MINGGU malam, 12 November 2017, dilangsungkan pementasan ke 62, 63, 64 dari Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya. Tempatnya di Kampus FBS Undiksha Singaraja.
Naskah “Buku” dipentaskan oleh Komunitas Puntung Rokok (Kontur) dengan aktor Hidayat. Naskah “XX” dan “Harmoni” dipentaskan oleh Teater Kampus Seribu Jendela. “XX” dimainkan aktor Putra Pradnyana dan “Harmoni” dimainkan oleh Fitra.
Basement dan sekitaran wantilan Fakultas Bahasa dan Seni menjadi pilihan tempat mempersembahkan ketiga naskah ini. Dengan hujan yang tidak begitu deras dan suasana kampus yang tidak begitu ramai mendukung mereka.
Memasuki pementasan ke 60-an rasa-rasanya, mungkin segala kritik dan saran sudah habis dilontarkan untuk pementasan-pementasan sebelumnya dan rasa-rasanya kritik dan saran yang akan diberikanpun tidak akan jauh-jauh dari ekspresi, vokal, intonasi dan lain-lain.
Perlu diakui jika menilik dari beberapa pementasan sebelumnya, permasalahan-permasalahan diatas seolah tidak ada habisnya. Entah sudah berapa kali muncul saran soal bagaimana membuat ekspresi menjadi menarik, membuat suara jelas terdengar tapi tetap saja permasalahan klasik tersebut selalu ada. Kurang lebih hal-hal diatas bisa dikatakan dialami oleh salah satu pementasan kemarin.
Tapi tentu saja ketiga pementasan di Kampus FBS Undiksha itu berjalan lancar. Terlepas dari permasalahan klasik yang tadi disebutkan. Beberapa hal menarik yang bisa ditemukan pada pementasan kemarin adalah soal tata panggung yang benar-benar menginterpretasikan bagaimana basis dari kelompok tersebut.
Komunitas Puntung Rokok memilih area basement yang didesain sedemikian rupa. Area basement yang cukup besar mereka sulap menjadi lebih kecil dengan membentuk sebuah ruangan baru dengan memanfaatkan kain hitam yang dilapisi koran dari berbagai media.
Sangat rapi. Tidak lupa beberapa properti seperti meja dan kursi juga dilapisi Koran, beberapa buku dibuat menggunung, dan beberapa tokoh existensial juga dilapisi koran. Tentu membuat hal-hal di atas menjadi sangat rapi bukan perkara mudah, apalagi melapisi beberapa tokoh dengan koran.
Diperlukan sebuah keahlian lebih untuk mendesain panggung tersebut. Seperti yang beberapa orang ketahui, anggota komunitas puntung rokok banyak yang berasal dari Jurusan Seni Rupa dan tentu saja keahlian mereka benar-benar terpancar lewat tata panggung mereka. Dan jika boleh dikatakan, mantap.
Beralih ke desain panggung Teater Kampus Seribu Jendela. Jika tidak salah, tempat pemilihan panggung mereka sama dengan pemilihan panggung mereka saat mementaskan naskah “Pidato Gila” dan “Sepi”.
Kurang lebih desain panggungnya juga tidak berbeda jauh. Hanya saja lebih sederhana dari pementasan sebelumnya. Memanfaatkan tiga buah lampu yang dipasang di sisi kanan, tengah, dan kiri serta memanfaatkan sebuah tempat di depan ruang BEM FBS, maka tata panggung selesai. Satu kata, sederhana.
Mereka tidak menutup celah lorong dengan kain hitam, sehingga beberapa penonton bisa menikmati pementasan lewat lorong. Barangkali keputusan tersebut diambil karena mereka tidak mau ambil pusing soal memasang kain yang mungkin agak ribet bagi mereka.
Barangkali juga mereka sudah dibikin ribet soal drama berjudul “hidup anak kuliahan”. Dan bukan tidak mungkin ketika mereka berlatih, beberapa dari mereka sedang membuat tugas atu juga sedang mempersiapkan diri karena esoknya presentasi untuk urusan tugas kuliah. Secara tak kasat, itulah yang terpancar dari pementasan mereka.
Hal menarik atau lucu lainnya adalah penonton. Banyak penonton sebenarnya bukan penonton. Dalam artian mereka hanya sekedar lewat dan kebetulan melihat pementasan lalu memilih duduk diam menikmati pementasan sampai akhir.
Hal yang sebenarnya tidak unik, namun menjadi unik ketika sepertinya mereka lewat untuk mengerjakan hal lain tapi malah jadi nonton pementasan. Hal ini terlihat dari mereka yang membawa obeng, palu, gergaji bahkan tapel barong. Mereka patut diapresiasi. Melangkah ke sesi diskusi, tampaknya penonton memang lebih suka datang untuk menonton dan menjadi penonton murni.
Mereka tampak tidak ingin memberikan komentar ataupun masukan. Sederhananya, mereka sudah puas asal sudah terhibur. Itu pula yang menyebabkan sesi diskusi telihat ‘memaksa’ penonton agar berkomentar dan memberi pertanyaan.
Terakhir, tentunya Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya masih memiliki banyak naskah yang belum dipentaskan. Banyak juga komunitas dan daerah yang masih berhutang naskah jika dilihat dari selebaran pampflet soal peta pembagian naskah. Saat ini Buleleng masih memimpin dengan kurang lebih telah mementaskan 30 naskah.
Tentu saja hal tersebut terlepas dari poin-poin seperti kualitas. Dan jika jujur dikatakan, rasa-rasanya tidak akan pernah ada pementasan yang benar-benar memuaskan seluruh elemen masyarakat. Selalu ada kritik dan bahkan hinaan untuk sebuah pementasan. Oleh karena itulah, lebih baik mementaskan sesuatu yang dihina daripada mendiamkan sebah pementasan yang ujung-ujungnya cuma jadi guyonan. “Kau kapan mau mentas?” (T)