1 March 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Esai

Monolog “Dor” Dalam Perspektif Pribadi – Catatan Sutradara, Sebelum Pentas…

Jong Santiasa Putra by Jong Santiasa Putra
February 2, 2018
in Esai
9
SHARES

DULU menonton monolog itu membosankan, saya kerap selektif memilih siapa pemainnya, barulah membulatkan tekad untuk menyaksikan pementasan. Kalau terpaksa menonton, paling saya menonton setengah permain saja, lalu ngeloyor  keluar gedung. Bukan tanpa alasan ya saya bersikap begitu, saya merasa di perkosa oleh serang aktor dengan kemampuan akting diatas rata-rata itu. Ia yang seorang diri, mampu mengemban dirinya menjadi siapapun kehendaknya, Memang ada decak kagum perihal karakterisasi yang total tersebut, tapi jika disuguhkan bentuk monolog seperti itu secara terus-menerus, apakah penontonya akan langgeng selalu?

Secara harafiah monolog adalah bagian dari pementasan teater yang diperankan oleh satu orang.Setidaknya begitulah kita mengenal monolog dari pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Pertama. Sah-sah saja bagaimana seorang mengenal monolog sesuai  tafsir serta interpretasinya pribadi. Bagi saya, melalui sekian lapis diskusi bersama Teater Kalangan (Suma, De Gita, Agus) dan menonton pementasan monolog lainnya, mengartikan monolog sebagai upaya eksplorasi diri, oleh diri, untuk diri yang dipikirkan seorang diri, layaknya seorang petapa dalam mendapatkan wangsit atau wahyu dari dewa. Secara gamblang bisa di katakan monolog adalah kerja seni yang mengedepankan ego dalam keseluruhan pementasannya, kendati dalam pementasan tersebut memakai banyak aktor dan aktris.

Berdasar asumi di atas, saya berusaha mencari alternatif dalam menyajikan monolog agar tak terasa membosankan serta tidak hanya berpaku pada karakterisasi yang kuat dan mumpuni.  Jatuhnya yaaa bentuk pementasan yang surealis bahkan terkesan absurd, namun tidak meninggalkan karakterisasi sang tokoh utama. Selain upaya penggalian varian baru, tentu sikap ini harus sejurus dengan landasan berfikir serta tanggung jawab kritis atas estetika bentuk yang dipentaskan.Agar tidak terasa hasil comotan dan menghayal semata, namun juga merupakan hasil observasi lapangan, wawancara narasumber, menonton film, membaca buku, serta mengamati secara mendalam.

Begitulah sekiranya saya sebagai sutradara sekaligus aktor yang juga bisa di katakan sebagai petapa ini dalam menyajikan naskah DOR Putu Wijaya ke hadapan penonton.Berbekal rasa ingin tahu dan semangat untuk melampui diri saya melakukan observasi ruang, tempat, suara, lagu, ide, gagasan yang linier dengan naskah.

DOR menarik bagi saya pribadi, sebab menghadirkan cerita realisme sosial yang kerap terjadi di sekitar kita.Bagaimana cita-cita adalah momok bagi setiap orang.  Cita-cita di masa kecil itu seperti lintasan  panjang yang sudah disediakan, dan harus di lalui sebagai mana mestinya. Seolah-olah cita-cita itu seperti permen gulali yang biasa dijual di depan sekolah, dengan uang 1000 kita bisa mendapatkannya dengan mudah.

lalu pertanyananya adalah, apa yang terjadi ketika lintasan itu rusak, atau pengemudi  bersangkutan oleng di tengah jalan, mengalami kecelakaan.  kemudian cita-cita itu sirna, pupus sudah, alhasil bekerja apapun untuk  menghasilkan uang, yang penting hari bisa dilalui tanpa kelaparan.

DOR mengisahkan seseorang ayah yang tidak berhasil menggapai cita-citanya karena begitu banyaknya tantangan, kemudian berambisi agar anak semata wayangnya menggapai cita-cita nya di masa muda.Alhasil anaknya menjadi menyimpang tidak sesuai dengan yang diharapkan ayahnya.

Dalam upaya penafsiran itu saya banyak mengambil impresi-impresi kejadian, profesi, atmosfer juga suatu fenomena kita sehari-hari,. Impresi ini berupa gerak,  bunyi, kompisisi antar pemain juga sejumlah sentuhan tarian pun saya coba daur ulang dalam pementasan tersebut. Saya mencoba menafsirkan dan merekonstruksi pemahaman terhadap cita-cita ini sebagai suatu hal yang murah dan dapat di beli di pasar. Karena begitu pula kenyataannya orang-orang kebanyakan selalu saja mencari jalan pintas untuk mencapai tujuannya, semisal menjadi dokter harus nyumbang dulu 700 juta, atau membeli ambulans untuk universitas yang di tuju.

Komposisi bentuk pementasan, bentukan tubuh  juga memberi dominasi pada pementasan, saya ingin menghadirkan impresi-impresi keseharian yang tampaknya sepele namun tanpa disadari mengisi ruang hidup kita, impresi gerak ini juga berdasarkan pengalaman pribadi saya, misalnya diadegan pembuka ada kalimat “sekilo seperti harga emas”, kalimat nyeleneh ini saya dapatkan di pasar badung saat membeli ayam. Pedagangnya mengeluh seperti itu kepada saya saat harga ayam melambung tinggi, kan menarik.

Selain mengambil fragmen tentu kekuatan teks juga menjadi penunjang pementasan, daya teks  belum berani saya lepaskan secara bebas. Sebab kekuatan narasi Putu Wijaya , dengan diksi kalimatnya yang sederhana itu namun selalu memiliki kejutan di beberapa bagiannya, mampu menyulap hal yang rumit menjadi remeh temeh.

Terus terang, DOR tidak utuh menyajikan teks sepenuhnya seperti naskah aslinya, beberapa kalimat yang nampaknya tidak kuat, saya lacikan. Namun atmosfer teks yang terlacikan itu saya coba tafsirkan dalam komposisi-komposisi aktor pembantunya.

Juga akan anda saksikan sejumlah gerak tubuh yang di sajikan lamban, bahkan terasa menjemukan, lewat gerak lamban tersebut saya ingin menyampaikan bahwa dalam kecepatan dunia kita sekarang ini, ada sejumlah kaum masyarakat yang sunyi hidupnya jauh dari hiruk pikuk kecanggihan dan gemerlapan kota, mereka masih memimpikan menjadi orang hebat yaitu dengan bercita-cita setinggi langit. Tapi nyatanya berharap pun tak cukup, berdoa pun tak sepadan, ada faktor di luar itu yang membuntutinya dan harus diikuti alurnya.Jika ingin menjejak kaki lebih hebat.

Coba anda renungkan, benarkah cita-cita bisa digapai dengan mudah, transparan dan bersih? Setidaknya begitulah saya menafsirkannya.

Monolog dalam Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya ini semestinya memberikan ruang militan nan bebas  dengan disiplin masing-masing bagi para aktor monolognya. Pendekatan-pendekatan pun seharusnya lebih liar dan ekstrem namun tetap pada tangung jawab yang dewasa, bahwa tidak hanya menampilkan estetika yang menarik, tapi juga menawarkan cara berfikir yang intim dan personal.

Maka dari itu, jika penonton yang saya hormati, melihat adegan yang kurang terasa pas dengan prinsip anda. Cobalah untuk menikmati menu yang di sajikan sebagaimana seorang tamu  bertandang ke suatu rumah orang asing, Nikmati segala keganjilannya, dan simpan semua yang janggal, kemudian kita diskusikan bersama. Sebab seni adalah sarana untuk menyatukan diri dalam diri, yang senantiasa selalu berbeda antara manusia yang satu dengan yang lainnya. (T)

Denpasar, 12 Juni 2017

 

Tags: Festival Monolog Bali 100 Putu WijayaMonologseni pertunjukanTeater
Jong Santiasa Putra

Jong Santiasa Putra

Pedagang yang suka menikmati konser musik, pementasan teater, dan puisi. Tinggal di Denpasar

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Puisi

Puisi-puisi IGA Darma Putra | Kematian Siapa Hari Ini?

by IGA Darma Putra
February 28, 2021
Ilustrasi: Putik Padi
Esai

Belajar Berat-Ringan Tak Perlu Timbangan – Cukup Berperan Bodoh Seperti I Belog

“Bagaimanakah caranya mengajarkan berat-ringan kepada anak usia dini pada PAUD? Apakah harus dengan menimbang benda-benda dengan timbangan yang menampilkan angka-angka? ...

February 2, 2018
Wayan Sumahardika [ilustrasi tatkala.co | Nana Partha]
Esai

Siasat Kerja Panggung Digital

Bagaimana panggung digital yang berkembang hari ini ditempatkan sebagai situs baru pertunjukan teater? Hal-hal apa saja yang hilang, hal-hal apa ...

July 2, 2020
Foto dari Google
Opini

Menyoal Attitude Wisatawan di Nusa Penida: Dari Drama Komplain, Abai, Bengkung, Hingga Isu Moratorium

Hampir semua pelaku pariwisata pernah mengalami komplain dari customernya (tamu/wisatawan). Biasanya, para tamu komplain karena merasa dirugikan atau mendapat servis ...

October 19, 2019
Hidayat dari Komunitas Kontur mementaskan naskah monolog Buku karya Putu Wijaya
Ulasan

Kelemahan Klasik yang Tetap Terasa – Catatan Pentas 3 Monolog di Kampus FBS Undiksha

  MINGGU malam, 12 November 2017, dilangsungkan pementasan ke 62, 63, 64 dari Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya. Tempatnya ...

February 2, 2018
Ilustrasi tatkala.co / Nana Partha
Esai

Kisah Kangkung, Capung, dan Kampung

Sekira pada tahun 2016, bulan November, saya ditelpon untuk pulang kampung ke Ole, Tabanan. Biasalah, November itu peringatan hari pahlawan ...

April 10, 2020

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Ilustrasi tatkala.co | Nuriarta
Khas

Nostalgia | Jalan-jalan Bawa Gelatik Pernah Ngetrend di Singaraja Tahun 1950-an

by tatkala
February 28, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Agus Phebi || Gambar: Nana Partha
Esai

Makepung, Penguasa dan Semangat Kegembiraan

by I Putu Agus Phebi Rosadi
February 27, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (67) Cerpen (156) Dongeng (11) Esai (1415) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (10) Khas (341) Kiat (19) Kilas (196) Opini (478) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (9) Poetry (5) Puisi (103) Ulasan (336)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In