HARI itu, Jumat, 2 Februari 2018, petang hingga malam, di Cush Cush Gallery, di Gang Rajawali, Jalan Teuku Umar Denpasar, satu rangkaian pertunjukan seperti membiarkan kita jalan-jalan ke rasa rindu sebagai kesenangan seorang anak-anak yang menarik untuk diceritakan.
Bagaimana tidak. Seorang arsitek kelahiran Jakarta, Ninus atau Adhika Annissa yang juga giat mengasah keterampilannya sebagai penari otodidak, bersama Monez, seorang seniman Bali dengan karya illustrator dan karakter monsternya, berhasil memboyong imajinasi penonton ke capaian itu.
Pertunjukan “Sang Kala”, dari Monez Ninus & Papermoon Puppet, rikala sandia kala di Cush Cush Gallery dalam program Play-play Charity Performance, rasanya seperti mengajak saya beragirah untuk pulang ke dongeng-dongeng milik kompyang, ke ketakutan-ketakutan yang tulus dan jujur. Sebagai anak-anak, sebagai pikiran-pikiran yang terbujuk cerita.
Play-play Charity Performance merupakan salah satu rangkaian acara Charcoal For Children yang berlangsung sejak 2017 hingga 2018. Acara tersebut kemudian berhasil menampilkan sajian pementasan proses kolaborasi beberapa artis dan seniman Bali, Yogya, bahkan Tokyo.
Dalam “Sang Kala”, dengan berlatar belakang mitos masyarakat Bali, seniman dan artis, Monez-Ninus, mengisahkan seorang gadis kecil yang tersesat dalam waktu, dalam ketakutan atas ruang yang asing. Ruang itu memberi ia hal-hal menakjubkan. Kunang-kunang yang lebih terang dan gemerlap, gunug dan rambahan cahaya yang lebih mewah dari hari-hari biasa.
Gadis kecil itu lena pada waktu, pada kesadaranya untuk kembali. Hal-hal menakjubkan berubah jadi kengerian, monster-monster kecil, ruang-uang kosong tak berpintu, menjagakan ia yang tengah terperangkap di dimensi monster. Dimensi yang dihuni monster-monster waktu.
Boleh saja panggung yang disediakan malam itu sangat teatrikal, tetapi keberhasilan Mones dan Ninuz adalah menghancurkan batasan, bahwa apa yang penonton lihat malam itu adalah kenyataan bukan tontonan. Sutradara mampu membuat penonton masuk dalam ruang khayal cerita yang ingin disampaikan.
Penonton dibuat terpukau. Dalam setiap adegan pertunjukan, pemain terus menggiring penonton untuk tetap fokus. Pada setiap momen yang dihadirkan, penonton selalu dibuat penasaran, seperti perasaan seorang anak kecil yang penasaran pada cerita orang tua mereka tentang wong samar.
Saya ingat betul bagaimana pikiran saya mengontruksi cerita orang-orang tua tentang medi atau wong samar. Masyarakat Bali meyakini bahwa, pada waktu-waktu tertentu seorang anak dilarang untuk bepergian ke luar rumah atau ke tempat tertentu. Sebab, itu adalah jatah waktu bagi segala yang tidak terlihat melakukan aktivitas, batas antara alam manusia dan alam bawah terbuka tanpa pintu yang dapat memerangkap siapa saja.
Ketakjuban dan ketakutan itulah yang kemudian ada dalam pertunjukan. Bentuk takjub dan takut yang dimiliki anak-anak disimbulkan dalam adegan tari yang dimainkan Ninus dan beberapa anak-anak.
Tarian itu menggambarkan keasikan anak kecil yang bermain hingga lupa waktu dan tidak menyadari bahwa ia sudah berada dalam dimensi yang berbeda. Ninus sebagai anak kecil yang tersesat dan anak-anak kecil sebagai monster di dimensi monster. Bentuk penggambaran peristiwa itu juga disertai beberapa visual digital oleh Monez, seperti nenampilkan gambar phonon, perbukitan, dan monster yang berwarna-warni.
Hal ini cukup berbeda dari beberapa usaha kawan teater untuk mengadakan penonton menjadi bagian dari pertunjukan. Jika kecenderungan usaha beberapa kawan teater adalah dengan cara melakukan komunikasi dan persentuhan langsung dengan penonton, Monez dan Ninus meniadakan hal itu dan lebih memilih melibatkan penonton secara visual saja.
Baik disadari atau tidak oleh Monez dan Ninus, pertunjukan yang mereka lakukan bagi saya pribadi adalah pertunjukan yang menyerang kepala dan perasaan penontonnya.
Tetapi kemudian ini menjadi kecurigaan dalam diri saya yang mungkin sedang lelah-lelahnya pada pertunjukan yang melulu mengharuskan saya berpikir. Maksudnya adalah, pertunjukan yang setiap bagiannya selalu meminta pikiran kita terus bertanya, apa sih yang mereka lakukan, kenapa ya mereka melakukan itu, atau yang paling sederhana mereka yang mentas mau ngomongin atau cerita apa ya?
Bayangkan kemudian jika dalam menonton, hal itu terus terjadi dalam pikiran, betapa ensensi menonton itu menjadi hilang. Tidak ada kenikmatan yang terekam selain pertanyaan-pertanyaaan.
Kecurigan lainnya bisa saja kemasan “Sangkala” oleh Mones dan Ninus adalah kecenderungan keinginan yang kita miliki. Kecenderungan yang menyukai hal indah dan ringan (mudah). Tetapi sekali lagi ini masih kecurigaan saya tentang cara mengadakan diri dalam pertunjukan. (T)