HARI Raya Kuningan di Desa Kelusa, Kecamatan Payangan, Gianyar, Bali, tentu sangat spesial bagi warga di desa itu dan warga di desa-desa sekitarnya. Pada saat Kuningan, warga di Desa Pakraman Kelusa menggelar pujawali atau odalan Aci Keburan di Pura Hyang Api, sebuah pura bersejarah di desa itu.
Yang spesial, pujawali yang dimulai saat Saniscara Kliwon Kuningan itu nyejer penuh selama 35 hari samapai berakhir atau nyineb pada Saniscara, Kliwon, wuku Klurut. Yang lebih spesial, mulai Kuningan, di jaba Pura, digelar tradisi adu ayam, sebuah tradisi kuno yang jauh dari kesan perjudian. Lebih spesial lagi, tradisi itu digelar selama 6 hari berturut-turut sejak Kuningan hingga hingga Jumat minggu berikutnya. Lalu, diadakan lagi setiap Kliwon hingga nyineb pada Sabtu Kliwon Klurut.
Pura Hyang Api
Pura Hyang Api di Desa Pakraman Kelusa merupakan salah satu Pura kuno yang ada di Bali. Diperkirakan Pura Hyang Api telah ada sejak abad ke-8 yang didirikan oleh Maha Rsi Markandya pada saat melaksanakan perjalanan suci ke Bali. Berdasarkan lontar Bawanatatwa Maha Rsi Markandya mengatakan Pura Hyang Api merupakan stana Dewa Agni atau Dewa Brahma yang mapaica tirta wewalungan.
Pura Hyang Api adalah Pura yang terletak di munduk Gunung Lebah yang banyak mempunyai keterkaitan dengan Pura Luhuring Akasa sebagai stana Dewa Siwa, dan Pura Pucak Gunung Gempal sebagai stana Dewa Wisnu yang bertempat di Desa Pakraman Yehtengah, Kelusa.
Keberadaan Pura Hyang Api sebagai tempat memuja prabhawa Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam fungsi sebagai Ista Dewata Dwa Agni juga sebagai tempat untuk memohon kewarasan, atau kelanusan wewalungan (hewan ternak) bagi umat Hindu Bali. Di mana di situ terkenal dengan pujawali atau odalan “Aci Keburan”, pujawali berlangsung setiap enam bulan sekali jatuh pada hari Saniscara, Kliwon, wuku Kuningan hingga nyejer penuh 35 hari samapai berakhir nyineb pada Saniscara, Kliwon, wuku Klurut.
Tradisi “Aci Keburan” yang merupakan persembahan terhadap Dwa Agni di Pura Hyang Api setiap nyejer piodalan pamedek atau umat Hindu datang dari seluruh penjuru daerah Bali. Dalam hal ini setiap pemedek yang tangkil selain membawa sesajen atau banten juga membawa ayam jantan untuk diadu di jaba Pura Hyang Api.
Menurut Bendesa Pakraman Kelusa, I Nyoman Suarka, dan kebanyakan pamedek yang tangkil ke Pura Hyang Api mengatakan tradisi “Aci Keburan” merupakan “Tajen Duwe” karena mengandung kepercayaan magis yang sangat kental, dengan banyaknya ayam yang diadu dan mengenakan taji yang jumlahnya ratusan pasang yang diadu secara bersamaan di jaba Pura.
Tradisi “Aci Keburan” harus dipahami maknanya secara mendalam agar tidak ada salah paham terkait dengan persepsi di masyarakat, karena Tajen (adu ayam) di jaman sekarang ini sangat identik dengan judi.
“Aci Keburan” merupakan persembahan terhadap Dewa Agni yang berstana di Pura Hyang Api, Desa Pakraman Kelusa yang bukan merupakan sebuah perjudian atau branangan (Tabuh Rah) dan juga bukan merupakan persembahan kepada Bhuta Kala. “Aci Keburan” merupakan pembayaran sesangi/sesaudan yang berhubungan dengan kewarasan dan kelanusan wewalungan.
Bukan Soal Kalah atau Menang
Pelaksanaan “Aci Keburan” di Pura Hyang Api sangat berbeda dengan sabung ayam pada umumnya (tajen) yang bermotifkan judi. Pelaksanaan Aci Keburan berbeda. Setiap pamedek menggunakan pakaian adat madya. Dalam “Aci Keburan”, tidak ada saya kemong (juri) yang menentukan kalah atau menang pada setiap pertarungan pasangan ayam.
Ayam jantan yang diadu di setiap pertarungan bukan hanya ayam jantan yang dewasa akan tetapi ada juga ayam jantan dara. Lokasi untuk melaksanakan pertarungan ayam tidak ada arena khusus, karena itu banyak ayam yang bertarung secara bersamaan di tempat yang berbeda-beda.
Para pemedek yang akan ikut serta melaksanakan “Aci Keburan” biasanya sudah tiba di Pura Hyang Api sejak dini hari pukul 05.00 wita hingga pukul 10.00 wita. Tradisi ini dilaksanakan berturut-turut selama 6 hari dari Tumpek Kuningan, setelah itu setiat dilaksanakan setiap hari Kliwon. Jadi pada setiap bulan pawukon itu terdapat 11 kali waktu untuk melaksanakan persembahan.
Jero Mangku Hyang Api mengatakan setiap pemedek yang membawa ayam aduan jika sudah mendapatkan pasanganuntuk beradu, tidak akan berpikir panjang lagi, maka ayam siap diadu. Soal menang atau kalah tidak menjadi masalah. Setelah ayam selesai bertarung, pemedek pasti menghaturkan sesajen serta nunas angsupada dan tirta wewalungan.
Memang ada yang bertaruh dengan uang, tapi banyak juga tak melakukan taruhan sama sekali. Meski bertaruh, tapi bukan kalah-menang yang mereka harapkan, melainkan tetap tujuannya pada persembahan. Akan tetapi apabila ada pemedek yang bertaruh mencoba mengelabui musuhnya dengan cara yang tidak baik setelah ayamnya kalah bertarung, tidak jarang ada pemedek yang terkena masalah, misalnya terkena taji.
Jadi setiap tradisi pasti memiliki makna tersendiri, sempat saya ketahui ketika tahun 2000-an tradisi “Aci Keburan” berusaha ditutup oleh pihak yang berwenang. Tetapi rencana itu diinjau kembali karena pertimbangan adanya hal-hal magis yang terjadi. Maka, tradisi “Aci Keburan’ di Pura Hyang Api Desa Kelusa, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar tetap berlangsung. (T)