SUNGGUH niat mulia menghidupkan kembali permainan tradisional anak-anak, sebagaimana dilakukan Pemkab Buleleng dalam perayaan HUT ke-413 Kota Singaraja, tahun 2017. Permainan tradisional dijadikan tontonan utama Parade Budaya, Jumat 31 Maret sore.
Setiap duta dari masing-masing kecamatan mengeksplorasi permainan tradisional yang ada di wilayah mereka. Permainan tradisional itu kemudian dikemas menjadi pertunjukan atau pementasandolananyang dipertontonkan di depan panggung kehormatan.
Duta Kecamatan Gerokgak menghadirkan permainan tradisional Selodor-selodorandan Lingkaran Buah-Buahan, Kecamatan Seririt mementaskan Megeri Engkeban, Kecamatan Tejakula menyuguhkan Dolanan Kebo Samad, Kecamatan Busungbiu menampilkan Kering Engkeb, dan Kecamatan Kubutambahan tampil dengan garapan Cikal Pande.
Kecamatan Sukasada tampil dengan tradisi Meamuk-amukan, Kecamatan Sawan dengan tradisi Sampi Grumbungan, Kecamatan Banjar dengan permainan tradisional Megangsingan, Kecamatan Buleleng dengan tradisi Mejaran-jaranan.
Dengan tampilan perminan tradisional itu, Kepala Dinas Kebudayaan Buleleng Putu Tastra Wijaya ingin mengajak masyarakat mengingat kembali sekaligus melestarikan warisan budaya nenek moyang.
“Kami kedepankan permainan tradisional yang berkembang di masing-masing kecamatan. Sehingga seni budaya lokal yang berkembang di masing-masing desa atau kecamatan, bisa digali dan dilestarikan,” kata Tastra.
Wakil Bupati Buleleng Nyoman Sutjidra berharap tampilan permainan tradisional yang dikemas dalam bentuk pementasan, bisa mengingatkan kembali masyararakat terhadap tradisi dan permainan tradisional yang ada di desa. Sehingga permainan tradisional bisa terus lestari, tidak kalah dengan permainan-permainan modern.
Tapi, Anu…
Baguslah permainan tradisional diparadekan dan ditonton banyak orang. Tapi, anu… sesungguhnya, permainan tradisional bukanlah tontonan sebagaimana seni pertunjukan yang memiliki batas jelas antara pemain dan penonton. Permainan tradisional adalah keterlibatan. Pemainnya bisa langsung menonton, penonton bisa tiba-tiba bermain.
Jika permainan tradisional hanya dihidupkan dalam parade dan seni pertunjukan sebagaimana belakangan ini banyak dilakukan dalam event-event budaya di Bali, termasuk Pesta Kesenian Bali, maka yang hidup mungkin hanya fisiknya. Sedangkan roh dan spiritnya tetap punah. Permainan itu hanya akan menjadi ajang nostalgia bagi orang-orang dewasa yang masa kecilnya bahagia tapi masa dewasa ruwet minta ampun, sedangkan anak-anak akan kembali mengambil gadget usai bermain di atas panggung.
Sebaiknya permainan itu dihidupkan juga dengan cara melombakannya atau memasyarakatkan kembali dengan berbagai cara dalam setiap moment-moment perayaan. Lombanya bisa dilakukan di desa masing-masing dengan melibatkan anak-anak desa itu sendiri. Bisa juga dilombakan antar siswa sekolah. Lebih sering lebih bagus, agar anak-anak sampai bisa menemukan betapa asyiknya permainan tradisional itu, bahkan sampai merasa lebih asyik dari main PS.
Maka istilah yang benar sepertinya “memasyarakatkan”, bukan “melestarikan” permainan tradisional. “Memasyarakatkan” punya kesan seperti pergerakan, “melestarikan” kesannya lebih pada kegiatan proyek dan program-program musiman. “Memasyarakatkan” lebih terkesan sebagai kegiatan nyata dengan melibatkan anak-anak secara langsung, “pelestarian” sepertinya hanya jargon budaya yang gampang diucap tapi tak paham apa yang harus dilakukan.
Jadi, agak aneh jika permainan tradisonal seperti Kering Engkeb dan Selodor-selodoran hanya dipertontonkan dalam perayaan di kota yang aku cintai ini, padahal itu adalah permainan. Itu sama dengan memasukkan benda kuno ke dalam museum lalu kita hanya bisa melihat-lihat saja dari luar sembari berimajinasi tentang betapa hebatnya benda itu di masa lalu. Sementara, di ruang yang lain, ada lomba dengan keterlibatan penuh canda, yakni karaoke dan senam modern. (T)