BELAKANGAN ini ketenaran tuak atau dalam versi dan varian lain biasa disebut lau mencapai puncaknya. Dari anak baru gede (abege), remaja agak wayah, pemuda, hingga orang tua setengah abad dan orang tua 70-an, sedang larut dalam trend minuman ini.
Lihatlah, kelompok-kelompok remaja membuat t-shirt sekeha tuak atau perkumpulan peminum tuak. Tulisan dalam t-sirt atau kaos oblong macam-macam. Ada yang menyebut diri mereka dengan tulisan “Lauyer” atau “Lauyer Bali” pada kaos yang mereka pakai, terutama dipamerkan pada hari-hari raya semacam Tahun Baru atau Galungan. “Lauyer Bali” tentu saja maksudnya Pecinta Lau dari Bali.
Di sejumlah daerah pernah ada sekelompok remaja menggunakan baju dengan tulisan “Jaka Juice”. Kita bisa menduga maksudnya adalah Jus Jaka. Jaka itu pohon enau alias nira, salah satu pohon penghasil tuak. Tak pedulilah mereka dengan pertanyaan orang-orang, apakah jus jaka itu maksudnya sagu yang digunakan untuk bahan jus, apakah buah jaka (bluluk) yang diblender untuk jus, atau empol jaka digiling untuk jus. Kita diminta paham dengan ikhlas bahwa Jaka Juice itu maksudnya tuak jaka.
Kesadaran untuk berkumpul ternyata bukan hanya saat minum tuak di penggak, atau minum lau di poskamling, atau minum arak di pondok pekak di tengah kebun. Lucu memang, mereka juga punya kesadaran berorganisasi dan guyub dalam lembaga yang mereka buat sendiri dengan pengurus siapa saja.
Mereka seakan menunjukkan bahwa hak berorganisasi bukan melulu hak kaum professional semacam IDI, HIPMI, atau PSSI. Bukan juga melulu hak kaum intelektual, pemuda dan cendekiawan keagamaan, semacam KMHDI, KNPI, atau Peradah. Dan, bukan pula melulu hak kaum politikus yang tergabung dalam partai politik serta oraganisasi sayap-sayapnya, baik sayap lebar, sayap panjang maupun sayap kecil seperti burung kepecit.
Jika organisasi formal itu memiliki forum-forum diskusi yang serius atau sekadar hobi-hobian, peminum juga bisa membuat forumnya sendiri. Apalagi dengan munculnya wabah lagu sejuta umat dengan judul “Tuak adalah Nyawa” yang diperkenalkan kelompok “Masekepung” dari Sukawati Gianyar.
Lagu itu semakin mengukuhkan posisi tuak sebagai minuman yang digandrungi generasi saat ini. Dalam beberapa minggu saja setelah diunggah di youtube, video lagu itu sudah ditonton hampir 1 juta orang. Video itu juga terus berkembang-biak karena banyak orang kemudian membuat varian-variannya. Ada yang menambahkan video dengan lirik, bahkan ada yang menambahkan dengan chord gitar secara lengkap.
Upaya-upaya semacam itu dilakukan karena mereka sadar bahwa mereka kelompok marginal (meski jumlahnya banyak) yang tak mungkin menjadi formal. Dengan kesadaran penuh mereka menyebarkan lagu “Tuak adalah Nyawa” seakan lagu itu lagu wajib yang wajib dilapalkan oleh kelompok-kelompok mereka.
Semua dilakukan tanpa paksaan. Yang berminat silakan ikut, yang tak suka jangan mencerca. Kesadaran semacam itu juga diperlihatkan dalam gambaran video klip lagu “Masekepung”yang beredar di youtube. Video itu seolah mengatakan: “Ikut? Ayo!”, “Tak ikut? Diamlah!”
Terlepas dari hal itu semua ternyata sekeha tuak juga mempunyai filsafatnya tersendiri, misalnya kesadaran demokrasi, politik dan bagaimana bersikap jujur dan sportif.
Demokrasi
Demokrasi sudah dari dulu diterapkan di Indonesia. Bahkan banyak negara sudah menerapkan sistem ini, ya meskipun seiring perkembangannya demokrasi tidak sepenuhnya berpihak pada rakyat. Suara rakyat hanya diperlukan saat pemilu saja. Setelah itu? Rakyat tetaplah rakyat yang mencari pengupa jiwa sendiri untuk menafkahi sanak keluarganya.
Yang tukang bangunan tetap jadi tukang bangunan, yang berdagang tetaplah berdagang. Jarang dan bahkan tidak pernah rakyat dilibatkan langsung saat pengambilan kebijakan di pemerintahan. Ah terlalu serius artikel ini jika kita bicarakan demokrasi yang sudah stagnan ini. Bagaimana dengan demokrasi dalam Sekeha tuak?
Wah disini bisa dilihat demokrasinya. Tak pernah ada sekeha tuak yang berbeda pendapat untuk minum apa dan minum-minuman berbeda beda di suatu tempat. Dalam sekeha tuak demokrasi sudah barang tentu harga mati. Sekarang minum apa? Kalau tuak, tuaklah kita minum bersama-sama. Kalau arak, araklah bersama-sama.
Jika ada perbedaan pendapat dalam hal jenis minuman yang akan diminum, memang biasa terjadi perdebatan dengan suara agak keras semacam orang bertengkar, namun setelah itu, jenis minuman apa pun yang datang, mereka akan minum bersama-sama. Jarang terjadi, seseorang walk out hanya gara-gara ia kalah suara dalam memilih jenis minuman.
Ah, memang, indahnya kebersamaan dalam sekeha tuak ini, he he he. Dari kita, oleh kita dan untuk kita. Bukankah demokrasi seperti itu? Demokrasi dalam sekeha tuak memang benar nyata.
Tak ada Korupsi
Di negara Indonesia yang kita cintai ini, he he he, korupsi sudah sangat dikenal dan bahkan sebagian masyarakat sudah mual mendengarnya. Dari DPR sampai kader partai sangat sering diberitakan punya urusan dengan yang namanya korupsi. Ya, meskipun tidak semua, tapi banyaklah, ya. Dari korupsi daging sapi hingga korupsi e-KTP.
Nah, sekeha tuak itu bisa dikata nol korupsi. Jika wakil rakyat membuat anggaran membeli barang yang harganya murah bisa jadi mahal, sedangkan barang yang kecil bisa jadi besar, sekeha tuak malah kerap menunjukkan hal sebaliknya.
Jika sekeha tuak ingin membeli tuak 3 botol, bukan tidak mungkin yang datang 4 botol. Bagaimana bisa? Jika sekeha tuak ditanya, “ngujang adi liu meli tuak?” (Kenapa banyak beli tuak?). Jawabannya santai saja, “nahhh pang mekeloan minum” (yaa biar lebih lama minumnya). Jadi, tak mungkin terjadi anggota sekeha diminta beli tuak 3 botol, lalu yang datang 2 botol, dan uang untuk 1 botol disalahgunakan, misalnya membeli rokok untuk diri sendiri. Itu tak mungkin terjadi.
Maka sudah disimpul sekeha tuak nol korupsi. Memang sekeha tuak bisa menjadi inspirasi untuk wakil rakyat, meskipun sifatnya hanya mewakili he he he.
Mungkin saja filsafat lain ataupun ada ide lain yang banyak bisa dipelajari dari sekeha tuak. Terlepas dari itu semua, sekeha tuak tidak sekedar minum-minum dan mabuk, ada sesuatu yang bisa dilihat maupun dipelajari dari sekeha tuak ini. Mengutip lagu “Tuak adalah Nyawa”: “yening awai sing maan tuak, hidupe serasa kuangan“.
Ya betul, satu hari tanpa minum dan berkumpul memang hidup ada yang kurang. Sangat setuju dengan slogan “Makan nggak makan asal kumpul”. Selama kita bersama, semua pasti bahagia. Bahagia. (T)