PENDIDIKAN harus diperjuangkan, seterjal apa pun jalan menuju tempat belajar. Karena pendidikan tak cukup selesai diperbincangkan di meja birokrasi dan di meja sidang wakil rakyat.
Kadek Puji Antari dan Gede Rudi Arnata benar-benar paham arti berjuang. Setiap hari mereka bangun saat subuh, mempersiapkan alat pelajaran, lalu bergerak ke sekolah ketika belum benar-benar pagi.
Mereka memang harus bangun sepagi-paginya, jauh lebih pagi dari teman-temannya di desa lain. Tentu karena jarak dari rumahnya di kawasan Abangan, Banjar Dinas Ceblong, Desa Sudaji, Kecamatan Sawan, Buleleng, menuju sekolahnya di SDN 6 Sudaji, sangat jauh untuk bisa ditempuh dengan jalan kaki. Sekitar 3 kilometer.
Puji dan Rudi memang harus berjalan kaki. Dengan gesit mereka melintas di tepi sungai, sesekali meloncat ke atas batu-batu di sela gemuruh air. Setelah itu kakinya diayun mendaki perbukitan terjal, menuruni tebing, menyeberang jurang.
Dulu, dalam waktu-waktu memang ada jalan kecil yang bisa dilewati sepeda motor. Namun, bencana alam di awal tahun 2017 ini membuat semuanya makin sulit. Jalan kecil yang sulit itu disapu banjir bandang. Ada juga jalan yang tak bisa dilewati karena tertimbun tanah longsor dari arah bukit.
Jalan yang bisa dilewati motorpun medannya sangat ekrem. Jalan yang terjal dikelilingi hutan itu sangat berbahaya hingga tak sembarang kendaraan bisa melewatinya. Pengendara tentu harus mahir jika tak ingin masuk jurang. “Jika tidak mahir, dan tak menguasai medan, bisa fatal,” kata Gede Suarsana, orang tua Puji.
Jadi, meski ada jalan pun, anak-anak lebih memilih jalan kaki ke sekolah. Tapi mereka anak-anak desa yang gesit. Tebing terjal, tepi sungai, batu-batu, tanah licin, sudah biasa dihadapi sejak kecil. Tapi jika harus dilakukan sembari sedang gesit-gesitnya mereka menempuh pendidikan, tentu “jalan terjal berliku naik-turun tebing” adalah gangguan yang amat serius.
Usia mereka 12 tahun, duduk di kelas 6, sebentar lagi mau ujian. Mereka tentu tak ingin putus sekolah hanya karena jalan ke sekolah yang sulit ditempuh. Maka, mereka tetap berjuang. Subuh bangun, lalu merangkak di sisi sungai, saban hari, adalah perjuangan yang tak begitu mudah.
Meski tak mudah, mereka bukanlah anak-anak sekolah yang manja dan cengeng. Semua itu dilewati tanpa keluhan. Meski beberapa kali mereka harus telat masuk kelas. Bahkan mereka kadang tak bisa ikut upacara bendera pada hari Senin.
“Terutama pada hari Senin, mereka sering terlambat mengikuti upacara bendera. Namun kami memberikan keringanan jam masuk belajar, mereka tidak di haruskan ikut berbaris di pagi hari. Kasihan mereka,” kata Luh Martini, wali kelas mereka.
Jadi, maafkan mereka, Bu Guru, jalan ke sekolah memang begitu terjal. Terjal dalam arti yang sesungguhnya… (T/sumbangan data: Hardianta)