DI samping kritik, dokumentasi juga rawan dalam kehidupan teater kita. Saya beruntung pernah dibonceng masuk Lincoln Center di New York oleh Mas Sal Murgiyanto yang saat itu (1987) sedang mengambil PhD-nya di NYU.
Di Lincoln Center saya terpesona, nelongso, sangat iri melihat dokumentasi seni pertunjukan dalam bentuk mikro film yang begitu lengkap. Seharian saya nonton berbagai temuan dan idiom baru teater yang tinggal dilanjutkan. Jadi bukannya dicari lagi dan kemudian dirayakan sebagai temuan baru kita sendiri.
Kita di Indonesia baru mulai punya Bank Naskah di DKJ. Tapi kini sudah tak terawat bagus. Sementara dokumentasi berbagai master piece baik dari seniman tradisi maupun tokoh teater modern Indonesia seperti Teguh Karya, Arifin C Noer, WS Rendra, Sardono W Kusumo, nyaris tak ada. Akibatnya banyak yang akan asyik menemukan yang sudah ketemu.
Bukan hanya produk tontonannya yang tak akan mungkin berulang itu, harus dimungkinkan ditonton lagi, tapi juga “wawasan dan gagasannya”, kesulitan dan kiat mereka mengatasinya, dan lain-lain. Semua itu akan jadi referensi yang sangat berguna Membantu memecahkan berbagai kendala lapangan.
Kita di Indonesia. punya beban berat karena sudah tertanam wacana bahwa seni pertunjukan adalah “kelangenan” alias hiburan. Pengetahuan jadi terasa tak ada hubungannya dengan teater. Apalagi ilmu dengan seluruh aspeknya. Paahal teater adalah “warung gaul” semua ilmu.
Wawasan teater dari seorang maestro adalah ilmu. Yang bersangkutan bahkan sering tak menyadarinya. Karena itu erat hubungannya dengan lapangan. Hanya para praktisi teater yang akan mengonsumsinya dengan nikmat lahap.
Tapi itu semua akan terpancar pada kreasinya yang ditontonkan kepada masyarakat. Makin kaya bagasi pikiran orang teater, (yang berasal dari pustaka dan dokumentasi yang dilahapnya), akan semakin banyak ilmu yang ditaburnya. (T)