KEMARIN saya berkesempatan membaca-baca koleksi lontar Java Instituut (berdiri 1919), salah satunya Lontar Kutaramanawa, dan menjadi kembali teringat pertanyaan teman-teman saya yang tak sempat saya tanggapi, tentang “Apa benar kerajaan Majapahit adalah kerajaan Islam?” *
Kerajaan Majapahit tahun 1401 masehi rajanya menyembah Buddha, kitab hukumnya atau dasar konstitusinya bernama ‘Kutaramanawa’. Demikian disebutkan dalam salah satu lontar koleksi Java Instituut. **
Lontar sejenis saya juga temui beberapa tersimpan di rumah keturunan para cendikiawan di Bali, juga tersedia di perpustakaan/museum di Lombok, Yogyakarta, Jakarta dan Leiden.
Angka tahun 1401 yang tertulis dalam lontar Kutaramanawa ini, sebagai tahun berlakunya kitab undang-undang Kutaramanawa di Majapahit, sejalan dengan apa yang disebutkan dalam Piagam Trawulan, berangka tahun 1358 masehi, bahwa konstitusi yang berlaku bernama Kutaramanawa.
‘Kutaramanawa’ adalah kitab undang-undang Hindu-Buddha yang babonnya dari pemikiran India Kuno yang secara umum disebut Manawa Dharma Sastra.
Kutaramanawa dan/atau Manawa Dharma Sastra menjadi acuan sebagian besar kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara. Di Bali abad 11-12, sebagaimana disebutkan dalam 2 prasasti Bali Kuno, menyebutkan kitab ini sebagai acuannya. Raja-raja Kediri dan Singosari, yang tiada lain didirikan oleh leluhur para brahmana dan bangsawan serta warga negara Majapahit, kitab sastranya menyebutkan Manawa Dharma Sastra sebagai acuan penyelenggaraan negera.
Museum NTB juga memiliki koleksi lontar Kutaramanawa yang tak lain peninggalan Kerajaan Cakranegara-Karangasem, sebuah kerajaan Hindu, yang berkuasa selama 200 tahun di Lombok sebelum kerajaan ini bubar karena pendudukan Belanda.
Dari mana muncul perdebatan baru yang mengatakan Majapahit sebagai kerajaan Islam? Konon satu keping uang emas bertulis Arab yang disimpan di Museum Nasional yang menjadi dasar perdebatan dan pembelaan kalau Majapahit adalah kerajaan Islam. Juga didukung oleh dongeng-dongeng atau kisah-kisah lisan lainnya.
Siapa saja yang ingin mengetahui agama apa yang berkuasa di sebuah kerajaan kuno, jalan terbaiknya adalah dengan membaca atau mencari tahu dasar konstitusinya. Konstitusilah yang menunjukkan secara terang benderang bagaimana dan nilai apa yang menjadi pedoman penyelenggaraan sebuah negara atau kerajaan. Bukan keping mata uangnya, bukan berdasar cerita lisan atau dongeng. Agama resmi kerajaan atau agama penguasa bisa dilihat dari acuan filosofis yang tercermin dalam undang-undang atau pijakan konstitusi yang dipakai.
Lagipula, selain lontar Kutaramanawa, ada ratusan lontar-lontar atau naskah-naskah peninggalan Majapahit yang masih terawat di berbagai museum dan perpustakaan, serta di keluarga-keluarga Bali yang sebagian besar leluhurnya dari Jawa (Kediri, Singosari dan Majapahit) dan naskah-nasakah ini bisa dibaca dengan terang benderang berisi mantra-mantra Śiwa dan Buddha, ajaran-ajaran filsafat-tatwa, etika-susila, upakara-upacara, pengobatan, pedoman bertani, berternak, memasak, perbintangan, dan seterusnya.
Kalau tidak bisa membaca huruf Jawa Kuno, Jawa, Bali, silahkan melihat dan mengamati langsung peninggalan arkeologi, candi dan reliefnya, semuanya bisa bercerita dengan terang benderang ajaran apa yang mendasarinya.
Di Jawa ada ribuan, mungkin ratusan ribu kepingan bukti-bukti arkeologis peninggalan Majapahit yang merupakan sambungan Singosari, Kediri, dan mitosnya kelanjutan dari Medang-Mataram Kuna, yang tak lain kerajaan dan masyarakat yang membangun candi-candi Buddha dan Śiwa, seperti Candi Śiwagraha (Prambanan) dan Borobudur, serta gugusan atau galaksi percandian di Jawa Tengah yang jumlahnya mencapai ratusan titik percandian besar yang sebagiannya belum direstorasi.
Kalau ada berpikul-pikul uang kepeng kuno China di Bali, dan dipakai sampai kini sebagai perlengkapan ritual, tidak berarti bahwa Bali adalah Kerajaan China. Demikian juga karena telah ditemukan berpikul-pikul koin bolong China dipakai di era Majapahit tidak menunjukkan bahwa Majapahit sebuah kerajaan beragama Konghucu atau beragama Tao.
Berlakunya uang berbagai bangsa di Majapahit menunjukkan kemajuan perdagangan antar bangsa telah terjadi ketika itu. Penduduk atau pedagang dari berbagai latar belakang bangsa dan agama juga telah menjadi bagian kehidupan sosio-kultural. Pedagang berlatar Arab, India, Tiongkok, Mongolia, dan penjelajah Eropa sudah mulai berinteraksi di beberapa kepulauan Nusantara dan Melaka ketika itu.
Majapahit telah masuk menjadi bagian penting dari pergaulan antar bangsa yang disegani di Asia Tenggara ketika itu. Para tokoh suci dari India tercatat diundang ke Majapahit, demikian juga para saudagar besar Gujarat, Arab dan Cina. Berlakunya berbagai mata uang di sebuah negeri menandakan keterbukaan berpikir dan kemampuan berinteraksi melampaui batas antar bangsa dari pemerintah dan warganya.
Keluarga saya sampai hari ini, kebetulan orang tua kami pemangku (pemimpin upakara Hindu Bali di pura/kuil), memakai ikatan/jalinan ratusan uang kepeng bolong berasal dari Tiongkok sebagai bagian dari ritual. Ini juga tidak menunjukkan bahwa kami penganut Konghucu atau Falun Gong atau Falun Dafa.
Kami bahkan tidak bisa baca tulisan kanji pada uang kepeng China tersebut. Nilai estetika, berbagai campuran unsur logam atau nilainya, atau kandungan unsur-unsur yang secara simbolis mewakili unsur bumi dan alam semesta lainnya yang kami butuhkan dalam ritual kami.
Silakan membuka-buka atau baca atau analisa konstitusi Majapahit jika ngebet ingin tahu tata pemerintahan dan gambaran kehidupan sosiologis di kerajaan Majapahit. Mohamad Yamin, berdasar buku-buku dan jurnal terbitan pakar-pakar efigrafi dan filologi Belanda telah meneliti konstitusi Majapahit dan menyebutkan kitab undang-undang Kutaramanawa yang berlaku sebagai dasar berkonstitusi di Majapahit terdiri dari 275 pasal, terbagi dalam 19 bab, pembagiannya sebagai berikut :
Bab – I : Ketentuan umum mengenai denda.
Bab – II : Delapan macam pembunuhan, disebut astadusta.
Bab – III : Perlakuan terhadap hamba, disebut kawula.
Bab – IV : Delapan macam pencurian, disebut astacorah.
Bab – V : Paksaan atau sahasa.
Bab – VI : Jual-beli atau adol-atuku.
Bab – VII : Gadai atau sanda.
Bab – VIII : Hutang-piutang atau ahutang-apihutang.
Bab – IX : Titipan.
Bab – X : Mahar atau tukon.
Bab – XI : Perkawinan atau kawarangan.
Bab – XII : Mesum atau paradara.
Bab – XIII : Warisan atau drewe kaliliran.
Bab – XIV : Caci-maki atau wakparusya.
Bab – XV : Menyakiti atau dandaparusya.
Bab – XVI : Kelalaian atau kagelehan.
Bab – XVII : Perkelahaian atau atukaran.
Bab – XVIII : Tanah atau bhumi.
Bab – XIX : Fitnah atau duwilatek.
Demikian detail dan jelasnya pedoman konstitusi Majapahit.
Pertanyaannya sekarang sekiranya bukan apa agama Majapahit. Konstitusinya demikian jelas, detail dan serius. Juga penegakannya sangat serius. Sebagai contoh: Karya sastra Kidung Sorandaka yang ditulis ketika itu menguraikan bahwa Lembu Sora dituntut hukum mati berdasarkan undang-undang yang berlaku, tak lain Kutaramanawa. Sekarang? Ada baiknya kita belajar dan bercermin dari leluhur demikian seriusnya para leluhur dalam bernegara dan berkonstitusi untuk menata kehidupan.
Dibandingkan mempertanyakan agama kerajaan masa silam, sekiranya ada baiknya mempertanyakan seberapa serius kita bernegara dan berkonstitusi hari ini? Apa kontribusi kita pada masyarakat dan negara hari ini?
Apa yang bisa dipelajari secara paratexts dari Lontar Kutaramanawa?
Piagam-prasasti-kakawin menyebutkan Kerajaan Majapahit menjadi besar dan kuat salah satunya karena konstitusinya sangat kuat mengayomi secara sangat detail dan tegas. Mereka berhasil berkonstitusi secara serius. Banyak sumber menyebutkan Majapahit pudar meredup karena persoalan dilema “beragama”.
Demikian juga sejarah dunia mengajarkan bahwa keseriusan berkonstitusi yang membuat sebuah negara sejahtera atau berjaya. Ketika sebuah negara besar ricuh dalam urusan “beragama” dan melupakan atau abai berkonstitusi secara serius dan tegas, negara-negara itu runtuh. Baik di Eropa, Timur Tengah, dan India, mengalami masa kegelapan dan peperangan karena ricuh dan gelap dalam “beragama” dan pada saat yang sama abai atau malah meninggalkan kehidupan “berkonstitusi”. (T)
Catatan Harian, 23 Januari 2018
Keterangan:
* Bung Yamin, Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan para pendiri bangsa mengetahui dan mengakui bahwa Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha. Bung Karno dan Bung Yamin adalah dua sosok penting yang mempopulerkan kejayaan Majapahit, dalam berbagai kesempatan (dalam buku, artikel dan pidato) mereka mendorong untuk menjadikan wilayah dan kejayaan Majapahit sebagai semacam “acuan penentuan wilayah” NKRI. Bung Yamin menulis buku ‘Gajah Mada’, dan beberapa jilid pembahasan pedoman konstitusi Kerajaan Majapahit.
** Karena lontar koleksi Java Instituut yang kini disimpan di Yogyakarta ada batasan menayangkan foto koleksinya saya salin cepat orat-oret halaman depan lontar Kutaramanawa. Java Instituut adalah Yayasan Kebudayaan Jawa, Madura, Bali dan Lombok, dikenal sebagai Java Instituut. Memiliki koleksi patung kuno dan naskah-naskah kuno yang kini disimpan oleh Museum Negeri Senobudoyo, Yogyakarta. Java Instituut ini berdiri pada 4 Agustus 1919 di Surakarta. Pendirinya antara lain P.A.A.P. Prangwadono (Mangkunegoro VII), R. Dr. Hoesein Djajadiningrat, R. Sastrowijono, dan Dr. E.D.K. Bosch, sedangkan pengurus yayasan pertama kali diketuai oleh Dr. Hoesein Djajadjningrat, sedangkan Dr. F.D.K. Bosch bertindak sebagai sekretaris. Dalam perkembangan selanjutnya pengurus ini dilengkapi dengan pembantu ahli dalam berbagai bidang. Tokoh-tokoh seperti Ir. Th. Karsten, Dr. W.F. Stutterheim, S. Koperberg, P. Sisten, tercantum dalam personalia kepengurusan ini. Tujuan utama perkumpulan ini ialah mendorong perkembangan budaya Jawa, Madura, Sunda, dan Bali dalam arti yang seluas-luasnya. Java Instituut melakukan kajian Bali, Lombok, Jawa dan Madura, secara intensif. Kongres Java Instituut pernah berkongres di Bali dan melakukan safari keliling bersama rombongan peserta dan pengurus. Lembaga ini berjaringan dengan ahli-ahli budaya Bali di masanya, termasuk para pentolan lembaga ini bergesekan dan rekat berjaringan, diskusi dan kerjasama riset ilmiah para pentolan perintis perpustakaan lontar Gedong Kirtya dan Museum Bali.