DI balik sebuah pameran lukisan ada kurator. Kurator inilah mengolah gemulai meramu kata-kata. Kata yang terangkai indah sejuk dibaca para penikmat seni, sehingga sebuah lukisan kadang melampaui makna sesungguhnya.
Kurator adalah barisan depan dalam menterjamahkan hasil karya perupa untuk disajikan kepada halayak publik seni.
Orang yang biasa bertugas dibalik layar jaring itu salah satunya diketahui bernama Made Susanta Dwitanaya. Pemuda jebolan Undiksa Singaraja Fakultas Pendidikan Seni Rupa, berkreasi tidak jauh dengan dunia berkesenian.
Terjun sebagi kurator, ia mengaku awalnya tertarik dengan dunia penulisan khusus penulisan seni. Ia tertantang dan terpacu berkreasi lewat suguhan seni dalam catalog untuk pelengkap pameran.
“Tertarik aja dunia penulisan, imajinasi meledak-ledak bisa ditumpahkan. Saat penyampian hasil karya di situ leganya, ” celotehnya.
Terlahir di daerah seni Gianyar, tepatnya Tampaksiring, memberikannnya andil dalam berkecimpung dalam dunia seni. Termasuk seni kepenulisan. Tidak heran Gianyar menelurkan segudang seniman, pokoknya lengkap.
Susanta yang berpenampilan sederhana dan bersahaja ini mengtakan bahwa pengalaman adalah maha guru kehidupan. Perupa bersenergi dengan kurator di mana ada perupa di sanalah curator ada. Ibarat garam tanpa sayur saling melengkapi.
Susanta mengatakan, penulisan karya seni seperti esai kuratorial seni rupa sedikit berbeda dengan penulisan lain. Dalam esai kuratorial, karya perupa dan ide-idenya harus lebih dikombinasikan dengan cerita tema. Proses inilah sangat sulit. Melihat seksama karya, setelah dilihat diteruskan dengan sesi wawancara tentang garapan yang dimaksud. Itu belum cukup, tentunya masih mencari data pedamping sebagai bahan penulisan.
Susanta seringkali terlibat dalam proses kuratorial sekaligus menuliskan katalog seni sejumlah seniman penting di Bali, seperti I Putu Bonuz Sudiana, I Ketut Kabul Sudiana, I Wayan Suastama, Agus Mardika alias Dangap serta lainya.
Dari sinilah ia mengenal dunia penulisan seni rupa hingga mengantarkannya berkali keluar daerah. Jogjakarta salah dari kota yang pernah kunjungi dalam pembukaan pameran, Susanta sampai detail menyiapkan dan membantu rekannya hingga larut malam.
Walaupun pada dasarnya ia adalah lulusan pendidikan seni rupa di Undiksha, Singaraja, namun ia tak langsung menjadi guru atau pelukis. Hasratnya tak terbendung untuk menekuni dunia menulis. Memang tidak jauh dari seni rupa, apalagi buat Susanta, seni rupa adalah roh dan jiwa kehidupannya. Menulis katalog sebagai perpanjangan tangan bagi penikmat dan pemerhati menikmati karya seniman dilakukan dengan penuh jiwa.
Saking seriusnya, pernah ia lupa makan saat mempersiapkan pembukaan pameran. Perutnya mungkin saking gembiranya melihat pemeran, jadi lupa melakukan pemberontakan. Tatkala sudah selesai pameran, barulah aksi perut mulai demo dan anarkis tak terkendali. Hahaha, itu biasa terjadi… (T)