TIDAK adanya suara 50 persen plus 1 pada Pemilukada DKI Jakarta putaran pertama menyebabkan adanya persaingan yang begitu ketat pada putaran kedua, di mana tersisa dua calon kuat yang salah satunya merupakan kubu pertahana, Ahok-Djarot. Setelah kandasnya pasangan Agus-Sylvi kini pengamat politik, timses, dan kader partai yang terkait masih meraba-raba ke mana arah larinya suara pendukung Agus-Sylvi yang 17 persen itu, apakah ke Ahok-Djarot atau ke Anies-Sandy.
Berbagai talkshow hadir untuk membahas Pemilukada DKI dengan menghadirkan pengamat politik, dan timses para paslon untuk membahas perkiraan arah suara 17 itu dan membahas strategi untuk menggaet dukungan masyarakat pada putaran kedua. Berbagai pro-kontra dihadirkan pada semua pasangan calon, white or black campaign, untuk kedua paslon semakin marak di media sosial, saling sindir, saling mendikte, saling mengetes program, hingga menelusuri data-data survei yang dipakai ketika debat.
Itu semua terjadi di DKI. Tapi warga di Bali yang tentu saja tak ikut memilih, ternyata ikut deg-degan menyaksikannya berbagai perdebatan lewat TV dan berbagai media sosial seperti Instagram, dan Facebook. Doa untuk Jakarta adalah semoga 50% plus 1 warga Jakarta tidak kebingungan memilih yang “terbaik”. Hingga endingnya bisa membuat banyak orang ikut gembira, bukan saja orang dari Jakarta tapi juga warga di luar ibukota, termasuk Bali.
Warga Bali, mungkin juga warga lain di daerah lain di Indonesia, Pemilukada DKI tak ubahnya seperti teater atau sinetron bersambung. Berbeda dengan warga Jakarta yang ikut sebagai pemain, bahkan kadang ikut jadi sutradara, punya peran penting untuk menentukan plot, alur, dan akhir cerita. Nah, warga Bali hanya berperan sebagai penonton.
Sebagai penonton warga di Bali ikut deg-degan menyaksikan episode demi episode sinetron Pemilukada DKI itu. Yang paling bikin deg-degan tentu saja pada hari-hari menunggu ending, 19 April 2017. Deg-degan karena endingnya tak bisa ditebak.
Seperti menonton drama gong atau arja, warga Bali ingin menikmati ending yang menyenangkan sesuai dengan harapan masing-masing. Meski tak ikut bermain, tak ikut bikin cerita, apalagi bikin ending, warga di Bali bebas menentukan mana dari dua pasang kandidat yang bertarung itu dijadikan peran protagonis (raja muda atau mantri manis), mana yang jadi antagonis (raja buduh atau mantri buduh). Masing-masing tentu ingin peran protagonis yang menang seperti kebanyakan kisah dalam drama gong dan arja.
Mungkin sejak lebih dari setahun lalu, warga di Bali sudah dijejali berbagai cerita, dari yang horor, dramatis, tragedi, hingga komedi, untuk menentukan siapa yang layak berperan sebagai tokoh protagonis sesuai “naskah” yang dibikin dalam hati.
Mungkin sejak lebih dari setahun juga dua kandidat itu sudah menebarkan cerita, fakta maupun fiksi, untuk menarik simpati pemilih, sekaligus juga menarik simpati warga bukan pemilih yang berada di luar Jakarta. Siapa yang berhasil dengan ceritanya, dia layak ditempatkan sebagai tokoh protagonis, siapa yang gagal dia tentu mendapatkan antipasti.
Dengan kondisi murni sebagai penonton, warga di Bali (juga daerah luar Jarata lainnya di Indonesia), memiliki irama deg-degan dari degup jantung yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Mereka bersimpati atau antipati pada satu kandidat, tapi tak ikut memilih. Hanya menonton, menunggu ending.
Endingnya, ya, tergantung warga Jakarta.
Hasil Pemilu putaran pertama memang menunjukan bahwa pasangan pertahana begitu popular bagi masyarakat Jakarta walapun suara itu belum sampai 50% lebih. Namun data itu menunjukkan betapa kuat dan solid-nya pasangan pertahana. Dapat diprediksi suara itu adalah suara kepercayaan pada pasngan pertahana yang telah “mampu” memberikan perubahan bagi mereka, warga Jakarta.
Di lain sisi pasangan lawan yang lolos putaran kedua ini termasuk hoki atau mungkin sosoknya begitu popular dengan kepribadinnya yang selama ini dianggap “mulia”. Pasangan ini juga mampu meraih suara yang lumayan banyak, sekitar 39 persen. Ini memberikan signal bahwa rakyat yang 39 persen ini mengidolakan sosok pasangan ini dan mereka mungkin saja adalah orang-orang yang belum sempat terkena “imbas” pekerjaan kubu pertahana ketika menjabat sehingga mereka langsung berpindah ke lain hati.
Kemungkinan lain adalah mereka yang suaranya tak terhiraukan oleh kubu pertahana ketika menjabat, sehingga mereka memilih pasangan lain yang dirasa lebih pas yaitu pasangan lawan. Sungguh menarik memang politik itu. Tak suka yang satu bisa pilih yang lain tapi kalau pacar sudah punya satu tak boleh pilih yang lain lagi.
Masyarakat Jakarta adalah masyarakat metropolitan yang tentunya sebagian besar dari mereka adalah orang-orang terdidik, walau ada pula yang jauh dari pendidikan, namun dapat kita prediksi bahwa pemilih pada pemilukada Jakarta bukan orang biasa. Mereka tentu punya dasar dan landasan tertentu dalam memilih siapa yang layak duduk di Balai Kota.
Keberagaman tingkat intelektualitas dari pemilih tentu membuat para paslon dan tim suksenya memutar otak dengan keras untuk mencari ide dan hal baru dalam rangka menggaet dukungan rakyat Jakarta terlebih kemajuan teknologi dan informasi membuat informasi mudah didapatkan jadi informasi baik dan kurang baik dari masing masing paslon begitu mudah ditemukan.
Pertarungan tokoh silat politik seperti itulah yang menjadi tontonan warga Bali selama ini. Meski sebagai orang Bali, sah-sah saja punya “keinginan membantu” masyarakat Jakarta memilih yang terbaik, karena Jakarta ini adalah ibu kota negara tentu harus jatuh ke tangan yang “terbaik” guna mampu dikelola dengan baik sehingga membanggakan Indonesia dan kita Bali juga secara tidak langsung ikut terdampak.
“Keinginan membantu” dengan apa? Ya, membantu dengan doa sekaligus rasa deg-degan agar yang terbaik menang untuk Jakarta. Tentu sebuah keinginan yang absurd, karena dalam politik, yang terbaik adalah yang sesuai dengan kepentingan masing-masing, baik kepentingan hati nurani maupun kepentingan murni kekuasaan politik. (T)