TEATER Mandiri lebih dari dua dekade menekuni teater visual. Sejak 1991 kami tidak lagi tampil dengan naskah lakon. Cerita, plot, tokoh, kami tinggalkan.
Kami tampil dengan layar ukuran 15 X 9 meter. Tanpa dialog, kami memakai bayangan, musik dan gerak tubuh sebagai bahasa untuk melukiskan kondisi, situasi, emosi serta opini.
Dengan teater rupa itu kami bermain di Amerika Serikat, Brunei, Jepang, Hong Kong, Singapura, Mesir, Jerman, Ceko, Bratislava, Taiwan, Korea Selatan. Serta beberapa kota di Indonesia: Jakarta Bandung, Yogya, Surabaya, Semarang, Singaraja. Denpasar
Tapi sukses yang kami hasilkan di mancanegara harus dibayar mahal dalam kandang. Kami lalai merawat penonton. Buat penonton mancanegara yang baru sekali melihat penampilan kami. mereka terkesima. Tapi penonton di rumah sendiri jemu hanya disuguhi gambar-gambar. Penonton perlu cerita dan tuturan.
Ketika kata “drama” (Yunani) diterjemahkan dengan “sandiwara” (sandi-rahasia, wara-kabar : kabar rahasia/plot) sebetulnya secara implisit sudah tersimpul, cerita itu menu pokok.
Senirupa tradisi, adalah bukti betapa pentingnya cerita. Lukisan, pahatan, patung, relief, hampir semuanya berbasis cerita baik diambil dari mitos, legenda, dongeng, upacara, epos Mahabharata, Ramayana.
Dalam seni pertunjukan tradisi, jumlah cerita memang terbatas. Tapi masyarakat tetap bersemangat nonton cerita yang sudah mereka ketahui plotnya. Karena mereka menikmati bagaimana para pelaku menuturkan cerita itu. Jadi di samping cerita, tuturan lakon, kepiawaian pelaku pun adalah menu pokok.
Dengan begitu ada 3 pokok yang merupakan menu utama dalam tontonan tradisi: cerita, tuturan dan para pelaku.
Itu kunci yang pasti akan membuat pintu hati masyarakat terbuka. Seni pertunjukan kontemporer yang cenderung visual. memang ada juga penggemarnya. Umumnya kelas menengah ke atas. Tapi mereka juga pada peduli 3 faktor utama tadi. Mengabaikan itu hampir dua dekade akibatnya fatal.
Penonton kami terus menipis karena saya tak ingin kompromi. Kenapa? Sebab saya merasa sudah melakukannya dalam membuat film dan sinetron. Di layar kaca dan layar putih saya sudah berusaha untuk selalu komunikatif. Saya tidak sulit melakukan itu, dengan menganggap itu ujian kreativitas saya. Hasilnya bagus. Hanya saja saya tidak melakukannya dalam membuat teater dan karya fiksi.
Pada 2013, setelah keluar dari Siloam Hospital, Salihara mengundang Teater Mandiri main. Saya memilih naskah Bila Malam Bertambah Malam. Dan menyuguhkan pertunjukan realis. Meski hanya dengan set minimalis tapi 3 unsur itu terpenuhi. Pertunjukan kami mengejutkan penonton yang semula menyangka saya anti atau tak mampu tampil realis.
Keterbatasan mobilitas saya, menyebabkan saya tak sempurna lagi menggarap teater rupa. Lalu saya kompromi dengan diri saya, untuk terus menggarap tontonan berbasis realisme.
Lakon yang henti saya tulis sejak 1987, mulai lagi saya garap. Maka jadilah: HAH, JPRET, KOK, JGERR, JRENG, AUT dan HOAX. Empat judul sudah dipentaskan di Bentara Budaya, Salihara dan TIM dengan penonton membludak. Saat esai ini ditulis saya sedang memulai latihan JRENG.
Desa-kala-patra (DKP) yang sering saya pakai sebagai “bingkai” dalam sepak-terjang kreatif, memberikan pesan baru. Bahwa DKP itu tidak bisa hanya dari sisi kita sendiri, tapi harus paket. Kita orang teater dan penonton termasuk masyarakat tempat peritiwa tontonan itu berlangsung adalah satu paket. Jadi DKP mesti mencakup ketiganya. Bila ada yang kelewatan diperhitungkan, pesan moral yang kita usung tak akan tertumpah tepat ke target dengan maksimal.
Satu langkah lebih jauh: ukuran maksimal itu dalam “desiplin” DKP bukan phisikal. Menyentil atau menyindir yang sukses itu, bukan ketika yang disentil jadi marah, apalagi dendam. Sentilan yang berhasil dan hebat adalah kalau sampai mampu menggerakkan yang disentil berterima kasih karena sudah diingatkan.
Kompromi dengan demikian bukan kekalahan yang terpaksa untuk menghindarkan kehancuran atau kegagalan, tetapi taktik dan strategi. Membedakan kompromi yang taktik-strategi dengan kompromi yang adalah kekalahan terpaksa, dapat dilihat dari kondisi yang bersangkutan. Santai atau gelisah. Kompromi yang santai itu kekalahan yang menang. Kompromi yang gelisah itu kemenangan yang kalah. (T)
Jakarta, 2 April ’17
BACA JUGA:
Catatan Kecil Putu Wijaya: Kompromi (1), Bukan Kekalahan
Catatan Kecil Putu Wijaya: Kompromi (2), Hakekatnya Memang Batasan