BERTEATER, bila dimaknai seputar belajar akting (aktor), penyutradaraan, dan perangkat produksi lainnya, posisi saya di Teater Kalangan, sungguh berada dalam kejelasan yang tak jelas. Soal menjadi sutradara? Ya, kalau mau bikin pentas yang amburadul, saya jagonya! Apalagi menjadi aktor!
Membuat pertunjukan yang begitu dramatis terasa konyol, saya cukup berpotensi! Tapi, tampaknya Teater Kalangan belum membutuhkan hal itu. Makanya, saya belum pernah turun tangan! Selama ini, saya biasanya bertugas di area tata-menata. Bagai kutu loncat, saya bisa menjadi penata ini dalam satu pertunjukan; menjadi penata itu dalam pertunjukan lainya.
Kadang, ahli loncat-meloncat itulah yang kerap buat saya galau. Saat ditanya perihal tugas saya di Teater Kalangan, apa coba jawaban yang saya berikan? “Saya bisa jadi apa saja!”? Nanti dipikirnya saya sombong! Yang jelas, saya salah satu warga Teater Kalangan. Yang tak jelas, soal tugas saya! Mungkin bisa dikatakan di Teater Kalangan saya tak punya tugas tetap, tapi tetap bertugas! Karena itulah, pada catatan ini, saya memutuskan tak bercerita soal itu. Selesai dong catatannya!
Toh, yang lebih penting, bagi saya sementara ini, bukan soal “jadi apa”, melainkan “untuk apa?”. Pertanyaan itu, tentu tak diiringi nada sentimen yang melahirkan alasan pembenaran. Alasan yang justru membuat diri diam, tak berbuat apa-apa! Ya, kan? Suatu kali, alasan memang dibutuhkan sebagai dasar laku. Kali lain, bisa pula justru alasan yang membuat diri tak me-laku.
Pertanyaan itu, lebih diarahkan pada persoalan untuk apa, misalnya saya, nimbrung dalam sebuah kelompok yang bernama Teater Kalangan dalam ketidakjelasan. Lebih tepatnya, soal pandangan saya, tentu juga kawan-kawan lainnya, atas aktivitas teater (berteater) di Teater Kalangan.
Berteater sebagai Upaya
Berteater bersama Teater Kalangan, kami pandang sebagai suatu upaya. Upayayang ditempuh untuk memenuhi kebutuhan diri sebagai individu. Setidaknya, kebutuhan untuk mengisi diri dan menjaga diri. Maka itu,pada ranah personal, pertunjukan (teater) bukanlah tujuan. Berteater bukan cuma soal menjadi aktor, sutradara, atau yang lainnya.
Berteater bukan hanya soal pentas. Pentas dan pertunjukan, bisa dikatakan, semacam artefak atas gelisah/laku yang jenuh. Yang keluar-dikeluarkan. Dihadirkan untuk diberi jarak dengan diri. Dan pada suatu hari nanti, dibaca ulang sebagai bahan refleksi: sebagai ihwal yang membangun pandangan dunia tiap individu di Teater Kalangan.
Teater, sebagai seni kolektif, bagi saya, begitu dinamis: bisa dimasuki apa saja dan siapa saja. Dengan ruang lingkup yang begitu luas, aktivitas teater memungkinkan bahkan menuntut diri belajar berbagai hal. Dalam konteks inilah, berteater, saya pandang sebagai usaha untuk mengisi diri. Mengisi diri dengan hal-hal yang beragam.
Terlebih, hidup dalam dunia yang serba disekat, kadang membuat diri lupa melihat wajah realitas yang liyan. Aktivitas kolektif (melibatkan banyak hal) sangat dibutuhkan kehadirannya, untuk memperkaya dan memperluas pandangan. Dengan berteater, saya, tentu bersama kawan-kawan lainnya, tak hanya memproduksi pertunjukan, tetapi juga memproduksi pengetahuan secara terus menerus, setidaknya untuk diri sendiri.
Tak hanya mengisi diri, berteater juga kami pandang sebagai upaya menjaga diri untuk tetap terjaga. Saya misalnya, sebagai seorang yang masih imut-imut (sebenarnya labil dan lugu), tiba-tiba dilempar dalam dunia serba cepat dan sarat kepentingan ini. Apa jadinya, jika tak selalu terjaga? Terjaga untuk tetap melakukan pembacaan atas realitas yang sedang dialami.
Oleh karena itu, teater bukan hanya media untuk menumpahkan kegelisahan. Ia sekaligus membuat diri tetap gelisah. Dengan kata lain, tak hanya medium berekspresi, ia sekaligus roda penggerak untuk tetap produktif. Bersama, saling mengingatkan untuk tetap selalu membaca: apakah hari ini diri baik-baik saja?
Dalam lingkup yang personal, pada akhirnya berteater denganTeater Kalangan adalah upaya membuat diri tetap sadar. Kedasaran-kesadaran itulah yang dibangun selama ini. Tiap anggota boleh jadi apa saja dan siapa saja. Jika memilih tak jadi apa pun dan siapa pun tak ada yang melarang. Itu urusan individu masing-masing. Yang terpenting, tiap individu di dalamnya merdeka, atau setidaknya sadar menuju merdeka. Bukan hanya merdeka dalam berteater, melainkan dalam kehidupan yang lebih luas.
Upaya Berteater
Bila “berteater sebagai suatu upaya” berbicara soal laku personal masing-masing individu di Teater Kalangan, “upaya berteater” lebih dipusatkan pada laku sekumpulan individu di Teater Kalangan. Laku bersama anggota Teater Kalangan. Sejak awal, Teater Kalangan berupaya membangun kelompok kolektif. Karya, pertunjukan (teater) misalnya, sebagai produk kelompok, bukan otoritas satu orang. Sutradara, aktor, dan perangkat pertunjukan lainnya hanya pembagian tugas, bukanlah keorganisasian yang hierarkis. Semata-mata untuk memudahkan pengerjaan. Yang satu mungkin hanya bersifat menginisiasi, sedang penggarapannya dilakukan bersama.
Untuk membangun kerja kolektif, laku individu yang merdeka tentu sangat dibutuhkan sehingga upaya membangun kesadaran individu, yang saya katakan di atas, berorientasi pada cara kerja ini. Atau justru sebaliknya, cara kerja kolektif adalah upaya membangun individu yang merdeka?Jadi, tak hanya kesadaran individu yang dibangun selama kurang lebih satu setengah tahun ini, aktivitas di Teater Kalangan, juga berupaya menumbuhkan kesadaran kolektif.
Walau, kini, kami belum menjadi kelompok kolektif yang benar-benar matang. Apa yang dilakukan selama ini cukup menggembirakan. Kesadaran menjadi kolektif telah mulai tumbuh dalam diri tiap individu di Teater Kalangan. Apakah Teater Kalangan benar-benar menjadi kelompok kelektif, sebagaimana yang diharapkan? Kami hanya mampu berserah pada waktu dan diri kami masing-masing. Sebab, selama ini, kami belum pernah berada pada situasi yang, mungkin saja, membenturkan atau meruntuhkan hal-hal yang kami harapkan.
Sebagai kelompok teater profesional, belakangan ini, Teater Kalangan juga berupaya bekerja secara profesional. Profesional dalamarti lengkap: baik pertunjukan dan manajemen produksi. Saya katakan berupaya, sebab kami mengakui yang selama ini memang belum menunjukan keprofesionalan itu sendiri. Tentu, diperlukan upaya-upaya agar yang dicita-citakan tak sekadar menjadi cita-cita.
Adapun yang dilakukan selama ini, misalnya, memanajemen pertunjukan sedemikian rupa: membuat catatan pengantar pertunjukan, mempublikasikan garapan, usaha membina penonton, adalah upaya menuju manajemen produksi yang profesional. Atau dalam ranah pertunjukan, misalnya, itikad untuk diskusi soal teater, latihan rutin, melakukan riset, dan bersentuhan dengan instansi atau kelompok lain, baik langsung maupun tak langsung, adalah upaya yang kami tempuh menuju pertunjukan yang profesional.
Kami sadar betul, tentu butuh kerja yang sungguh keras untuk menuju profesional yang sesungguhnya. Dan barangkali perlu waktu yang relatif panjang pula. Terlebih, Teater Kalangan bukan dibangun oleh orang-orang matang dalam dunia teater, apalagi mapan dalam memanajemen suatu pertunjukan. Justru, di Kalangan-lah kami berupaya menuju kematangan. Matang secara personal dan matang secara kelompok.
Lebih jauh lagi, kami juga berharap Teater Kalangan dapat memberi warna pada dunia kesenian, bahkan kebudayaan itu sendiri. Begitulah, kami selalu ingat kata para tetua, bahwa kami harus selalu menggantungkan cita-cita setinggi langit. Usaha mencoba merumuskan ulang atau mempertanyaan kembali konsep-konsep dalam teater adalah upaya yang kami tempuh untuk menuju hal itu.
Misalnya, dalam beberapa pentas monolog, sementara ini, kami mempertanyakan kembali soal monolog yang dipahami sebagai bentuk pentas satu orang. Atau untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan lain, misalnya, mencoba merancang pertunjukan dengan beragam pendekatan. Pendekatan yang lahir atas hasil refleksi terhadap ruang, suasana, wilayah sosio-kultural yang membangun diri kami, kiranya berpotensi disajikan dalam bentuk pentas teater.
Pada lingkup yang lebih luas, kami juga sempat mempertanyakan aktivitas yang kelak kami lakoni di Teater Kalangan. Pada dasarnya, kami tak mau Teater Kalangan menjadi mesin pencetak pertunjukan semata. Sebab, panggung bukanlah satu-satunya tujuan berteater. Kami berharap, aktivitas kolektif tak berhenti usai pentas, tetapi berlangsung di kehidupan. Layaknya sebuah banjar—cermin kolektivitas masyarakat Bali. Bukan banjar dalam suatu wilayah toritorial tertentu. Banjar yang tak terlihat. Kami menyebutnya banjar-imajinatif. Maka, ketika panggung bukanlah tujuan, teater adalah gerakan bersama membangun banjar-imajinatif.
Demikianlah catatan ini saya buat. Mohon maaf bila sampai catatan ini selesai, pembaca tak jua mendapatkan kejelasan soal Teater Kalangan, dari apa yang saya tulis. Tapi sungguh, sementara ini, itulah kejalasannya. Kejelasan yang belum jelas, sebagaimana posisi saya di kelompok ini.
Teater Kalangan barulah berumur satu setengah tahun. Bagai membuat sebuah bangunan, kami baru berada pada tahap memilah-milih bahan.Yang saya catat ini ialah soal bahan, atau mungkin sampai rupa rancang bangunannya.Rupa yang masih dalam bayang-bayang. Masih banyak yang mesti disiapkan, biar yang dibangun benar-benar kokoh. (T)