lain, ternyata kau lebih mirip Drupadi, ah… tidak. Sepertinya kau lebih pantas aku panggil Srikandi. Sial, tidak juga. Ah… benar, kau memang perpaduan antara mereka.
Kau, kekasihku. Yang aku dapatkan dengan sungguh-sungguh. Kaulah satu-satunya. Dari beribu bintang yang bersinar, tapi hanya kaulah yang paling terang. Namun sayang, cintaku padamu tidak membutuhkan suatu sebab—mau bersinar atau tidak—ia terjadi begitu saja.
Mendapatkanmu bukan hanya perihal bahagia saja ternyata, ketakutan juga hadir bersamanya. Aku menggigil, gemetar, dan dihadapkan pada ketakutan luar biasa: kehilanganmu. Ya, membiarkanmu hilang adalah suatu kebodohan yang nyata. Mungkin, jika tidak ada keinginan melihatmu esok hari, aku mati sekarang juga. kekasihku, tetaplah bersinar, walau mentari telah mengalahkanmu. Sebab, bintang itulah kekasihku. (T)