- Judul Buku : Prejengane Kutho Suroboyo
- Penulis : Maulana Malik Ibrahim, Dkk
- Penerbit : PT Smelting
- Cetakan : I, Desember 2015
- Tebal : 300 Halaman
- ISBN : 978-602-716-271-6
Buku Prejengane Kutho Suroboyo menggambarkan tentang menjumpai dan mengenal tradisi terhadap kearifan lokal di Ibukota tercinta yakni Surabaya. Salah satu kebudayaan di daerah Surabaya adalah mengenang ragam adat istiadat dan membiasakan masyarakat dengan menerapkan tradisional. Inilah keagungan yang mencorak dalam tulisan yang enak dan renyah.
Sunan Ampel, Sawunggaling, Bung Tomo, Bung Karnom Tjokroaminoto, Gubernur Suryo, dan banyak tokoh lain telah tercatat kontribusinya oleh sejarah dunia yang masih kental kaitannya dengan Surabaya, Indonesia. Namun perlu ingat, kepahlawanan dan ruh Surabaya bukan hanya Bung Tomo dan nama-nama yang disebutkan tadi, karena Surabaya juga tentang kepahlawanan rakyatnya, tukang becak dan pemuda-pemudinya, arek-arek-nya, dan segala lapisan masyarakat Surabaya yang berkenan menempatkan diri sebagai pembela kebenaran. Pembela tanah air.
Surabaya tak hanya berisi para pahlawan yang harum namanya. Surabaya juga merupakan tempat bersemayam kearifan-kearifan lokal. Kita bisa melihat berbagai tradisi seperti manakiban, manten pegon, dan selapanan. Dalam hal kuliner, Surabaya memiliki rujak cingur, semanggi, lontong balap, dan lainnya. Unsur-unsur pembentuk kearifan lokal itulah tuh penting terciptanya hakikat, nuansa, kharisma, dan rasa yang membedakan Surabaya dan lainnya.
Buku ini terdapat 80 kisah yang berisi tentang cerita tradisi yang ada di daerah Surabaya. Sebagian tulisan yang berbentuk koran dan tulisan buku pada umumnya. Bahasa yang ditulis merupakan hasil penjelajahan di berbagai kecamatan dan kota apalagi di dalamnya kota kampung menyimpan keunikan terhadap budaya kita.
Bahasa di buku ini terlalu santai dan ringan. Bayangkan betapa penulis meneliti (riset) dan mengelilingi kampung. Konon ada tradisi menilai keanekaragaman adat dan istiadat yang mengenang tokoh yang mengarahkan tradisi hingga saat ini.
Tradisi pertama dari uniknya Topeng Muludan. Topeng muludan adalah topeng mainan untuk anak-anak. Kalau pun ada orang tua yang ingin bermain topeng-topengan ini, ya sah-sah saja. Tak perlu menunggu fatwa halal dari MUI. Topeng yang mulai ngetren pada tahun 60-an ini dulu adalah mainan wajib anak-anak ketika menyambut hari kelahiran Nabi Muhammad SAW atau Maulid Nabi.
Bagi lidah orang Surabaya, maulid lebih sering disebut muludan. Karena itulah topeng ini disebut topeng muludan (halaman 9).
Tradisi kedua ada keunikan menarik tentang Langgar Wèdhok. Langgar wèdhok adalah nama lain mushala perempuan. Tempat shalat khusus bagi kaum perempuan. Tempat beribadah ritual muslimah. Biasanya terdapat di kampung. Dahulu kala jumlah langgar wedhok di Surabaya cukup banyak, di antaranya di Tenggilis Mulya. Namun sekarang banyak yang sudah tidak digunakan lagi. Penyebab utamanya adalah semakin sedikit orang yang mau shalat berjamaah di tempat itu. Selain itu, sangat sedikit orang yang mau ngrumat langgar wedhok juga menyebabkannya mangkrak tak terurus dan sepi jamaah (halaman 14).
Tradisi ketiga dalam konsep kebudayaan islam di Surabaya adalah Manaqiban. Dari akhiran ‘an’ menjadi manaqiban yang berati kegiatan pembacaan manaqib, utowo biografi Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani. Manaqiban biasanya dilaksanakan oleh jam’iyah thoriqot tertentu, namun tak jarang juga sering dilakukan oleh masyarakat biasa.
Kalau dilihat secara ilmiah, Kitab Manaqib memang seperti kitab-kitab lainnya. Tetapi tampaknya dalam kehidupan para penganut tarekat, manaqiban merupakan kegiatan ritual dan sebagai tradisi yang tak kalah sakralnya dengan ritual-ritual lain. Bahkan dari beberapa sumber menyebutkan, manaqiban ini dilaksanakan oleh kebanyakan masyarakat dan santri pendesaan, khususnya di Pulau Jawa dan Madura (halaman 23).
Kalau dari minggu kemarin kita memulai tahun baru islam jatuh pada 2 Oktober 2016. Seringkali masyarakat terpercaya ada malam 1 suro sebagai perayaan tahun baru menurut kalender jawa.
Malam satu Suro dalam masyarakat jawa adalah suatu perayaan tahun baru menurut kalender Jawa. Malam satu Suro jatuh mulai terbenam mathari pada hari terakhir bulan terakhir kalender jawa sampai terbitnya matahari pada hari pertama tahun berikutnya (1 Suro) (halaman 31).
Tradisi berikutnya juga tak kalah unik dan keren abis yakni Wayang Golek dengan Boneka khas China. Wayang ini dimainkan untuk mengisahkan tokoh-tokoh penting dalam sejarah China. Misalnya Kera Sakti dan Gurunya, kisah kekaisaran, dan para dewa. Menurut legenda, wayang ini dibuat oleh narapidana di Tiongkok ribuan tahun silam. Ada lima orang tahanan yang akan dihukum mati pada mas Dinasti Tsang Tian (halaman 38).
Tradisi selanjutnya yang jarang dilakukan yaitu khataman al-qur’an. Syukuran khataman ngaji yang paling lazim dilaksanakan, ya, setelah khataman Al-Qur’an untuk yang baru pertama kali khatam al-qur;an. Yakni setelah seorang anak menyelesaikan setoran bacaan Al-Qur’an kepada Ustadz dan pengajarnya (halaman 69).
Dan banyak tradisi yang menarik lainnya dalam kearifan lokal di Surabaya. Hikmah dari Prejengane Kutho Suroboyo adalah hargailah tradisi yang masih ada dari dulu hingga sekarang. Tujuannya untuk senantiasa menerapkan konsep tradisional yang dikemukakan baik dalam keagamaan, cara kebiasaan, maupun pendekatan persuatif terhadap adat istiadat. (T)
Semarang, 7 Oktober 2016