FESTIVAL Tepi Sawah yang digelar di Omah Apik, Pejeng, Gianyar, Bali, 4-5 Juni 2017, memang diniatkan untuk membawa pesan tentang kesadaran akan kelestarian lingkungan hidup. Namun niat itu tampaknya melampaui batas tujuan. Festival itu lebih jauh bisa dianggap telah memberi kesan tentang Indonesia riang dan damai di mata dunia.
Pesan tentang kesadaran akan kelestarian lingkungan hidup dengan prinsip reduce, reuse, dan recycle(kurangi, gunakan kembali, dan daur ulang), langsung terlihat dari sejumlah kegiatan yang diikuti serius oleh peserta. Pertama-tama dipesankan lewat workshop I Love Me Selfie Project oleh perupa Djunaidi Kenyut. Di situ Kenyut memberi pesan tentang pemanfaatan limbah cermin yang bisa digunakan sebagai media lukisan, terutama media untuk melukis wajah sendiri.
Ada juga workshop bank sampah yang diikuti ibu-ibu. Lalu ada Made Taro atau kini biasa dipanggil Pekak Taro dan Clean Bali Series yang bersama anak-anak bergembira, bercerita tentang pentingnya merawat lingkungan. Meski sudah sepuh, Pekak Taro masih punya wibawa besar untuk membuat puluhan anak-anak ikut bercerita sekaligus dengan pemahaman kanak-kanan menyerap ilmu tentang kebersihan lingkungan hidup.
Yang jadi perhatian penting adalah sesi sejumlah musik, baik pada hari pertama maupun hari kedua festival. Hampir semua sesi menampilkan musik yang mengesankan betapa kental dan riangnya keindonesiaan kita. Ini penting, karena sekitar 90 persen pengunjung adalah orang mancanegara, sehingga musik di festival itu bisa menjadi isyarat bahwa Indonesia bukanlah “negeri wkwkwkwkw”, melainkan negeri periang.
Pada hari pertama “Latinindo” dengan Ivan, Tompi, Made Wardana, Nurul, Tarzan, Donny, Renda, Oscar, Yopi, dan Barndon, serta Nita Aartsen menghidupkan suasana keindonesiaan di Kubu Stage dengan lagu-lagu legendaris dari Sajojo hingga Indonesia Pusaka. Syairnya akrab di telinga orang Indonesia, namun di telinga orang asing tentu saja syair itu terdengar aneh. Tapi musik tak memberi batas pada telinga, sehingga musik riang itu membuat semua orang bergembira dan menggerakkan badan secara riang.
Suasana dilanjutkan di Uma Stage saat sesi Keroncong Fuse yang kembali menampilkan Tompi, Ivan, Oscar, Nita serta Eka, Mbi, Nurul, Kopeng dan Sisca. Debaran music keroncong benar-benar menyulap suasana di Omah Apik menjadi seakan berada di sejumlah daerah Indonesia yang lebih luas. Lagu Sepasang Mata Bola, serta sejumlah lagu-lagu keroncong khas sejumlah daerah di Nusantara benar-benar membuat pengunjung lupa diri dan ikut menggerakkan pundak.
Sesi lain, seperti “Tribute to Ismail Marzuki” dan “Original Compotion by Tompi” benar-benar menambah kesan keindonesiaan yang penuh pikat dan kesan. Apalagi Sisca Guzheng dengan permainan dawainya seakan menyambungkan pendengaran pengunjung pada berbagai permainan musik dari awal acara hingga akhir. Nita Aartsen pun memberi peran penting untuk menghidupkan rangkaian keriangan menuju keriangan berikutnya.
Pada hari kedua, Timor Mania bersama Ivan, Gustu, Doddy, Renda, Nita, Nurul dan Tarzan, seolah-olah mengajak pengunjung masuk lebih dalam lagi ke daerah-daerah kecil di Indonesia. Meski syairnya terdengar aneh, namun keinginan pengunjung untuk larut dalam setiap lagu yang dimainkan benar-benar membuat suasana di Omah Apik jadi penuh gairah.
Selipan sejumlah penampilan seni pertunjukkan Bali, seperti Janger Tatiapi, Okokan dari Kediri Tabanan, serta Gamelan Salukat dan Dewa Alit, pun memberi gambaran lengkap betapa narasi Indonesia di Festival Tepi Sawah itu menjadi tujuan penting untuk dikumandangkan secara terus-menerus. (T/ole)