SIMBOL kesuburan itu organ vital lelaki. Ia bisa digambarkan dengan sedemikian indah, dalam karya rupa semisal lukisan dan patung. Ia semata-mata menawarkan keindahan. Sekali lagi: keindahan.
Namun di bagian lain ia dianggap tabu dan sering diumpet-umpetin bila membicarakan hal satu ini. Padahal kehidupan terlahir dan mengada adalah berkat dia. Manusia menginjak kaki pertama di bumi, perjalanan kehidupan ke antah barantah, adalah hasil kolaborasi kerja yang menguras energi, bahkan kalau “kerja” itu diuangkan pun kita tak akan mampu membayarnya.
Kekuatan super dasyat, kekuatan magis, ada di titik tengah. Gairah terpacu kencang detak jantung berdebar-debar, bahkan mengalahkan musik deadmetal. Jiwa berimajinasi, ilusi datang dari segala arah semesta. Semuanya ikut menyumbangkan energi.
Tak salah kekuatan besar selalu hadir bila “sakti”-nya telah memberikan dukungan. Kehidupan sedang berproses. Proses inilah harus mendapat persetujuan secara resmi tidak ilegal, petak umpet pun hilang seketika. Proses ini harus secara sah direstui pemuka adat, keluarga, teman-teman, kolega entah siapa lagi yang hadir jadi saksi.
Maka terjadilah apa yang disebut “Nyegara Gunung”, pertemuan gunung dan laut, suatu hal paling disakralkan untuk menuju harmonisasi, keseimbangan jagat.
Kekuatannya tergantung bagaimana kita menggunakannya. Jika digunakan dengan ketulusan hati dijamin hasilnya sesuai dengan harapan, tentunya dengan doa-doa yang terus bersuara. Jika digunakan secara salah, akan memberikan petaka bahkan bisa mendekat pada kehancuran.
Begitu juga titik tengah dalam pertemuan arah, jika lampu kuning menyala, harap-harap cemas membayangi, maka di situlah kita hati-hati, baik ketika hendak berhenti, maupun ketika hendak bergerak.
Persimpangan adalah kehati-hatian sekaligus kegelisahan, antara menunggu atau berjalan. Di sinilah kesabaran diuji, pergolakan batin juga kerap terjadi. Musibah sering menimpa ketidaksabaran jadi persoalan. Sabar, sabar dan sabar, menyerahkah diri menunggu waktu hijau menyala. Persimpangan dalam diri, berpasrah pada sang waktu.
Rikala sang waktu menunjukkan diri secara tersamar-samar, disinilah ujiannya. Fokus solusi akurat berjalan menuju keinginan. Nyata-nyata sering sebagian mendombrak melawan akhir cerita, tapi yang didapat malah celaka. Melawan keinginan memang susah, kadang juga gampang. Beban terasa berat ketika keinginan tidak terpenuhi. Lega, lepas beban rontok dengan sendirinya bila keinginan sudah dipenuhi.
Sadar atau setengah sadar, jika merunut ke belakang, kita telah menjalani filosofi kehidupan manusia di mana manusia telah menjadikan titik tengah sebagai tempat keramat karena ia adalah titik “kesuburan”.
Begitulah kesederhanaan manusia prasejarah Bali menggambarkan tentang kesuburan. Penggambaran ini bukanlah sebuah mitos sesat dan tabu, tetapi penuh makna tentang kejelasan dari peradaban. Prototipe seperti ini banyak ditemukan di Bali sebagai pesan simbolik peradaban yang apa adanya. (T)