MALAM itu, dramawan Putu Satria Kusuma menulis status di Facebook. “Ditemani GGH rasa strawbery dan alunan Beethoven dari Youtube. Malam ini tak sengaja nemu poster di tahun 2013 menyeretku menghitung langkahku di teater. Cinta dan kegilaan jadi satu. Sepertinya sudah 30 tahun lebih aku disini.”
Status itu membuat saya penasaran. Saya hanya fokus pada empat kata pertama. “Ditemani GGH rasa strawberry”. Sumpah, ini benar-benar membuat saya penasaran.
Sebagai seseorang yang mengaku-ngaku sebagai penikmat arak beras Gwan-Gwan Hoo (GGH), bagaimana bisa saya tidak tahu kini GGH punya varian rasa. Sungguh memalukan! Saya hanya tahu GGH punya satu rasa saja. Rasa arak beras.
Sejak menjadi seorang alkoholik, saya sebenarnya sangat pemilih. Saya fanatik pada minuman tertentu dan merk tertentu. Biasanya saya mengkonsumsi wiski dari keluarga Jhony Walker. Wiski favorit saya justru bukan dari varian Jhony Walker dengan berbagai label warna itu. Melainkan Chivas Regal 12.
Selama bertahun-tahun, GGH nyaris tidak pernah saya teguk. Apalagi partner mabuk saya, yang namanya Robin Van Jangkrik itu, selalu menolak diajak menenggak GGH. “Efek mabuknya jelek,” begitu dalihnya.
Saya akhirnya mulai berkenalan dengan GGH dua tahun lalu. Ketika putri saya lahir. Membeli susu formula jauh lebih mendesak ketimbang beli wiski impor. Demi susu anak, saya mengalah, dan beralih menikmati minuman beralkohol lokal, arak beras GGH yang legendaris itu.
Pertama kali menyesap GGH, saya tidak bisa menikmatinya. Entah karena tak terbiasa, atau karena terlanjur terdoktrin mikol lokal tak senikmat mikol impor. Saat itu, saya terpaksa “ngarit”. Ngarak (minum arak) campur sprite. Rasa dan aroma manis sprite, bisa membuat lidah saya nyaman.
Tapi, saya merasa ngarit kurang nendang. Saya putuskan meminum GGH tanpa campuran sprite. Setelah meneguknya, saya mengucapkan “huaaah”. Karena memang ada rasa yang cukup menggangu ketika sampai di tenggorokan. Orang Bali menyebutnya “pengah”.
Biar begitu, saya tetap lanjutkan. Keinginan menikmati minuman beralkohol sudah tidak bisa dibendung lagi. Sloki kedua GGH tanpa campuran, mulai terasa nikmat. Sloki ketiga semakin nikmat. Sloki keempat tambah nikmat. Dan akhirnya saya ketagihan meminum GGH.
Seminggu kemudian saya kembali membeli sebotol GGH. Kali ini saya mulai memperhatikan kemasannya. Wadahnya sederhana. Dikemas dalam botol bir kemasan 650 ml dengan label warna putih sebagai penanda. Ada segel warna kuning dan tutup botol warna kuning pula. Seperti tutup botol kecap.
Saya buka tutupnya, saya nikmati aromanya. Aromanya boleh juga. Ada aroma manis di sana. Saya mulai sloki pertama, sloki kedua, dan sloki-sloki selanjutnya. Nikmat betul. Saya benar-benar dibuat jatuh cinta dengan GGH. Saya terhanyut menikmati GGH label putih. Tidak sedikit pun terpikir ada GGH lain.
Minggu demi minggu, saya selalu membeli GGH. Di kost pun, saya selalu sedia minimal sebotol GGH. Sesekali diselingi dengan Arak Bali tanpa merk, bila isi dompet membuat saya meringis.
Hingga beberapa hari lalu, Putu Satria mengejutkan saya dengan statusnya di Facebook. Sungguh mati saya jadi penasaran. Saya akhirnya bertemu dengan Putu beberapa hari lalu dan menanyakan lebih detail soal GGH rasa stroberi ini. Katanya dia membeli di toko GGH yang ada di Jalan Surapati Singaraja. Selama ini saya memang tidak pernah beli GGH di sana. Hanya beli di toko kecil dekat rumah.
Siang itu juga saya bergegas ke toko GGH, membeli sebotol GGH rasa stroberi. Sampai rumah, saya letakkan di freezer biar cepat dingin. Biar malamnya segera bisa saya nikmati.
Waktu yang dinanti akhirnya datang juga. Saya bergegas mengeluarkan botol GGH dari dalam freezer. Saya pandangi botolnya. Saya perhatikan setiap detilnya. GGH rasa stroberi ini dikemas dalam label yang dominan dengan warna merah. Termasuk segelnya. Botolnya terlihat lebih jernih.
Segera saya buka botolnya. Saya nikmati aromanya. Ah, aromanya benar-benar nikmat. Manis, harum, wangi, ada aroma stroberi, pokoknya nikmat.
Segera saya tuangkan pada sloki. Warnanya benar-benar jernih, dan ada sedikit warna merah. Saya mulai menyesap, menikmati rasanya. Ada rasa segar, rasa manis, duh benar-benar nikmat.
Segera saya angkat sloki pertama dan sungguh-sungguh nikmat. Rasanya segar, ada rasa manis, ada aroma stroberi yang terasa di dalam mulut. Tidak ada lagi rasa “huaaah”, seperti varian kuning. Tergantikan dengan rasa “ah…” yang nikmat.
GGH varian stroberi jauh lebih nikmat dan lebih ringan dari saudaranya yang berlabel putih. Meski lebih ringan, rasa nendang-nya tetap terjaga. Kalau dalam keluarga Jhony Walker, GGH dengan label putih itu ibaratnya Red Label, sedangkan GGH stroberi seperti Black Label.
GGH stroberi sangat layak dicoba. Harganya juga tidak mahal-mahal amat. GGH label kuning dibanderol Rp 75 ribu, sementara GGH stroberi dijual Rp 87 ribu.
Sebagai sebuah mikol lokal, produksi Buleleng, saya sangat bangga GGH bisa memadukan diri dengan buah lokal seperti stroberi yang banyak tumbuh di Desa Pancasari. Siapa tahu nanti GGH bisa memadukan diri dengan buah lokal lain. Sehingga muncul varian-varian baru. Seperti GGH anggur hasil perpaduan dengan Anggur Banjar, GGH mangga hasil perpaduan dengan Mangga Depaha, atau GGH Durian hasil kolaborasi dengan Durian Bestala.
GGH stroberi sungguh membuka mata. Ternyata aroma stroberi bisa dipadukan dengan arak, minuman beralkohol khas Bali. Ternyata aroma stroberi bukan hanya ada pada Fiesta. (T)