Naga Basuki suki nikang lemah
‘Naga Basuki adalah poros atau pusat rotasi bumi’
(Kakawin Ramayana, 15.31)
Etimologi Basuki
Ungkapan tersebut di atas sangat mendalam, punya dua makna, secara geologi dan juga mitologis. Secara mitologis diyakini bahwa ada keyakinan makhluk mitologis bernama Naga Basuki yang menjadi pengendali poros atau pusat rotasi daripada per putaran bumi.
Sementara secara geologis, bisa dipaparkan sebagai berikut.
Dalam bahasa Jawa Kuno kata ba sama dengan wa, yang berarti coal (batu bara), atau piece of burning material which is aglow (benda terbakar yang mana mengeluarkan panas-cahaya-radiasi).[1] Kata suki berarti hub, axle (poros, axis, pusat).[2] Ba-suki dengan demikian berarti pusat atau poros rotasi yang berpijar yang mengeluarkan bara api).
Naga Basuki dengan demikian mempunyai makna etimologis yang cocok dengan ilmu geologi dan pengetahuan modern bahwa pada poros bumi ada pusat api atau magma yang sangat panas. Pusat panas bumi ini disebut dalam bahasa mitologi sebagai Naga Basuki.
Referensi Kesastraan
Tentang Basuki dalam sejarah Kerajaan Bima, disebutkan sebagai berikut.
Sang Yang Tunggal has two sons, Bhatara Indra Guru and Sang Hyang Wenang, but the lineage continues with Bhatara Indra Guru, and not with Sang Hyang Wenang as his parentage comes from evil spirits and devils. Bhatara Indra Guru has one son Bhatara Indra Brahma and a grand- son Maharaja Indra Palasyara. Palasyara bears the title of bhagawan. Bhagawan Palasyara in his turn has two sons, Maharaja Tunggal Pandita and Bhatara Indra. The lineage proceeds with Maharaja Tunggal Pandita who has two sons, named Bhagawan Biyasa and Bhagawan Basugi, who rule over the spirits of the west and the abode of the gods (kahyangan)[3].
Pokok perhatian saya pada nama Bhagawan Basugi, yang di Jawa kata ini tiada lain dari kata basuki. Ba-sugi adalah pengucapan lain dari ba-suki. Istilah bhagawan dengan naga adalah kata sandang untuk makhluk mitologis yang bisa saling menggantikan, kadang disebut Bhagawan Basuki dan atau Naga Basuki, makhluk mitologis yang penjaga “alam bawah” atau yang bersembunyi di bawah bumi menjaga tatanan keseimbangan kosmik, keselamatan.
Naskah Korawagrama menjelaskan ada tiga lapis dunia atau Tri Patala: lapisan pertama dikuasai oleh Baruna, penguasa lautan, yang mana dalam Nawarucci disebutkan bertahta di Surga; lapis kedua dikuasai oleh Basuki; dan lapisan ketiga, Antabogha, dunia naga, yang menguasai ‘dunia bawah’. Jika gempa bumi terjadi, dalam cerita rakyat Asia dikatakan naga di bumi sedang bergerak. Keseimbangan bumi atau keselamatan identik dengan Basuki, di Jawa sendiri kata basuki berarti selamat. Ada pendapat yang mengatakan pemujaan untuk keselamatan dengan memuja Basuki ini salah satunya menjadi cikal bakal tradisi selametan atau basukihan.
Dalam sejarah Pura Besakih disebutkan bahwa kata Besakih berasal dari kata besuki atau basuki. Diyakini, sebagaimana cerita yang berkembang di kalangan masyarakat Besakih dan Bali, di titik yang kita kenal sekarang sebagai Pura Besakih itulah upakara suci atau selametan (basukihan) pertama kali dilakukan untuk memulai “peradaban baru” atau membuka tanah hutan menjadi kawasan suci dan pusat kosmik peradaban Bali. Cerita ini terkait dengan cerita rakyat tentang kedatangan penduduk Gunung Raung, Jawa Timur, yang diyakini di awal masehi hijrah ke Bali dan membuka tanah perdikan dan kehidupan baru di Bali.
Perayaan selamatan yaitu basukihan atau basugihan yang kemudian mengalami pemendekan ucapan menjadi Sugihan, punya korelasi kuat bahwa Pura Basukihan (selanjutnya sekarang dikenal nama Pura Besakih), seperti disebutkan dalam banyak literatur (di antaranya dalam lontar Usana Bali), telah menjadi titik spiritual dan cikal-bakal Bali dalam tradisi selamatan atau basukihan-basugihan. Di sana dikatakan telah ditanam panca datu yang punya kekuatan yang secara rohaniah bisa berkontribusi pada keselamatan dan keseimbangan bumi Bali.
Perayaan Sugihan dalam Konteks Pelintangan
Tradisi memuja keselamatan bumi (basugihan atau basukihan) yang telah sedemikian mengakar dan teragendakan dalam perhitungan wariga (kalender Bali) yang siklusnya datang setiap 210 hari sekali, kita kenal sebagai perayaan Sugihan yang tak lepas dari konteks perayaan besar Galungan.
Jika kita melihat makna ritual Sugihan, yang terbagi menjadi Sugihan Jawa dan Sugihan Bali, maknanya tidak lain daripada upacara selamatan dan penyucian (basugihan atau basukihan). Perayaan Sugihan tidak lepas dari konteks perayaan Galungan di mana Sugihan merupakan momentum untuk menyambut perayaan Galungan dengan sarana Banten Pengresik (Sesaji sarana penyucian) dan Canang Burat Wangi (Bunga persembahan pengarum-arum). Pada saat parayaan Sugihan, Banten Pengeresik dan Burat Wangi menjadi sarana permohonan kesucian dan keselamatan.
Jika ditilik dari pelintangan (perhitungan penanggalan Bali)[4], perayaan Sugihan Jawa jatuh pada hari dimana Aras Kembang–Tunggak Semi: Kembang terbuahi–Batang tumbuh bersemi. Dua istilah ini merujuk pada awal baik melakukan “penanaman dan menghidupkan”, menyemai dan meneguhkan kesadaran untuk tumbuh. Pada Sugihan Jawa, bumi dalam pengaruh Laku Bulan–Wisesa Segara: Benderang cahaya (dan gravitasi) Bulan berpadu kekuatan laut, mereka saling ‘bersapa’. Lantas memuncak pada Galungan yang punya perangai Laku Surya–Lebu Ketiup Angin: Terang benderang Cahaya Matahari (di luar dan di dalam diri)–Debu (keruh pikiran dan kekotoran dunia) ditiup angin.
Perayaan Sugihan menuju Galungan dalam tinjauan pelintangan ini, sangat terang maknanya, dari Aras Kembang–Tunggak Semi menuju Laku Surya –Lebu Ketiup Angin. Berangkat dari kesadaran menanam dan menghidupkan tunggak dalam diri untuk tumbuh, menuju terang benderang Cahaya Matahari di dalam dan luar diri. Perayaan Sugihan adalah momentum membuka cakrawala diri agar debu pikiran habis ditiup angin. (T)
Catatan:
[1] Lihat Old Javanese-English Dictionary II, karya P.J. Zoetmulder, halaman 2160.
[2] Lihat Old Javanese-English Dictionary II, karya P.J. Zoetmulder, halaman 1840.
[3] The Worship of Bhima, The representations of Bhima on Java during the Majapahit Period, Marijke Duijker, Amsterdam in 1944. Volume I: Text. EON Pers Amstelveen 2010.
[4] Lihat Kalender Bali oleh Bambang Gde Rawi atau Kalender Bali lainnya.