BULELENG punya satu potensi penting di bidang seni rupa. Yakni lukisan kaca. Di Buleleng, lukisan ini banyak ditemui di Desa Nagasepeha. Desa ini adalah pelopor di bidang lukisan dengan media kaca, kemudian diikuti sejumlah warga dari desa lain.
Jika digarap dengan baik dan dikaitkan dengan pariwisata-budaya, lukisan kaca bisa jadi salah satu ciri khas bagi Buleleng. Bahkan, jika mau lebih serius, Desa Nagasepaha pun bisa dijadikan desa wisata dengan kekhususan di bidang seni rupa dan kerajinan.
Lukisan kaca di Desa Nagasepaha sangat unik dan otentik. Hanya wayang yang dilukis. Itu pun mengambil tokoh dari epos Ramayana dan Mahabrata. Cara membuatnya juga unik. Melukis dengan cara terbalik.
Sepintas membuat lukisan kaca terlihat amat sangat sulit. Tapi, jika kita ingin menyelami teknik melukis wayang kaca, tidak butuh waktu lama. Hanya butuh waktu seminggu atau maksimal dua minggu, jika kita melatihnya secara rutin.
Sayang, kini ekonomi tengah lesu. Nasib perajin (atau pelukis?) wayang kaca di Desa Nagasepaha ikut lesu. Lukisan hanya laku sewaktu-waktu.
Memang, lukisan kaca dari sejumlah pelukis di Nagasepaha beberapa kali sempat ikut pameran di galeri-galeri penting di Indonesia. Tapi itu tampaknya belum cukup untuk mendongkrak perkembangan seni lukis kaca di desa itu. Perlu upaya lebih serius, bukan hanya dari pemerhati seni, namun juga upaya dari pemerintah dan lembaga-lembaga lain.
Saya sendiri adalah penerus pelukis wayang kaca. Sayang saya sendiri tidak ahli dalam pembuatan lukisan kaca ini. Saya justru lebih menggeluti dunia jurnalistik. Padahal keluarga tidak ada yang jadi wartawan.
Saya pernah merenung. Merasa bingung, kenapa saya memilih berkecimpung di dunia kewartawan. Ketimbang menggeluti lukisan kaca, sekaligus menjaga kelestarian warisan nenek moyang saya. Saya merasa tersesat.
Beruntung warisan itu tidak terputus begitu saja di keluarga saya. Keahlian membuat lukisan kaca kini diwarisi oleh bapak, kakak sepupu, dan keponakan – keponakan saya. Ilmu itu diturunkan oleh kakek saya sejak tahun 1980. Anehnya, hanya saya yang tidak meresapi ilmu itu.
Bukanya tidak ada keinginan untuk menjaga warisan ini. Tapi waktu dan kesempatan telah menuntun saya, pada pekerjaan lainnya. Pekerjaan yang saya impikan semenjak baru tamat SMP.
Kini saat pasar sedang lesu, ayah saya, I Nyoman Netep, yang perajin lukisan wayang kaca juga ikut lesu. Ayah sempat menyampaikan rasa khawatirnya pada saya. Dia takut lukisan kaca akan punah, karena makin sedikit yang menggelutinya.
“Penerus saja tidak cukup menjaga kelestarian lukisan kaca ini. Banyak yang memilih pekerjaan lain,ketimbang menjaga warisan dari nenek moyangnya. Ada yang jadi penjual permata, kuli bangunan, jadi tukang cat juga ada,” kata ayah pada saya. Jujur saja, saat ayah mengeluh begitu, saya merasa tersindir.
Menggeluti profesi sebagai pelukis wayang kaca, seperti yang dijalani ayah saya, bukan pekerjaan mudah. Prosesnya yang cukup rumit, menyebabkan harganya relatif mahal. Bukankah kesulitan berbanding lurus dengan harga? Menjualnya dengan harga murah, tentu tak sepadan dengan kesulitannya.
Ini yang membuat pelukis kaca berada dalam posisi terjepit. Bila dibandrol dengan harga tinggi, dianggap jual mahal. Pasang harga murah, kok ya kebangetan. Tidak menghargai karya seni.
Jujur saja, lukisan wayang kaca, sangat layak jadi barang koleksi. Apalagi lukisan wayang kaca sangat khas dari segi ukiran dan bentuk wayang.
Hal semacam itu membuat 20 orang pelukis yang gabung dalam Kelompok Lukis Desa Nagasepaha jadi makin lesu. Apalagi kebanyakan sudah sepuh. Usianya sudah 50 tahun ke atas.
Dalam posisi lesu seperti itu, pelukis berharap mendapat dukungan maupun binaan dari pemerintah. Ini membuat posisi serba dilematis. Pelukis akan diposisikan sebagai perajin. Hasil jerih payahnya dianggap produk kerajinan. Padahal lukisan kaca lebih dari sekadar kerajinan buah tangan, tapi karya seni.
Dulu, sebenarnya sempat ada pelatihan yang dilakukan. Harapannya agar ada generasi muda mau menggeluti lukisan kaca. Pelatihannya hanya sebulan. Seperti pelatihan yang lain, habis pelatihan tidak ada tindak lanjut. Dilepas begitu saja. Ironisnya lagi, ada dugaan, dana pelatihan tak tersalur lancar untuk kegiatan pelatihan. Ini seperti pepatah: sudah jatuh, tertimpa tangga, kejatuhan genteng pula.
Ada pula yang menyarankan agar memasarkan lukisan secara online. Tapi praktiknya tidak semudah itu. Belum ada hak kekayaan intelektual yang melindungi pelukis kaca. Begitu beredar secara online, hasil karya pelukis, sangat rentan dijiplak bahkan diklaim orang lain.
Sejauh ini belum ada tanda – tanda akan kemunculan bibit baru pelukis kaca Desa Nagasepaha. Kini kita tinggal menunggu, apakah lukisan kaca akan terjaga keberadaanya? Apakah akan punah? Jangan-jangan nanti diklaim daerah lain. (T)